Selama dua tahun aku tinggal bersamanya, nyaris aku tak pernah sakit. Masuk angin saja jarang. Tentu saja, dia agak aneh melihatku seperti ini.
Aku pun juga heran. Kenapa tiba-tiba badanku merasa tidak enak. Apakah karena pergantian cuaca dari musim panas ke musim gugur? Entahlah.
Akhir-akhir ini memang angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Ini pertanda awal musim gugur. Daun-daun yang menguning mulai berjatuhan. Saat berangin seperti ini, kayuhan sepeda terasa lebih berat. Namun, aku beruntung tinggal di area dalam kampus, yang membuatku tak harus jauh bersepeda. Paling hanya belanja saja yang lumayan jauh.
"Tapi, isi perutmu keluar semua, Ra. Harus diisi lagi." Mas Bayu tak lagi mengikutiku berbaring. Dia duduk di sisi ranjang sambil menatapku dengan sorot mata khawatir.
Aku jadi merasa tersanjung. Dulu, jaman masih di Jakarta, malah dia tidak pernah seperti itu. Dia termasuk tipe orang yang tidak perhatian, menurutku.
Justru, aku yang selalu mengalah memperhatikannya. Kata ibuku, biar hati Mas Bayu cepat luluh. Sayangnya, hatinya tidak pernah luluh untukku.
Ah, tiba-tiba hatiku merasa nyeri kembali begitu mengingatnya.
Aku bangkit dari kasur, mengajak Mas Bayu ke jendela kaca di sisi kamar. Meski sudah sore, tapi masih terang.
"Mas, di ujung sebelah sana ada yang jual burger halal." Telunjukku mengarah pada sisi pusat belanja yang terlihat dari kaca jendela kamar Mas Bayu. Aku menyebut nama toko dan juga menunjukkannya di aplikasi peta melalui ponsel. Tak lupa, aku selipkan juga penjelasan menu apa yang di jual selain burger. Ada maksud terselubung, biar dia lebih semangat jika tahu ada menu lain.
Ekspresi wajah Mas Bayu berubah aneh. Mungkin dia keheranan.
Sewaktu di Jakarta aku tak pernah sekalipun menyuruhnya. Apalagi hanya sekedar beli makanan.
Tapi setelah sepersekian detik aku selesai menjelaskan, kemudian dia tersenyum. Tak lama dia menyambar jaketnya dan pergi setelah mengecup keningku.
Senyum mengembang mengikuti kepergiannya. Kenapa harus begini? Kenapa aku baru merasakan manisnya setelah kamu pergi?
Suasana melow terhenti saat mendengar bunyi nada getar ponsel dari dalam tas. Aku biasa menggunakan nada getar dibanding nada panggil. Khawatir saat sedang kuliah, lupa tidak mengubahnya ke silent mode. Jadi aku memilih menggunakan mode getar.
[Kamu di mana, Fa? Aku pencet bel depan kamar, nggak dibuka, sih?]
Aku baru ingat kalau aku belum memberitahukan pada Mayang bahwa aku menginap di apartemen Mas Bayu. Biasanya, dia akan datang lagi karena mengetahui aku sedang kurang enak badan.
[Sorry, May. Aku di tempat Mas Bayu] Aku tambahkan ikon menangkupkan dua tangan sebagai tanda menyesal.
[What??? Fa, kamu jangan main-main ya. Aku tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa!]
Aku belum banyak bercerita. Tapi, Mayang cukup peka. Mungkin Mayang takut aku disakiti lagi oleh Mas Bayu.
[Aman, May] Biasanya kalau aku sudah membalas begitu, dia tidak akan bertanya-tanya lagi. Meskipun, tetap saja ada rasa bersalah di hatiku.
Bagaimanapun aku memang plin-plan. Pengen mengakhiri hubungan, tapi aku malah menginap di sini. Tapi, aku tidak bisa bohong dengan perasaanku.
Sejak awal menikah, aku berusaha untuk jatuh cinta dan mengabdikan diriku untuknya. Meski pengorbananku tak membuahkan cinta darinya, mengapa tak mudah mengikis cinta yang terlanjur bersemi ini?
Setelah aku berusaha menjauh, dia malah datang ke sini. Salahkah jika sudut hatiku pun mengharapkan dia kembali?
Aku tahu, akan ada rasa sakit jika ternyata kedatangannya bukan untuk kembali, namun untuk berpisah. Entahlah, apakah aku benar-benar siap menghadapinya?
Sudah lebih dari setengah jam Mas Bayu pergi. Mataku belum melepaskan pandangan dari balik jendela kamar Mas Bayu ini. satu demi satu orang lalu lalang di bawah sana aku perhatikan, berharap salah satunya adalah Mas Bayu-ku.
Ternyata, menunggunya benar-benar seperti menunggu kekasih hati. Padahal, saat di Jakarta, dia biasa meninggalkanku dan pulang larut. Aku pun tidur duluan sebelum dia pulang.
Setelah hampir satu jam aku menunggu, akhirnya terdengar suara anak kunci yang diputar. Dia datang.
Bukan kantong kecil berisi satu porsi burger ayam pesananku, tapi kantong besar dengan brand toko halal dan satu kantong lagi. Sepertinya dia habis belanja di supermarket.
Aku jadi geli, melihat Mas Bayu belanja. Padahal, dahulu dia paling malas kalau belanja. Dia memilih mengantarkanku, dibanding harus pergi sendiri ke supermarket. Bahkan hanya untuk membeli pisau cukur saja harus aku yang membelikan.
Ah, jangan-jangan karena malas ini juga yang membuatnya kucel tak terurus. Tapi, bukannya dia sudah punya istri yang mengurusinya? Mengingat ini aku hatiku kembali nyeri.
Sebaiknya aku tak ingat-ingat lagi tentang orang lain yang masuk ke biduk rumah tangga kami.
"Kamu belanja, Mas? Pantas lama. Aku pikir kamu nyasar," ledekku.
Mas Bayu tertawa renyah, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang selalu bersih terawat.
Aku mengikutinya saat ia duduk di sofa, lalu melihatnya mengeluarkan barang belanjaan dari tasnya. Dia seperti ingin menunjukkan keahlian barunya setelah dua bulan kutinggalkan. Kemampuan berbelanja!
"Cari ini yang lama," ujarnya sambil mengeluarkan sesuatu dalam kemasan karton kecil seukuran obat sakit kepala yang di belikan oleh Mayang tadi pagi.
"Zwangerschapstest." Keningku berkerut membaca judul di kemasannya. Tak ada clue selain gambar yang mencurigakan.
Aku memang belum fasih bahasa Belanda. Produk-produk yang di jual di toko dan supermarket di sini hampir semuanya berbahasa Belanda. Aku biasanya harus membawa ponsel dan aplikasi terjemahan untuk menghindari kesalahan dalam berbelanja. Bertanya ke petugas bisa saja, tapi tidak mungkin tiap item kita tanya.
Segera aku mengambil ponsel untuk mencari terjemahannya. Tapi, kenapa Mas Bayu malah senyum-senyum?
Deg!
Mataku langsung membulat membaca arti di aplikasi terjemahan. Jantungku rasanya mau copot saat melihat tulisan yang tertera di aplikasi ini. Aku sampai mengerjapkan mata berkali-kali, lalu menguceknya lagi untuk meyakinkan diri.
Belum selesai kekagetanku, Mas Bayu malah mengeluarkan lagi berbagai merek dari kantung belanjaannya. "Biar lebih akurat," selorohnya.
"Mas----," ucapku tertahan. Aku menatap wajah Mas Bayu penuh tanya.
Namun, dia hanya membalasku dengan senyuman.
"Nih, makan dulu burgernya. Ntar keburu ileran ... eh maksudku keburu dingin." Mas Bayu kembali senyum-senyum menggoda.
BERSAMBUNG...
Ijin promosi ya...
Yuk mampir di KARYAKARSA, tersedia Fullpartnya dengan harga yang terjangkau. Makasih...
Ada juga paket Jodoh Terindah dalam satu paket berisi dua buku BIARKAN AKU PERGI dan DIA YANG PERNAH MENOLAKKU, dan dapatkan voucher hemat senilai 10 ribu dengan memasukkan kode: JANUARI2023 berlaku hingga 31 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Aku Pergi / KETIKA DIRIMU MENDUA
RomanceBayu dan Fahira menikah karena perjodohan. Saat rasa itu mulai ada, hadirlah mantan kekasih Bayu sebagai orang ketiga. Diam-diam, Fahira mendaftar kuliah ke LN demi mengobati lukanya. Di sana, dia bertemu dengan kakak angkatannya saat kuliah S1 di...