BAB 2. Rencana Kepergian

10.1K 328 8
                                    

Kutatap foto di akun itu sekali lagi. Tiba-tiba mataku mengembun. Aku seperti tak percaya. Baru saja aku merasakan manisnya cinta dari mas Bayu. Tapi rupanya begitu cepatnya cinta itu telah ternoda.

Benarkah mas Bayu mencintaiku? Apakah kemaren itu bukan cinta? Apakah dia hanya pura-pura mencintaiku untuk menyenangkan hatiku? Jangan-jangan dia bilang ingin punya anak karena desakan orang tuanya. Karena, kami sudah dua tahun menikah dan belum ada tanda-tanda akan punya anak. Padahal itu semua memang sudah kami rencanakan sebelumnya.

Tiba-tiba aku merasa bodoh dengan sikap mas Bayu selama ini. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang? Kenapa aku terbuai dengan sikap mas Bayu akhir-akhir ini? Apa itu semua ternyata palsu?

Segera ku sign out akun mas Bayu. Aku tak ingin dia menyadari kalau aku habis membuka akunnya.

Aku berusaha untuk segera tidur sebelum mas Bayu pulang. Tapi, mataku tak juga mau terpejam. Bayangan mas Bayu sedang berdua dengan wanita itu tak mau enyah dari ingatanku.

Aku bingung harus melakukan apa. Marah? Tentu tidak bisa. Ini sangat memalukan. Bukannya selama ini aku memang takt ahu perasaan mas Bayu sejatinya terhadapku. Jika aku marah, bukannya bisa jadi mas Bayu malah menertawakanku.

Aku sudah merasa kalah sebelum bertanding. Sepertinya, aku yang harus mengalah. Aku yang harus pergi. Aku harus Menyusun rencana kepergianku. Dan rencana ini harus sukses. Aku tak ingin mas Bayu menghalangi kepergianku. Aku harus segera dapat melupakan mas Bayu. Melupakannya untuk selamanya.

Kuhembuskan nafasku dengan kasar. Kuputuskan untuk bangun dari tidurku. Laptop yang tadi telah kumatikan, akhirnya kubuka kembali.

Tiba-tiba ingatanku tertuju pada rencanaku jauh sebelum aku menikah dulu. Sekolah ke luar negeri. Mungkin ini salah satu cara aku pergi dan melupakan mas Bayu.

Segera kucari informasi pendaftaran program master. Beruntung, sekarang sedang dibuka pendaftaran mahasiswa baru. Artinya, aku bisa mendaftar untuk tahun ajaran yang akan segera dimulai. Artinya dalam tiga bulan ke depan aku bisa pergi.

Ah, tiga bulan. Lama juga ya? Aku menghela nafasku lagi. jika aku ingin rencana berjalan mulus, artinya aku harus pura-pura tidak tahu apa-apa hingga tiga bulan ke depan? Bisa kah?

Ah, tak penting. Yang terpenting aku harus diterima dulu. Jika sudah diterima, aku bisa berangkat lebih cepat bukan?

Ada banyak beasiswa di tawarkan. Tapi, proses mendapatkan beasiswa tampaknya memakan waktu. Segera ku cek uang tabunganku. Selama dua tahun menikah dengan mas Bayu, aku bahkan tak pernah menggunakan uang gajiku. Mas Bayu dengan sangat baik memberiku ATM yang selalu diisinya.

Aku sedikit bernafas lega setelah melihat biaya hidup di berbagai negara. Sepertinya, tabunganku cukup untuk melarikan diri selama setahun. Toh, nanti di sana aku bisa bekerja bukan?

Mataku benar-benar tidak mengantuk. Padahal ini sudah hampir jam 11 malam. Dan mas Bayu belum menampakkan tanda mau pulang.

Aku segera kembali browsing universitas dan negara tujuan yang hendak ku daftar. Berbekal pengalaman di lembaga riset bidang sosial ekonomi, aku sudah bisa memilih jurusan mana yang hendak aku ambil. Akupun mencari universitas di kota dengan biaya hidup rendah dan tuition fee yang tidak terlalu mahal, mengingat aku akan sekolah dengan biaya sendiri jika aplikasi beasiswa tidak ada yang lolos.

Deru mobil masuk rumah sudah terdengar. Aku segera mematikan laptopku dan meletakkannya di meja kecil di sebelah tempat tidurku. Si*alnya aku tidak bisa tidur kalau tidak ke toilet dulu.

"Kamu belum tidur, Ra?" tanya mas Bayu saat kami berpapasan karena aku baru dari toilet. Dia sepertinya kaget mendapati aku masih terjaga.

"Dari mana, mas?" tanyaku tanpa mengindahkan pertanyaannya.

"Ketemu temen," ujarnya singkat. Aku hanya mengangguk lalu beranjak ke tempat tidur.

Entahlah, malam ini aku merasa dia lain dari biasanya. Atau hanya perasaanku saja karena aku baru melihat faktanya hari ini. Tapi, segera ku singkirkan perasaanku itu. Masih ada waktu tiga bulan, dan aku tak ingin sampai rencanaku ketahuan olehnya. Lebih baik, aku bersikap biasa saja.

--

Di kantor, saat jam istirahat, aku manfaatkan untuk mengirim aplikasi. Beberapa persyaratan yang membutuhkan dokumen baru pun kupersiapkan dengan matang, misalnya hasil tes bahasa inggris. Semua persyaratan sudah aku siapkan dalam satu folder. Hal ini memang karena aku pernah berniat sekolah lagi sebelum menikah. Tapi, impian itu kandas karena aku menikah. Aku sendiri tak pernah membahas hal ini dengan mas Bayu. Sehingga mas Bayu tak pernah tahu dengan impianku ini.

Hampir tiap hari aku bersemangat mengecek email untuk mendapatkan progress aplikasiku. Aku sudah tak terlalu memperdulikan mas Bayu lagi. Selama proses aplikasi ini, ku bersikap biasa saja, meskipun aku masih sering memergoki notifikasi di ponselnya saat dia tinggal mandi.

Bahkan, aku masih melayaninya tak kurang suatu apapun, termasuk di tempat tidur. Aku melakukannya semua dengan baik hingga mas Bayu tak pernah menyangka kalau aku sebenarnya hanya berpura-pura.

Hingga akhirnya hari yang kutunggu pun tiba. Aku mendapatkan beberapa surat penerimaan dari universitas. Dan yang lebih menyenangkan salah satunya aku mendapatkan beasiswanya juga, sehingga aku tak perlu repot mengeluarkan biaya. Tabunganku bisa aku pakai buat back up jika beasiswanya kurang.

Aku memang tidak berniat mendaftar beasiswa pemerintah Indonesia. karena aku tidak ingin meninggalkan jejak yang akan mudah dilacak oleh mas Bayu.

Akhirnya, aku memilih universitas di Belanda dengan beasiswa dari organisasi pendidikan di Belanda. Tak mengapa beasiswanya tak sebesar beasiswa dari pemerintah Indonesia. konon, memang standar biaya hidup mahasiswa master memang tidak besar. Berbeda dengan mahasiswa PhD.

Segera kuurus visa studiku. Aku ingin berangkat secepat yang aku bisa. Aku sengaja tidak memberitahu ke Ayah atau ibuku. Aku tak ingin rencanaku sampai bocor. Jika Ayahku tahu, otomatis ayah mertuaku juga akan tahu. Artinya, rencanaku pasti akan gagal.

Aku sudah mempersiapkan resign dari kantorku. Jauh-jauh hari aku beritahu atasan langsung ku dan aku memintanya untuk merahasiakan dulu. Aku pun sengaja tidak menyebutkan secara detil kemana aku akan sekolah dan untungnya atasanku hanya bertanya negara, bukan nama kampusnya.

Sayangnya, aku tak dapat membagi kebahagiaanku memperoleh beasiswa dengan mas Bayu. Bahkan aku malah mendapatkan berita yang lebih menyesakkan. Sore itu aku membaca notifakasi di ponsel mas Bayu saat dia sedang di kamar mandi

[Bay, jangan lupa besok kita belanja buat persiapan pernikahan kita]

Seketika mataku membulat. Aku mengucek mataku. Apakah aku salah lihat?

--

BERSAMBUNG

Biarkan Aku Pergi / KETIKA DIRIMU MENDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang