Part 15

355 11 6
                                    

Aku mulai terbiasa. Terbiasa akan kehilangan Louis. Bagiku, Ashley dan juga Mom. Mungkin yang berdampak lebih adalah aku. Louis telah banyak membantu dalam hidupku. Dia selalu membantuku melewati masa-masa sulit. Hanya saja, sayang, aku tidak bisa membalas cintanya yang begitu tulus padaku. Aku malah lebih mencintai Marc yang berawal terlalu cepat dan menjadi tragedi menyedihkan. Namun, mungkin itulah yang dikatakan orang-orang, kalau cinta itu buta. Oke, mungkin aku terdengar menjijikan tapi percayalah, ketika kau jatuh cinta, kau akan merasakan hal yang sama.

Hari ini aku berencana untuk pergi piknik bersama Marc. Ya hubunganku dengannya mulai membaik sejak kematian Louis dan berakhirnya kejadian yang tak jelas dan cukup membuatku frustasi dan sakit kepala. Bayangkan saja, aku harus berurusan dengan perempuan psikopat. Ya itulah resiko terlalu cepat dengan cinta, masalahnya banyak.

Setelah selesai memoleskan lipstick pink tipis di bibirku. Aku bergegas turun ke bawah, Marc sudah menungguku. Ia melemparkan senyumnya yang manis ke arahku dan akupun membalasnya.

“Mom, aku pergi dulu ya dengan Marc. Jika kau butuh sesuatu, telepon saja aku. Okey?” Aku sembari memeluk dan mengecup pipi Mom.

“Take care, Sam.”

Tempat tujuan kami sebuah taman di pinggiran kota. Tidak terlalu ramai. Suasananya cenderung damai, ditambah dengan kicauan burung serta suara air mengalir. Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku di kota hingga aku tak pernah tahu ada tempat sedamai ini.

Kami mulai menggelar tikar untuk duduk atau tiduran memandang langit. Aku mulai mengeluarkan peralatan makan, sandwich, sebotol wine dan makanan ringan lainnya. Kami menghabiskan sepanjang hari bersama. Membicarakan hal penting sampai tidak penting. Normal hingga tidak normal. Tak jarang aku tertawa terbahak-bahak hingga perutku sakit akibat apa yang dilontarkan Marc.

“Jadi, kau akan ke Indonesia minggu depan?” tanyaku sembari menuangkan wine di gelasku.

“Ya begitulah. Sebenarnya aku hanya ke Bali saja, ada urusan penting.”

“Just take care yourself.”

“I will.” Ia mengucapkan kalimat tersebut berbarengan dengan senyumnya yang mematikan. Aku pasti sudah benar-benar gila memuji senyumnya.

Marc merebahkan tubuhnya telentang sambil memandangi langit. Kebetulan sekali, hari ini sangat cerah. Akupun ikut merebahkan badanku di sampingnya. Ikut memandangi langit yang biru dan penuh awan. Aku mulai berimajinasi dengan bentuk awan yang ada.

“Marc, awan itu berbentuk kuda.” Aku menunjukkan ke arah awan yang kuanggap berbentuk kuda.

“Bukan, itu lebih mirip kangguru.” Sahut Marc yang ikutan menebak bentuk awan.

“Ih, itu mirip kuda bukan kangguru.”

“Ya baiklah kalau gitu. Awan itu berbentuk kuda.” Marc menolehkan kepalanya kepadaku dan memberiku senyuman mematikan itu lagi.

Setelah itu, kami berdua dalam keheningan. Keheningan yang untuk pertama kalinya aku tak ingin berakhir. Keheningan yang membuatku nyaman. Keheningan yang membuatku merasa seakan waktu berhenti sejenak. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahagia dalam keheningan.

“Sam, aku boleh menanyakan sesuatu?”

“Tentu saja” aku mengangguk meyakinkan.

“Jika suatu hari nanti aku melamarmu, kau ingin aku melamarmu di mana?”

Seketika saja jantungku berdegub lebih cepat. Darah dalam tubuhku berdesir.

“Mengapa tiba-tiba kau menanyakan hal seperti itu?” Aku bahkan tak tahu harus menjawab apa. Aku terkejut, marc menanyakan hal seperti ini.

“Tidak, aku hanya ingin tahu saja.” Jawabnya santai.

“Aku mau kau melamarku di Stadion Vicente Calderón. Markas Atletico Madrid. Mungkin biasanya orang lebih suka markas Barcelona atau Real Madrid tapi tidak denganku. Apakah aku aneh kalau memintamu di tempat seperti itu?”

“Tidak, sama sekali tidak. Kita tinggal di negara yang sepak bolanya maju dan aku baru tahu kau suka dengan bola. Kalau gitu, aku beralih saja jadi pemain bola haha.”

Aku tertawa mendengar pernyataannya, mengena di hati meskipun hanya candaan ringan.

“Ya sebenarnya aku memang suka bola. Aku sering menonton pertandingan bola lewat TV ataupun langsung datang ke stadion. Anggap saja, sebagai warga kota Madrid jadi aku harus mendukung tim sini dong.”

Marc hanya tersenyum. Tiba-tiba saja, tangannya sudah melingkar di bahuku dan menarikku dekat ke pelukannya. Ia mengecup kepalaku lembut seraya berbisik, “aku akan mewujudkannya untukmu.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ever EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang