Langit tampak sangat gelap. Mencekam suasana. Aku terus memacu kecepatan motorku tak peduli akibatnya. Toh, aku sudah sering balapan ini tak masalah bagiku.
Berbagai bayangan mengerikan berkelebat di kepalaku. Aku hancur. Baru saja aku merasa sedikit lega karena ini akan segera berakhir. Ternyata dugaanku salah. Felice pasti jauh lebih berbahaya daripada yang aku pikirkan.
Motorku berhenti di sebuah rumah bergaya mediterania yang cukup megah. Aku melewati pagar yang tinggi dan langsung mengetuk pintu rumah tersebut. Untuk sepersekian detik, aku merasakan emosiku benar-benar memuncak. Ingin rasanya langsung mendobrak pintu ini, mencari di mana Sam.
Pintu terbuka dan tampaklah sosok laki-laki yang tak cukup tua. Yang kukenali sebagai salah satu tim suksesku—Dan. Wajahnya terlihat terkejut melihat kedatanganku. Tak lama, seorang perempuan yang kukenali sebagai istrinya sudah berdiri di belakang Dan.
“Marc? Ada apa?” tanyanya dengan dahi berkerut.
“Di mana Felice?” suaraku parau.
“Aku tidak tahu. Ia tak pulang sejak dua hari yang lalu. Bahkan ia juga tak menjawab panggilan teleponku,” ucapnya. Aku menatapnya sesaat mencari kejujuran di dalam mata birunya.
“Ia menculik Sam, Dan” suaraku bergetar.
Dan juga istrinya tampak tak percaya. Istrinya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Wajahnya Dan langsung mengeras. Ia segera menyuruh istrinya menutup pintu dan bergegas mencari Sam.
“Kita harus laporkan ini ke polisi. Aku bingung dengan sikapnya, Marc. Aku merasa gagal sebagai ayah,” sesal Dan. Suaranya parau. Pandangannya tak tentu arah meskipun sedang menyetir.
“Tidak. Felice akan membunuh Sam kalau kita lapor ke polisi”
Istri Dan tak henti-hentinya menangis.
Aku menelepon Mom dan Dad. Mereka menyusul kami dalam membantu Sam. Kupandangi layar handphoneku, aku harus menghubungi Ashley.
Kudekatkan layar handphoneku ke telinga. Menunggu jawaban darinya. Keringatku tak henti-hentinya bercucuran dari pelipis. Padahal udara di luar sangatlah dingin.
Hingga terdengarlah suara Ashley. Bahkan aku tak berani memberi tahunya. Bagaimanapun juga ini sepenuhnya salahku. Dalam satu tarikan napas, aku akhirnya memberanikan diri.
“Ashley? Ini aku, Marc”
“Ada apa, Marc?”
“Sam diculik”
**
Ashley POV
Tubuhku mendadak membeku. Semua sarafku langsung lumpuh tak berfungsi. Aku terpaku di tempat. Otakku mendadak macet, tak sanggup mencerna informasi barusan. Jantungku rasanya berhenti berdetak. Napasku tercekat. Seperti ada yang mengganjal tenggorokanku. Aku tergagap menjawab telepon dari Marc.
“B-ba-bagaimana bisa?” suaraku bergetar. Tangisku pecah tak karuan.
“Ini salahku, maafkan aku Ashley. Bantulah aku mencarinya malam ini. Temui aku di perempatan 45th avenue”
Teleponnya terputus.
Aku masih terdiam di tempatku. Tak bergeming.
Rasanya seperti dihantam jutaan meteor. Petir kini mengguncang diriku. Lututku lemas, aku jatuh terduduk di lantai sambil terisak. Sam? Di mana kau? Tanganku bergetar mencari kontak Louis.
“Lou? Temani aku malam ini ke perempatan 45th avenue. Sam diculik”
Louis POV
Aku bahkan tak sanggup lagi berkata-kata. Aku hancur. Tubuhku menjadi keping-keping rasanya. Pandanganku mengabur. Rasa sakit yang sedari tadi sedang menyerangku kini benar-benar menjadi-jadi. Otakku tak mampu berpikir jernih. Air mataku langsung keluar. Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat.
Aku segara mengambil kunci mobil yang terletak di nakas kamarku. Dengan cepat, aku menjalankan mobilku menuju 45th avenue.
Ashley tengah menungguku di sana. Matanya terlihat bengkak. Tubuhnya bergetar. Aku berusaha untuk tetap bersikap tenang. Aku menepuk bahunya pelan dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil.
Tak lama, dua buah mobil menghampiri mobil kami. Seorang laki-laki bersama sepasang suami istri keluar bersamaan dari dalam mobil. Ashley berjengit. Ia langsung turun dan menghampiri laki-laki itu. Aku menyipitkan mataku, mencoba menerka siapa laki-laki tersebut. Ah, bodohnya aku! Bagaimana bisa aku tak tahu? Ya, ia Marc Marquez. Laki-laki yang pernah mematahkan hati seorang Samantha Price.
Marc dan Ashley terlibat percakapan. Aku menunggunya sembari bersandar di kap mobil. Tiba-tiba handphoneku berbunyi pertanda pesan masuk. Dari nomor yang tak dikenal. Aku tetap membukanya berharap itu sesuatu yang penting.
Tubuhku serasa ingin meledak saat itu juga.
“Lou. Tolong aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ever Enough
أدب الهواةKebenciannya Sam akan MotoGP mempertemukan ia dan Marc. Mereka pun mulai jatuh cinta. Tapi, akankah berhasil? amazing cover by @najlaputri17