BONUS (15C)

8.9K 160 2
                                    


Mas Bayu kaget. Barangkali meski berharap, dia menyangka aku kembali menemuinya lebih cepat dari perkiraannya.

Aku juga kesal. Sudah tahu aku ada jadwal kuliah, kenapa malah menungguku di sini? Padahal dalam gedung saja banyak tempat duduk. Beruntung tadi Rian kasih tau. Kalau tidak, dia bisa masuk angin!

"Ra. Aku mau pamit." Kata-kata itu diulanginya lagi. Padahal aku berusaha tidak berminat untuk ingin tahu. Aku takut semakin sakit hati dan merasa bersalah jika mengetahui alasannya.

Lalu, buat apa dia menungguku? Menunggu izin dariku? Sementara dia mendua saja, tak izin padaku, bukan?

Aku pun sudah mengatakan padanya kalau aku memilih pergi. Jadi, buat apa dia masih menungguku?

"Kamu tidak ingin tahu alasanku kembali secepat ini?" tanyanya seolah tak percaya kalau aku benar-benar tak bertanya apapun.

Sebelumnya, aku selalu menjadi pendengar yang baik untuknya. Tapi itu dulu. Sebelum semuanya terkuak. Sebelum aku menyadari bahwa cintanya palsu.

Dulu aku selalu berusaha menyenangkan hatinya demi meluluhkan hatinya. Namun, setelah pengkianatan itu, apakah aku harus selalu menyenangkan hatinya?

Harusnya sih iya. Karena aku masih istrinya. Harusnya sih iya, karena aku ingin meninggalkan kenangan yang manis sebelum berpisah dengannya. Tapi, aku hanyalah manusia biasa. Yang tak luput dari nafsu ingin bahagia.

Aku sudah mencoba menghilangkan dendam itu. Aku sudah mencoba memusnahkannya dari lubuk hatiku. Tapi, salahkah aku jika sedikit saja aku tak mau mengalah?

Aku menyipitkan mataku. Perlukah aku tahu alasannya? Bukannya selama ini dia memilih aku tidak perlu tahu banyak hal tentang dirinya. Hingga dia leluasa bisa mendustaiku?

Mas Bayu masih berdiri menunggu jawaban dariku. Kami hanya saling diam, hingga aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar.

Baiklah. Aku tak boleh menyimpan dendam. Aku hanya akan meninggalkan kenangan manis untuknya, sebagaimana janjiku terdahulu.

Mas Bayu yang berdiri hanya berjarak setengah meter dariku, kemudian mendekat. Dia meraih tanganku yang sengaja kumasukkan ke dalam saku jaket. Angin yang berhembus membuat udara menjadi agak dingin.

"Ra, maafin Papa---" Suara Mas Bayu menggantung.

Mataku melebar menatap embun yang ada di matanya.

"Ada apa, Mas? Kenapa Papa?" Perasaanku jadi tak enak.

Jika ada sesuatu karena beliau membuangku dari Mas Bayu, tentu aku sudah memaafkannya. Bukankah aku sudah meminta maaf kepada beliau saat terakhir kali kami bertemu?

"Tadi, setelah kamu pulang, Mama menelpon. Papa masuk rumah sakit---" ujar Mas Bayu dengan suara terbata. Mas Bayu mengambil jeda. Dia menarik nafas. "Papa kena stroke, Ra," lanjutnya.

"Apa?" Tenggorokanku terasa tercekat. Persendianku pun ikut lemas. Aku tak dapat mengatakan apapun. Bahkan aku hampir lupa kalau aku tadi meninggalkan kuliah. Bahkan tas dan bukuku masih ada dalam ruang kelas.

Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, Mas Bayu sudah beranjak meninggalkanku.

"Mas!"

Tapi dia terus berjalan, tak menghiraukan panggilanku. Hingga terpaksa aku harus mengejarnya.

"Jam berapa pesawatmu?" Aku berlari dan menghadaagnya agar ia menghentikan langkah.

"Jam empat sore," ujarnya lirih. Mas Bayu melanjutkan langkahnya.

Aku hanya terdiam mematung, menatap punggung tegapnya yang semakin menjauh. Perasaanku tak menentu.

BERSAMBUNG

Yuk, baca fullpartnya di KARYAKARSA ya

https://karyakarsa.com/etwidyastuti/series/biarkan-aku-pergi

Biarkan Aku Pergi / KETIKA DIRIMU MENDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang