Music play: Royalty - Egzod & Maestro Chives ft. Neoni
···
Sayup-sayup suara pengantar tidur terdengar. Menghias malam dengan merdu dan gemerlapan bintang menemani tiap senandungnya. Ia tersenyum lembut memandangi tubuh mungil di ayunan. Sorotnya tak bisa lepas barang sedetik, memastikan bahwa aman menyertainya.
Surai gelapnya terburai, diacak angin yang bermain-main di langit. Gaun biru muda selutut yang ia kenakan berkibar bersamaan dengan surainya yang beberapa kali menutupi wajahnya. Terlihat ada kain yang tersampir di bahunya. Ia menoleh, mendapati seorang laki-laki di sana.
Bergeming dan hanya memadangi ayunan dengan tatapan yang sulit ia pahami.
"Mau gendong, Mas?"
Diambilnya tubuh mungil yang tampak rapuh. Terselimuti kain senada gaun si perempuan, terlihat bahwa tubuh mungil tersebut beberapa kali menggeliat sebelum diserahkan ke arah si laki-laki.
Serupa keluarga bahagia saat tangan laki-laki berhasil mendekap lembut tubuh mungil yang terlelap itu. Wajahnya masih sedikit kemerahan dan tubuhnya hanya sebesar nangka.
Adegan selanjutnya tak dapat tertebak dikarenakan Anala sudah terbangun dengan kucuran keringat. Ia terengah, mengingat jelas mimpinya barusan. Mendesah lelah begitu mendapati pakaiannya basah kuyup.
Minggu pagi yang menyebalkan.
Ia memutuskan untuk menyibak gordennya dan membuka lebar-lebar kaca persegi agak pasokan oksigen segar memenuhi ruangan tempatnya. Di bawah jumantara yang masih setengah gelap, ia berhadapan dengan kamar Eja, pemuda berkacamata yang baru ia ketahui namanya.
Sangat lucu mengingat mereka pernah bertukar kata beberapa waktu lalu. Senyum yang terukir di wajahnya terganti begitu kaca persegi di seberang terbuka. Tertampilkan wajah Eja yang kusut, sama sepertinya.
Tetangganya itu seperti belum menyadari eksistensi Anala karena ia tak mengenakan kacamata yang biasa bertengger di wajahnya. Setelah beberapa detik, saat netra mereka saling beradu, ia tampak sadar akan kehadirannya.
"Baru bangun?" sapanya di awal pagi. Senyumnya merekah, hampir asing bagi Nala.
Anala mengangguk. Begitu lewat beberapa detik tak mendapat respon, ia segera menjawab, "Iya. Lu juga?"
"Udah dari tadi."
Anala tak tahu harus merespon apa, ia hanya menggumamkan kata 'oh' perlahan dan tak sampai di telinga Eja. Namun sapaan kembali terdengar, "Temen lu semalem nge-chat gue."
Alisnya tertaut, sedikit bingung dengan maksud Eja. Baru saja ingin merespon, ia tersadar bahwa teman yang dimaksud adalah Rael.
"Rael maksud gue. Dia semalem spam chat gue."
Benar saja tebakannya mengingat ia tak memiliki teman lain. Anala terkekeh, terbayang jelas betapa annoying Rael, bahkan kepada orang baru seperti Eja. Mereka menyudahi perbincangan pagi karena harus melanjutkan jadwal masing-masing.
Beberapa saat kemudian Anala telah duduk di kursi dengan sepiring sandwich semalam yang ia panaskan. Segelas teh hijau menemani sarapan yang kelewat sunyi ini. Mobil papanya belum juga tampak setelah lewat seminggu. Sedangkan mamanya lebih banyak menghabiskan waktu di luar ketimbang di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di Kepalaku
Fiksi RemajaO N G O I N G 16+ "Mereka hidup dalam satu naungan, dilewatinya tiap musim bersama. Namun tumbuh dengan jarak di antara keduanya, hingga mendarah." Anala Wiyangka adalah seorang bungsu yang tak diberi pengharapan. Tak pula dibebani kepercayaan kare...