2 | Punca Sebai

203 102 285
                                    

Ejawantah atau yang dipanggil Eja, langsung menggerutu kesal saat kakinya menyentuh rumput halaman rumahnya. Dilirik adiknya yang kini juga mencebik, menghentakkan kakinya sehingga rumput malang itu tercetak bekas kakinya. Mama mereka yang baru saja keluar dari dapur rumah yang terpisah, langsung melayangkan pandangan menuduh pada Eja.

"Adif mecahin kaca tetangga, Ma."

Begitu adunya pada sang mama. Mamanya yang saat itu masih bercelemek, langsung berkacak pinggang dan menggelengkan kepalanya, "Kok bisa?"

Retoris, begitu pikir Eja.

Bola matanya berputar yang tentu saja tanpa dilihat mamanya dan dengan malas dirinya mulai menjelaskan perkara adiknya yang semakin sakit itu. Mulai dari dirinya yang baru saja dibangunkan dengan ciuman dari ketapel adiknya, hingga dari jendela kamarnya di lantai dua, adiknya mulai beraksi layaknya pemburu sungguhan.

Karena pada dasarnya adiknya yang sudah sinting sejak dalam kandungan itu bukan pemburu, hasil yang didapatnya adalah bukannya mengenai burung di pohon milik tetangganya, justru kaca jendelanya yang berhasil dibidik dengan tepat oleh adiknya yang cerdas itu.

Mamanya mengangguk, lalu matanya yang sipit seperti milik Eja mulai mengerut. "Terus kalian habis dari sana?"

"Iya, Ma. Kalau enggak mana mungkin aku kesel."

Bukannya bertanya mengapa seorang Ejawantah kesal di pagi hari, justru pertanyaan luar biasa yang keluar dari bibir mamanya. "Anaknya cantik enggak?"

"Lebih cantik hantu yang di sana."

Jawaban Eja justru mengundang gelak dari mamanya. "Jadi, sekarang Eja sukanya sama hantu?"

Ia mengembuskan napasnya. Memilih diam dan beranjak ke kamarnya walau mamanya belum selesai berbicara. Samar, masih ia dengar suara tawa mamanya. Tetapi fakta soal hantu, Ejawantah memang tidak berbohong. Saat ia menggandeng tangan adiknya memasuki pekarangan rumah tersebut, mereka langsung disambut oleh tiga penghuni tak kasatmata. Ada dua hantu yang menunggui dua pohon di sana—pohon yang menjadi sasaran bidik adiknya—dan satu lagi ... ah, ia ingat betapa terkejutnya ia tadi.

Ada hantu perempuan yang menempel pada tetangganya. Wujudnya seperti manusia. Hanya saja gurat kesedihan yang kentara itu yang membuatnya tak tampak manusiawi. Wajahnya murung, mengingatkan Eja pada awan kelabu sebelum hujan. Ia hampir saja tertukar dengan manusia di sebelahnya andai saja tak melihat kemurungan yang jelas tertampilkan itu.

Bagaimana tidak?

Manusia di sebelahnya memiliki kulit pucat bahkan nyaris tak terlihat aliran darahnya, rambutnya berwarna ungu entah tercampur tepung atau apa, karena terselip warna keperakan atau mungkin kelabu pada rambutnya yang mencolok itu. Rautnya sedatar jalan raya, bola matanya pun sepekat malam. Andai ia tak memerhatikan lebih jelas, hantu yang menempelinya itu bisa saja ia sangka yang merupakan tetangganya.

Eja tak pernah bergidik seperti ini sepanjang eksistensinya melihat makhluk halus. Melihat mereka rasanya seperti menonton film retro tanpa monokromnya.

Tetapi ... baru hari ini ia menemui hawa sepekat itu pada satu makhluk. Apalagi wajahnya yang klasik mengingatkan Eja pada tokoh puteri kerajaan zaman dahulu. Wajahnya ayu, benar-benar seperti remaja pada umumnya andai kulitnya tak berwarna kelabu atau andai saja wajahnya tak semurung itu.

"Kak Eja!"

Baru saja ia ingin tidur lagi karena letih memikirkan tentang hantu di rumah tetangganya itu, suara cempreng milik adiknya kembali menginterupsi. Ejawantah mengabaikan, memilih menarik guling di sebelahnya dan mendekap erat.

"Ejawantah! Woy, buka!"

Ia menenggelamkan kepalanya di antara kasur dan gulingnya. Menghela napas panjang, sebelum mengembuskannya. "Eja! Woy, Eja!"

Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang