11 | Lara

209 86 343
                                    

Terlalu cepat bagi Kanandra menyaksikan semuanya. Adiknya yang batuk darah, papanya yang setengah pincang menghampiri, hujan yang turut membasahi rumah mereka, dan mamanya yang baru saja kembali dengan sekujur tubuh menggigil.

Ia setengah gila.

Mengambil kunci mobil yang dilihatnya, dengan setengah berteriak ia mengomando kedua orang tuanya yang kelimpungan. Di sinilah mereka, secepat yang ia bisa membelah kerumunan untuk sampai di rumah sakit.

Kanandra tak dapat menghentikan jalannya waktu yang kacau. Berkali-kali menggigit bibirnya sampai luka, memberikan klakson pada setiap yang menghalangi, dan menghiraukan apa yang berenang di kepalanya.

Kedua orang tuanya membisu. Tak saling menatap, hanya berpegang pada tubuh adiknya yang memucat. Kanandra mencengkeram setir erat sampai tak sadar sudah berada di depan rumah sakit.

Begitu mobil terbuka, dengan gerimis yang melatari pertiwi, Anala dibaringkan di hospital bed. Suara dari perawat yang menyambut tak didengar Nana dengan jelas. Kepalanya terlalu berisik untuk menyimpulkan apa yang terjadi saat ini.

Setengah berlari menuju UGD, Kanandra lalu menepi begitu sampai untuk memberikan akses diperiksanya detak jantung, tekanan darah, pernapasan, dan tingkat kesadaran Nala.

Ia kembali membisu, memperhatikan bagaimana perbincangan mengenai riwayat dan kondisi Anala sebelumnya antara dokter dan kedua orang tuanya. Sayup-sayup didengar bahwa adiknya mengalami gejala hemoptisis, namun ada kemungkinan lain, yaitu hematemesis.

"Sebelumnya apa ada gejala mual-mual dan muntah?"

"Saya kurang yakin, Dok. Soalnya posisi saya jauh dari anak saya."

Ingin rasanya menyela, namun bibir Kanandra dibuat kelu. Ia bergeming tanpa ada minat untuk masuk ke dalam percakapan.

"Ada riwayat penyakit paru tidak, ya, Pak?"

Orang tuanya berpandangan, lalu suara mamanya yang selama seminggu ini hanya didengar beberapa kali menyahut, "Enggak, Dok. Seinget saya enggak ada."

Pria paruh baya dengan jas putih itu mengangguk. Netra di balik kacamata yang dikenakannya tanpa menelisik raga Anala. "Baik, Bapak dan Ibu. Setelah pasien siuman, akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sementara akan dipasang cairan intravena dan terus dipantau tanda-tanda vitalnya oleh perawat."

Tak berselang setelahnya, hospital bed Anala bergerak menuju ruang rawat inap. Di dalamnya sudah berisi dua pasien lain dan satu tempat kosong untuk adiknya. Selama beberapa menit, ia masih saja bergeming. Sesekali matanya melirik ke arah kedua orang tuanya yang bertukar sapa dengan wali pasien lain. Energinya kelewat minim sampai ia tak dapat menggurat senyum sekadar formalitas bagi siapa pun.

Saat perawat hilir-mudik memeriksa keadaan adiknya secara berkala dan mengecek saturasi oksigen yang ternyata berada di angka 89%, Kanandra sedikitnya merenggangkan tubuh. Ia mendengar dengan saksama bahwa kadar oksigen milik Nala berada di ambang batas cukup, sehingga akan dilakukan pemantauan terlebih dahulu. Ketika siuman, pemeriksaan fisik akan segera dilakukan dan apabila adiknya mengalami hipoksemia, maka akan dibantu dengan oksigen tambahan.

"Kamu mandi dulu sana!"

Mamanya kini berdiri dengan kulot hitam yang dipadukan bersama blus biru dan rambut setengah basah. Papanya setelah kembali mengambil pakaian, kini menghilang entah ke mana. Kanandra masih mengenakan shorts putih dan kaus oblong hitam dengan surai yang sudah tak berupa. Matanya sedikit sembap dengan hidung kemerahan akibat cuaca yang menerus statis.

Ia mengangguk, menerima paper bag berisi handuk, shorts, kaus dengan warna berbeda, dan travel bag. Hanya butuh sepuluh menit bagi Kanandra untuk menyelesaikan mandinya. Lima menit lagi digunakan untuk menggunakan skincare dan memoles liptint agar terlihat lebih manusiawi.

Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang