Anala masih berkutat dengan tugas sekolahnya. Walau menjalani home schooling, tetap saja ia memiliki tugas layaknya anak sekolah reguler. Netra pekatnya beradu dengan langit malam, penglihatannya mulai mengutip kerlip bintang satu per satu.
Malam ini rembulan bersinar separuh, cukup terang baginya. Helaian berwarna ash purple yang baru ia warnai kembali, mulai berkibar. Nala membuka sedikit jendela kamarnya, membiarkan sepoi angin turut mengisi ruangan tersebut.Matanya menatap jumantara dengan gamang. Pikirannya mengingat kejadian pagi tadi. Tetangga baru katanya, mencuri dengar dari percakapan keluarganya.
Nala memang asing dengan tetangganya, tapi rasanya tak pernah seasing itu saat matanya berserobok dengan netra cokelat terang milik remaja tadi. Ada hawa yang menyengat tubuhnya; rasanya seperti ia disetrum dan disiram air secara berkala.
Mungkin hanya perasaannya saja.
Gorden hijau lumut yang terpasang di kamarnya sangat kontras dengan helaian ash purple miliknya. Manik sekelam bumantara saat ini, turut memberikan warna pada kulitnya yang sepucat kapas. Pikirannya gelisah, masih memutar memori tentang tatapan tetangga barunya tadi. Seperti ada pesan, seperti ada ... hal yang coba untuk dikembalikan. "Gue mikir apa sih?"
Entah kepada siapa pertanyaan tersebut ia lontarkan. Yang jelas, ketika matanya memandang ke rumah bercat putih gading di hadapannya, ia melihat lampu kamar yang menyala. Sebelumnya selalu petang, tak mengenal hari telah berganti atau belum.
Dirinya tersentak saat tiba-tiba saja kaca transparan itu berganti dengan wajah remaja tadi. Jaraknya lumayan jauh sehingga Nala tak dapat mendengar apa yang ia katakan. Tetapi tangannya mengisyaratkan seperti ia mengusir sesuatu.
Tapi apa?
Karena hanya ada angin dan suara binatang malam yang membatasi jarak mereka.
Mungkin karena naluri manusia, remaja itu kini memandangnya. Terlihat salah tingkah karena Nala terang-terangan membalas tatapannya. "Sorry, ada yang salah sama gue?"
Suaranya agak meninggi karena jarak yang membatasi mereka. Anala hanya menggelengkan kepalanya, masih menatap remaja yang kini berulang kali mengacak rambutnya. Kebingungan mungkin. "Nama lu siapa?"
Nala mengerjap. Darahnya dirasa mengalir lebih cepat, jantungnya bergemuruh, ia kenapa? Tetangga barunya itu kembali melayangkan pertanyaan yang sama, "Ha-lo. Nama lu siapa? Gue enggak mungkin manggil Tetangga Baru atau Mbak Ungu, 'kan?"
Nala bergeming, menatap lurus ke arah tetangga barunya. Tanpa balasan, tanpa gestur, tanpa sapaan balik, ia menutup kaca transparan ini dan menyibak kedua gorden ke tengah; memutus pandangan tetangga barunya.
···
Di saat bersamaan, Eja yang tengah mengusir Wiwil dari kamarnya pun keheranan. Mengapa dirinya menjadi sok akrab seperti tadi? Dan mengapa pula tetangganya bersikap sangat aneh?
Pada mulanya ia berniat untuk mengusir Wiwil yang menerobos begitu saja, bersikap seolah hal yang wajar bila ia berada di kamar Eja. Belum lagi hantu anak kecil yang berada di kamar Muradif, ikut-ikutan mengungsi ke kamarnya hanya karena Eja seorang saja yang dapat melihatnya.
Tetapi, saat membuka jendela kamarnya, ia malah bertemu pandang dengan hantu cantik—ralat, tetangganya yang ia maksud. Rambut ungunya terlihat kontras dengan gulita, apalagi wajahnya masih saja sedatar jalanan beraspal.
Ia bahkan memandangi Eja terang-terangan. Biasanya, perempuan akan tersipu bila tertangkap sedang mengamati lawan bicaranya. Tetapi tetangganya itu ... ahh, sebelumnya mereka juga tidak berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di Kepalaku
Teen FictionO N G O I N G 16+ "Mereka hidup dalam satu naungan, dilewatinya tiap musim bersama. Namun tumbuh dengan jarak di antara keduanya, hingga mendarah." Anala Wiyangka adalah seorang bungsu yang tak diberi pengharapan. Tak pula dibebani kepercayaan kare...