Music play: Menangis di Jalan Pulang - Nadin Amizah
···
Pikirannya berlarian sejak beberapa saat lalu. Tubuh yang diguyur air dingin tersebut tampak pasrah saat dihujani ribuan tetes air. Mata Anala terpejam di bawah kucuran shower yang sejak lima belas menit sebelumnya bekerja dengan tempo yang sama.
Saat menggosok bagian pundaknya, ia meringis. Ada lebam yang tercetak di sana. Ia terpejam selama dua menit sebelum menyudahi kegiatan membersihkan tubuh tersebut. Dikenakannya handuk dan berjalan keluar. Anala dapat melihat pantulan tubuhnya pada cermin di atas meja rias. Sudut bibirnya tampak menyedihkan, walau tak semenyedihkan kondisi di beberapa bagian tubuh yang lain.
Anala merasa remuk di sekujur tubuhnya selama dua hari ini, namun detik ini ia harus memaksakan diri karena ada kelas yang wajib dihadirinya. Mentari yang terpantul melalui jendela kotak di kamarnya sudah memaparkan sinarnya sejak pukul enam pagi tadi.
Mengenakan jeans longgar dan kardigan berwarna krem yang ditutupi dengan motif hati besar adalah pakaian yang dipilihnya hari ini. Anala juga memoles wajah, menyemprotkan parfum buah kesukaannya, lalu menguncir tinggi rambutnya dan mengenakan topi senada yang bertuliskan New York.
Ia keluar dengan membawa serta totebag yang memuat buku serta tablet dan stylus pen untuk menunjang pembelajarannya. Sudah dua hari rumahnya sunyi dan tampak kosong. Tak ada sarapan bersama atau teriakan mamanya untuk melakukan segala hal. Entah ingin bersyukur atau meringis menghadapi situasi seperti ini. Saat kakinya menjejak di halaman rumah pun tak terlihat ada eksistensi yang menghuni rumahnya.
Tak mau ambil pusing, Anala bergegas membuka gerbang dan duduk di belakang ojek online yang dipesannya dua belas menit lalu. Pagi itu lalu lalang kendaraan masih seramai biasanya, namun sudah tak didominasi anak sekolah atau budak korporat yang kelewat rajin.
Ia sampai di kelas tepat sepuluh menit sebelum dimulai. Pukul sembilan menuju dua belas saat itu dirasa melambat. Kelas yang hanya diisi oleh tujuh anak mungkin akan kelewat sepi bagi siswa reguler, namun bagi Nala, kelas ini rasanya seperti festival.
"Anala Wiyangka?"
Tabletnya hampir meluncur jika saja Nala tak segera menggenggamnya. Ia tersentak saat namanya disebut. Dengan sedikit malas dengan cepat ia menyahut, "Hadir, Miss."
"Can you explain, how to achieve maximum profit in this case? Dengan langkahnya."
Anala hampir saja mendengkus kalau-kalau tak diperhatikan sebegitu intensnya oleh pengajar kelas ini.
"7 minutes, that's your time."
"Oke, Miss."
Ia melihat kembali layar di depan, tertera salah satu soal mengenai program linear yang menanyakan keuntungan maksimum dari penjualan pukis dan bolu. Mengingat kembali penjelasan dari gurunya dan mencoba menyelesaikan satu soal dalam tujuh menit membuat jantungnya berdetak cepat.
Anala meninggalkan tablet dan stylus pen di kursinya, lalu beralih ke depan papan tulis yang sudah siap ia hias dengan angka. Ditulisnya dengan cepat apa yang telah dikerjakan dan mengakhirinya dengan memberi garis dua di bawah jawaban.
"Coba kamu jelaskan jawabanmu. You have ten minutes for presenting it."
"Oke, Miss. Dari soal tersebut, to make a sponge cake, we need 200 grams of flour and 100 grams of sugar. And to make pukis, we need 300 grams of flour and 120 grams of sugar. Bolu dijual seharga Rp70.000 dan pukis dijual seharga Rp50.000. The question is, berapa keuntungan maksimum yang dapat diperoleh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di Kepalaku
Teen FictionO N G O I N G 16+ "Mereka hidup dalam satu naungan, dilewatinya tiap musim bersama. Namun tumbuh dengan jarak di antara keduanya, hingga mendarah." Anala Wiyangka adalah seorang bungsu yang tak diberi pengharapan. Tak pula dibebani kepercayaan kare...