Mimpinya kelewat panjang. Sampai-sampai langit bukan lagi berwarna biru keabuan, melainkan pekat dengan sinar bulan separuh. Anala tak ingat, apakah dunia atau waktu yang berhenti bergulir. Matanya mengerjap dan bergulir menatap obyek yang tertangkap. Ia dapat mendengar napasnya yang beraturan, suara rintik hujan yang menghantam benda-benda di sekitar, dan suara bersahutan yang datang dari sebelahnya. Rael Adiwinata dan Kanandra Wiyangka yang tengah beragumen dengan nada tinggi hingga sulit dipahami olehnya.
"Tolonglah Na, ini udah jam tujuh malam dan kamu baru makan ayam satu aja dari tadi."
"Berapa kali aku bilang, El? Nanti, oke! Aku tunggu Nala bangun dulu."
Anala berdeham, suaranya terdengar serak dan kecil. Rael yang duduk di ujung ranjang mendengarnya dan secepat kilat menoleh, "Nal?"
Kanandra berhenti menggigit jarinya dan terpaku di tempat setelah sibuk bolak-balik sejak sembilan jam lalu. Anala mendengar embusan napas dari kakaknya dan melihat wajah Nana dengan lebih jelas. Wajahnya pucat dan masih terlihat mengenakan pakaian yang sama saat pagi tadi. Celana training yang dikenakannya terlihat kusut dikarenakan ia sibuk mengganti posisinya selagi menunggu Anala bangun. Rael yang sekarang pergi entah ke mana tiba-tiba muncul dengan segelas air. Rupanya ia langsung turun mengambil air karena selama sembilan jam terakhir Anala belum mendapatkan asupan apa pun.
Setelah meneguk air, Rael dan Nana secara bergantian mengecek kondisinya, memastikan bahwa ia tak mengalami hal buruk. "Beneran enggak apa? Besok ke dokter deh, takutnya ada sakit."
Anala hanya menggelengkan kepalanya, dihirup udara dalam sebelum berujar, "Aku oke, Mbak. Nanti kalau sakit aku bilang kok."
Kanandra baru saja ingin menyanggah, namun tangan Rael memberikan isyarat untuk tidak melakukannya. Mereka pun keluar dan memberikan waktu kepada Anala untuk beristirahat setelah menyiapkan makan malam.
Rumah keluarga Wiyangka malam itu kelewat hening dan mencekam. Anala dapat merasakan perubahan atmosfer semenjak ia melihat bayangan perempuan tadi pagi. Kepalanya berdenyut keras, diliriknya langit yang sepenuhnya kelam dan jam menunjukkan pukul enam petang.
Aneh, pikirnya sembari mengusap matanya beberapa. Waktu masih menunjukkan awal petang, namun jumantara tampak sekelam pukul sepuluh malam. Ia beranjak setelah menghabiskan setengah porsi makan malamnya dan dua gelas air mineral. Tubuhnya sedikit linglung, kepalanya kadang berdenyut dan telinganya berdengung setiap beberapa menit.
Tangannya baru saja menyentuh handle pintu, namun pintu terbuka begitu cepat yang membuatnya hampir terjerembap. "Udah berapa kali Mama bilang?! Jaga kesehatan dan makan yang teratur! Baru aja sehari pergi udah buat masalah!"
Suara mamanya seperti berenang di udara lalu masuk ke pikirannya. Di depan pintu, mama dan papanya yang baru Nala lihat hari ini menampakkan eksistensi mereka. Tangan mamanya bersedekap, membuat gaun kuning selutut yang dipakainya sedikit kusut. Papanya terlihat mengembuskan napas, rautnya lelah namun gurat kesal kentara di wajahnya.
"Kamu bukan anak kecil lagi yang harus Mama bilangin sampai berbusa. Apa nunggu Mama mati dulu baru didengerin dan diinget apa yang disuruh? Capek Mama sama kamu! Punya otak enggak sih, kamu?"
Anala membisu. Tubuhnya membeku dengan pandangan tertunduk. Ia tak lagi ingin melihat wajah kedua orang tuanya untuk saat ini. Raganya lelah, atmanya serasa dihantam keras saat mendengar serentetan kalimat panjang dari orang tuanya.
Memangnya siapa yang mau pingsan? Pikirnya retoris.
Ia mendengar Nana berbincang dengan orang tuanya. Suara mereka melunak dan segera, kamarnya ditinggalkan dan sunyi. Tubuhnya dijatuhkan begitu saja, seakan gravitasi kuat menariknya ke kasur. Napasnya teratur, matanya mengelilingi langit kamarnya. Gorden hijau lumut di kamarnya berkibar karena jendela yang ia biarkan terbuka. Di seberang, ekor matanya melirik kamar tetangganya yang masih benderang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di Kepalaku
Teen FictionO N G O I N G 16+ "Mereka hidup dalam satu naungan, dilewatinya tiap musim bersama. Namun tumbuh dengan jarak di antara keduanya, hingga mendarah." Anala Wiyangka adalah seorang bungsu yang tak diberi pengharapan. Tak pula dibebani kepercayaan kare...