1 | Kausa

269 113 314
                                    

Pada detik kesepuluhnya, Nala kembali menarik rakus oksigen. Semalaman hujan mengguyur dengan deras, sampai-sampai perutnya melilit kedinginan. Embun akhirnya menghiasi kaca-kaca persegi panjang di rumahnya.

Nala ingin beranjak, tetapi udara dingin yang melingkari kamarnya membuat kakinya tak jadi menjejal lantai. Ia tarik kembali selimut hijau tua yang mirip warna kebangsaan Slytherin itu sampai menutupi cuping hidungnya. Ia memainkan kakinya yang mengintip dan memilin selimut dengan jemarinya.

Nala memainkan embusan napasnya yang samar membentuk asap, mungkin fajar ini suhunya mencapai sepuluh derajat. Kelopaknya mengedip, menguap lebar karena sejatinya ia masih punya waktu dua jam sebelum aktivitas paginya dimulai. Ketika ia menarik kembali selimutnya, Nala mendengar jelas suara yang meneriaki namanya tiap subuh tiba. "Nala!"

"ANALA WIYANGKA! MAMA TAHU KAMU SUDAH BANGUN. CEPAT TURUN!"

Suara mamanya benar-benar mengguncang eksistensi penghuni rumah ini, bahkan mungkin yang tak kasatmata. Tak mau mendengar raungan untuk kedua kalinya, cepat-cepat Nala menyelipkan kakinya pada sandal kelinci berbulu yang dibawakan tantenya saat berkunjung. Rambut sebahunya dikuncir asal hingga helaiannya masih berjatuhan.

Tepat sebelum mamanya berteriak kembali, Nala sudah menyambar celemek dan mengikatnya terburu. Mamanya memasang raut masam, "Cuci muka dulu sana, baru kamu kupas kentang di kulkas."

Perintah mamanya ia jawab dengan tindakan, tak mau paginya rusak karena bantahan yang ia lakukan. Sesuai instruksi, Nala mengambil kentang dan mengupasnya dengan telaten. Karena melihat mamanya akan memasak perkedel, ia kemudian menghancurkan dan memberikannya kepada mamanya.

"Kamu buat minum aja, terus ditata meja makannya. Sebentar lagi Mbak Nana sama papa pasti muncul."

"Ma, teh hijaunya habis, nih. Adanya teh biasa."

"Mama sama Mbak Nana ganti air mineral aja, belum belanja lagi."

Setelahnya sudah dapat Nala tebak, hanya ada keheningan panjang dari dinginnya pagi ini. Tak ada afeksi yang terkadang ia damba. Mungkin sekarang sudah tidak. Hatinya terlampau membeku. Lalu tiba-tiba saja bergema, serentetan kalimat pujian untuk Kanandra atau Nana yang sudah Nala hafal di luar kepalanya.

"Mbak Nana kemarin menang lomba apa?"

"Aku ikut PKM, Ma. Aku jadi ketuanya, dan itu lolos buat ke PIMNAS."

"Wahh, hebat dong, anak Mama."

Selalu begitu. Si sulung yang dipuji, si bungsu yang dilupa. Tapi baginya cukup. Cukup dengan kepekatan eksistensi Nana yang kadang membuatnya sesak tanpa merenggut kesamaran eksistensinya saja, sudah lebih dari cukup.

Nala beringsut merapikan meja makan. Ada papanya yang masih membaca koran dengan kacamata bacanya. Ada segelas kopi hitam yang tinggal separuh di hadapannya. Ada cicitan burung yang hinggap di dekat jendela. Ada embusan napasnya sendiri, entah lelah atau ia mencoba mewaraskan dirinya.

Ia bungsu, tak diberi pengharapan lebih. Tapi Nala tidak bodoh, setiap kali Nana membawa pulang hadiah, selalu saja ia diberi teguran terselubung.

Kapan kamu seperti ini?

Lihat, Mbak Nana udah bawa pulang hadiah kesekian kalinya tahun ini!

Aduh, belajar yang lebih giat dong!

Dan celotehan bisu lainnya yang bergemuruh di kilat mata mereka. Andai saja tak hidup berdampingan dengan keadaan penuh angkara, ia mungkin sudah kehilangan lebih dari tiga per empat kewarasannya. Ia termenung, membasuh piring dan gelas dengan perasaan gamang. Bukan karena tertekan—tapi bisa jadi salah satunya—hanya saja benaknya bergumul. Kapan terakhir kali ia menorehkan prestasi?

Lamunannya terpecah saat matanya terpaku pada jendela di depannya. Suara berisik datang hampir bersamaan dengan gelas yang tergelincir dari tangan Nala. Hampir ia memaki sebelum suara menggelegar papanya menyela.

"Bocah edan! Anak siapa ini yang berulah pagi-pagi buta?!"

Teriakannya mengagetkan Nala, karena saat itu ia melihat bahwa jendela dapurnya di sisi seberang hancur berkeping. Pecahannya mengenai beberapa bahan pangan keluarganya; garam, gula, dan micin yang diletakkan di sana. Benda yang mengakibatkan jendelanya pecah juga menghantam salah satu piring keramik mamanya yang berada di rak sebelah jendela. Dapurnya kacau!

Buru-buru ia membuang pecahan gelas di wastafel dengan alas. Memasang wajah tanpa ekspresi berarti, ia berdiri di samping papanya yang berkacak pinggang memelototi jendela yang rumpang itu. Sekilas Nala melihat bayangan dua orang yang berdiri di depan pagar rumahnya.

Pagar setinggi dua meter itu kemudian didorong perlahan. Ada satu remaja laki-laki yang mungkin seusianya dan satu bocah laki-laki yang Nala tebak belum lulus dari bangku sekolah dasar. Remaja laki-laki dengan raut masam itu menarik paksa bocah di sebelah yang memberengut.

"Ya ampun! Baru Mama tinggal sebentar aja udah berantakan kaya gini."

Nala memutar bola matanya yang tentu tak dilihat mamanya, lalu beranjak mengikuti papanya ke teras. Tak menghiraukan ocehan mamanya yang kini mulai mengutip pecahan dibantu Nana. Nala melihat papanya.

Wajahnya menjadi lebih sangar, apalagi ada guratan kecokelatan yang melintang di sisi kiri wajahnya. Rautnya sekarang masam, persis seperti laki-laki yang kini telah mengubah ekspresinya menjadi lebih sopan.

Remaja itu setengah membungkuk, mengingatkan Nala pada salam orang Korea. Matanya sipit dengan lapisan pelangi di lensa kacamatanya. "Selamat pagi, Om. Saya—"

"Om? Memang saya om kamu!"

Tawa Nala hampir menyembur andai tak melirik raut papanya dan laki-laki di depannya berubah.

"Maaf, maksud saya, Pak. Perkenalkan saya—"

"Langsung saja, tidak usah basa-basi."

Nala melihat laki-laki itu mengembuskan napas perlahan, mengetatkan tautan tangannya sehingga dengan jelas ia melihat ringisan di wajah si bocah.

Segalanya berlalu dengan tempo lambat. Semesta seperti ingin memberi kutukan pada kedua orang asing di teras rumahnya itu. Hampir setengah jam papanya memelototi keduanya, tak memberikan kesempatan untuk membela diri barang sekali. Nala sedari tadi mengamati ketiganya. Pagi ini kebetulan bagiannya untuk membersihkan halaman rumah dan taman. Jadi, mau tak mau sesekali matanya memandang ke teras.

Nala memang tak mendengar jelas pembicaraan ketiganya, tetapi Nala tahu bahwa masalahnya paling tidak sudah mendapat jalan keluar. Terbukti dari kedua orang asing itu yang sekarang sudah melewati pagar rumahnya. Lagi-lagi Nala melihat teras, entah mengapa ada perasaan bergemuruh di dadanya. Tiba-tiba saja pemikiran acak datang menghampirinya.

Kapan terakhir kali Mbak Nana melindunginya saat ia salah?

~~~

Catatan:
» Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) adalah suatu wadah yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dalam memfasilitasi potensi yang dimiliki mahasiswa Indonesia untuk mengkaji, mengembangkan, dan menerapkan ilmu dan teknologi yang telah dipelajarinya di perkuliahan kepada masyarakat luas.

Sc: wikipedia

» Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) merupakan kegiatan puncak pertemuan nasional perwujudan kreativitas dan penalaran ilmiah mahasiswa yang terjadwal secara akademik oleh perguruan tinggi dalam meningkatkan budaya kompetisi akademik dan unjuk prestasi di kalangan mahasiswa yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kesepakatan pimpinan perguruan tinggi yang disetujui oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (d/h Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat).

Sc: fmipa.ipb

Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang