12 | Erak

105 49 243
                                    

"Ejawantah Ruliff."

Bocah dengan rambut berantakan dan raut masam itu mengangkat tangannya. Wajahnya memuram seiring pertanyaan yang terlontar untuknya. Kali ini ia hanya membisu, sesuai instruksi mamanya agar tak lagi berpindah untuk ketiga kalinya. 

Teman baru, lingkungan baru, pengajar baru. Bocah itu cukup muak dengan kondisi tersebut. Di sampingnya duduk makhluk paling berisik yang pernah ia temui. Bahkan ayam di peternakan dekat rumahnya pun kalah berisiknya.

"Ruli, ayo main! Diem aja sih!"

"Ruliff bukan Ruli. Enggak mau main."

Walau usianya baru beranjak sebelas tahun, namun ia berlagak seakan sudah dewasa dengan ketenangannya. Di luar prediksi, bocah di sampingnya naik ke meja dan mengacak-acak bukunya.

"Ruli cemen ... Ruli cemen ... jangan temenin Ruli!"

Walau berusaha bersikap dewasa, namun Ejawantah hanyalah bocah berusia sebelas tahun kala itu. Dibawa tubuhnya ke atas meja lalu ditarik sekuat mungkin rambut keriting milik temannya itu.

Kelas mereka pun penuh sorak-sorai. Pemandangan bagus untuk siswa SD yang isi kepalanya hanya untuk bermain. Bocah rambut keriting yang meledek Eja pun membalas dengan mencengkeram seragamnya. Kini mereka dalam posisi di mana kepala si bocah miring karena dijambak Eja dan bahu Eja tertarik ke arah si bocah akibat cengkeramannya.

Waktu istirahat yang seharusnya terisi pemandangan siswa dengan bekal lucu mereka atau berlarian untuk berebut gorengan di kantin lenyap di kelas ini. Di tengah pertarungan sengit tersebut, terdengar teriakan seorang pengajar untuk melerai keduanya.

Dan kini, Ejawantah Ruliff bersama dengan bocah keriting—yang sesenggukan menangisi helai rambutnya yang tercabut—duduk di depan seorang wanita paruh baya. Mereka tertunduk karena ocehan yang dilayangkan kesekian kalinya sejak lima belas menit lalu mereka hadir.

Saat itu Eja berharap ia dikeluarkan lagi dari sekolah. Karena membayangkan harus menghabiskan masa sekolah dasar bersama mahkluk keriting yang super berisik bukan salah satu impiannya. Namun, siapa sangka? Makhluk keriting yang kerap dipanggil bersamanya saat sekolah dasar ikut pindah rumah saat mereka mulai memasuki masa sekolah menengah atas.

Samudera Yarsh, laki-laki keturunan Kanada-Minang itu menyengir lebar saat melihat foto masa kecil mereka yang tersampir rapi di nakas kamar Eja. Eja mendengkus, memperhatikan kedua manusia yang tiba-tiba berkunjung saat hari telah menyambut sore.

"Jelek banget si bule!"

Cercaan yang terlontar dari mulut Abian membuat Wiwil terkikik di sudut kamar. Sam, selaku objek pembicaraan melayangkan protes yang tercetak di wajahnya.

"Buset, tampang keren begini dibilang jelek. Buta lu!"

"Kena sumbang darah Kanada dikit mah enggak ngaruh."

Adit yang melayang-layang melihat figura dan wajah Sam bergantian ikut mengerut. Sudah kesekian kalinya ia terlihat seperti membandingkan wajah Samudera yang ada di hadapan dengan yang berada di figura.

"Terus maksud lu nyokap gue jelek gitu?"

"Enggak ada gue bilang nyokap lu jelek."

"Lah tadi? Darah Kanada dikit—" protes Sam tampaknya dipotong secara tegas oleh Abian.

"Lu bukannya anak pungut bawah kolong?"

"Emang anjing!"

Kepala Eja berdenyut mendengar obrolan tak penting antara keduanya.

"Oh iya, lu udah oke, Ja?"

Itu hal yang selanjutnya diucapkan Abian setelah selesai membisukan Sam. Ia kini duduk di kursi belajar Eja yang beberapa kali melayangkan sinis karena menyaksikan Samudera dengan stoples keripik bawang yang berhamburan di lantai kamar Eja.

Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang