Setelah diguyur hujan selama beberapa saat, bumantara di Selasa malam itu kelewat mengilap sampai Eja dan Adit dapat melihat rasi yang tampak samar. Baru saja ingin merebahkan tubuhnya, pintu kamar yang tertutup rapat kini menganga serupa bibir Muradif yang gemar berteriak.
"Eja! Budek ya? Dipanggil mama tuh!"
Panjang umur, pikirnya saat melihat eksistensi Muradif—si bocah sableng—yang baru saja terlintas di pikirannya. "Ngapain?"
"Tanya aja sendiri. Aku mau lanjut nge-game."
Muradif melenggang dan meninggalkan Eja beserta Adit yang kini melayang-layang melihat beberapa medali kategori lari jarak pendek. Tak mau mendapat teriakan dari mamanya, ia pun bergegas turun. Tampak mamanya yang berkutat di dapur membelakangi Eja.
"Mama manggil?"
Eja melompati sofa di seberang dapur dan menyambar stoples kue bawang home made. Mamanya mengangguk, masih membelakangi Eja yang kini berjalan mendekatinya untuk mengambil air dari dalam kulkas. "Kenapa, Ma?"
"Ini tolong kamu anterin ke sebelah, ya. Pas hari Minggu si Adif diajak main sama dijajanin. Mama lupa belum bales."
Mamanya mengangkat sekantong karton yang isinya tak diketahui itu. Eja merespon dengan mengangkat alisnya, "Sejak kapan si sonto—Adif akrab sama tetangga sebelah?"
"Nanti aja ceritanya ih. Cepat dianter dulu, keburu malam nanti."
Mamanya dengan sigap mendorong Eja yang membuatnya mau tak mau menurut. Ia ingin memutar kembali langkahnya ke kamar hanya sekadar mengganti celana pendek kebangsaannya ini dengan training panjang, namun delikan dari mamanya membuat Eja sadar bahwa kantong karton yang beratnya mirip dengan paket sejarah tersebut harus segera sampai tujuan.
Berbekal semangat dan rasa percaya diri, ia melangkahkan kakinya dengan harap-harap cemas yang menerima bukan ayah dari tetangganya itu. Masih segar diingatannya betapa gagap Eja saat berhadapan dengan kepala keluarga sebelah rumahnya.
Tak sampai lima langkah dari gerbang rumahnya, ia berdiri di hadapan gerbang setinggi dua meter yang pernah menjadi momok. Netranya awas memantau halaman rumah tetangganya yang tampak sunyi.
"Permisi."
Suaranya cukup menggelegar karena kompleks ini jarang dilalui kendaraan kecuali empunya rumah di blok F tersebut.
"Permisi."
Lagi-lagi hening. Masuk aja kali ya, siapa tahu enggak kedengaran.
Dibuka gerbang dan dengan ragu menjejak kakinya. Kantong karton yang ia bawa terayun, selaras dengan desir angin dan tatapan dari penghuni pohon di halaman tersebut. Diambilnya langkah panjang karena tak mau berurusan dengan penghuni tak kasatmata di rumah tetangganya ini.
Tangannya dengan cepat menekan bel begitu ia sampai di teras rumah. Dua kali ditekan dan pintu terbuka. Eja kira ia akan melihat helaian rambut ungu yang tampak familier akhir-akhir ini di pikirannya, namun yang ditemui adalah gadis dengan tinggi yang tak jauh berbeda dengannya.
"Siapa?"
Suaranya agak serak. Eja berdeham sebelum menyerahkan kantong karton dengan sopan, "Tetangga sebelah, dari nyokap katanya ucapan terima kasih."
"Nyokap lu siapa?" Eja melihat gadis tersebut memandangnya heran, seperti melihat manusia berkaki tiga.
"Kirana Restu."
"Nyokap lu artis?"
Kali ini berganti Eja yang dibuat keheranan. Tetangganya ini mabuk atau bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Apriori: Jangan Pernah Menaruh Asa di Kepalaku
Teen FictionO N G O I N G 16+ "Mereka hidup dalam satu naungan, dilewatinya tiap musim bersama. Namun tumbuh dengan jarak di antara keduanya, hingga mendarah." Anala Wiyangka adalah seorang bungsu yang tak diberi pengharapan. Tak pula dibebani kepercayaan kare...