Pagi buta di mana ayam sedang bersiap untuk berkokok, ada Eja yang sedia memasuki gudang. Terkadang ia tak mengerti dengan dirinya. Terlalu berani atau tolol disebutnya. Namun tekadnya membara, ia sudah mengabaikan pikiran-pikiran aneh yang hinggap sejak beberapa hari lalu.
Empat malam telah berlalu dan ia selalu dibayangin kegelisahan. Setelah berkutat dengan mencari sisa eksistensi Adit yang tak kunjung hadir selama beberapa hari ini, dengan setengah gamang ia melangkah ke tempatnya berdiri sekarang. Gudang yang sudah dibersihkan orang tuanya.
Tangannya sudah siap untuk memutar handle pintu walau sedikit berkeringat. Perasaan getir menyerbu tatkala bunyi yang timbul akibat perubahan posisi handle tersebut.
Menghela napas panjang, ia bersiap mendorong pintu tersebut. Lima detik berlalu dan baru sadar bahwa gudang tersebut dikunci.
"Dasar tolol," umpatnya.
Kelewat dungu sampai tak terpikir bahwa gudang bukan tempat yang pantas untuk diekspos sehingga ruangan tersebut tak dapat dimasuki seenaknya. Berjalan gontai karena ia sudah merelakan jam tidurnya untuk memuaskan rasa penasaran, namun yang didapatnya nihil.
Saat raganya menginjak dapur, seberkas sinar surya perlahan masuk. Ia menegak jus sirsak yang didapatnya dari kulkas dengan bersemangat, tak memedulikan wajahnya yang terkena terpaan cahaya.
"Bagi dong."
Eja yang tengah menikmati kesendiriannya diinterupsi oleh suara bocah. Muradif datang dari arah tangga dengan piyama biru tua sembari menggosok kelopaknya. Bocah sinting itu kini telah berada di sampingnya.
Menguap dan meregangkan tubuhnya.
Ia merebut gelas yang dipakai Eja, "Ambil sendiri kenapa! Ganggu aja!"
"Ambilin dong!"
Begitu titahnya diturunkan, kepala Muradif mendapat satu pukulan sedang.
"Aduh! Kenapa sih Eja? Suka banget aniaya aku!"
Eja melotot, memberikan tatapan tak percaya bahwa bocah sepuluh tahun tersebut sudah pandai berakting.
"Aniaya dengkulmu! Mulutmu itu emang perlu dicor."
Muradif secepat kilat berlari memeluk mama mereka yang muncul dari balik kamar. "Ejawantah Ruliff, kamu ini pagi-pagi udah godain adiknya aja."
"Mama kebiasaan manjain itu bocah, sih. Jadi ngelunjak dia."
"Adif 'kan masih kecil, nanti kalau udah besar juga mama tegur."
Eja memilih untuk mengangkat tubuhnya dari sana. Ia ingin menyegarkan pikirannya dengan lari pagi. Berbekal sleeveless hoodie berwarna hitam dan training serupa, Eja bersiap untuk lari pagi di sekitaran kompleks. Ia hanya berkutat tak lebih dari blok D karena memang hanya ingin menghirup udara pagi sebentar saja.
Kembali ke blok F di mana rumahnya berada, ia mampir sejenak untuk melahap semangkuk bubur ayam. Wiwil berkata bahwa bubur ayam di dekat taman ini yang paling enak di seluruh dunia. Walau tahu itu hanya hiperbola dari dedemit rumahnya, namun melihat visual yang disuguhkan dari gerobak bubur ayam tersebut menggugah seleranya. Eja memesan semangkuk bubur ayam lengkap dan sebotol air mineral. Sembari menunggu pesanannya, ia menggulirkan layar gawai untuk mengalihkan pandangan dari banyaknya makhluk halus yang hilir-mudik.
Bahkan di meja seberang dihuni oleh satu hantu anak kecil sepantaran Muradif yang sejak Eja datang melompat dan berlarian menembus kursi-kursi plastik di sana. Untunglah tak butuh waktu lama sampai ia mendengar suara penjual yang mengantarkan buburnya.
"Ini buburnya, Mas."
"Makasih, Bu."
Eja mengangkat kepalanya dari gawai dan hendak menyantap pesanannya lalu pulang. Namun pemandangan di hadapannya membuatnya terjungkal sampai terbentur meja di belakang. Ada perempuan dengan kepala patah yang menyeringai ke arahnya. Ia membawa semangkuk bubur hitam penuh belatung dan hendak menyerahkan kepada Eja. Ia mendekati Eja dan terus bergumam bahwa pesanannya sudah siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di Kepalaku
Roman pour AdolescentsO N G O I N G 16+ "Mereka hidup dalam satu naungan, dilewatinya tiap musim bersama. Namun tumbuh dengan jarak di antara keduanya, hingga mendarah." Anala Wiyangka adalah seorang bungsu yang tak diberi pengharapan. Tak pula dibebani kepercayaan kare...