Part 14

235 11 5
                                    

hoho long time cerita ini nggak di update, berdebu deh ini cerita huehehe, finally di update nih, enjoy!!

--

Aku terduduk lemah di samping Marc dan Ashley. Tubuhku gemetar mengingat kejadian yang baru saja aku alami. Deretan kursi tunggu sudah mulai sepi. Para penjenguk telah pulang. Hanya beberapa perawat lalu lalang. Aku masih di sini menunggu keadaan Louis yang tiba-tiba pingsan. Marc tengah merangkulku, dan kehangatan menjalar di seluruh tubuhku. Ashley terus menggenggam tanganku, tanganku dingin.

Segelas teh hangat yang dibuatkan untukku tak kusentuh sama sekali. Beberapa kali Marc menawarkan padaku bahkan memaksaku tapi aku menolaknya. Perutku mual, aku masih shock. Jadi aku tak nafsu minum atau makan sekalipun.

Felice kali ini berhasil dibawa ke pihak yang berwajib. Bersama orang tuanya, ia akhirnya diproses lebih lanjut oleh polisi. Ibunya terus menangis selama Felice digiring polisi. Kedua anak buahnya pun ikut diamankan. Dan—ayahnya, sebuah kesedihan mendalam tergurat di wajahnya.

Aku bahkan tak tahu akhir dari semua ini. Terasa begitu cepat dan melelahkan. Mom bahkan belum tahu kabarku. Aku khawatir ia akan berpikiran macam-macam. Jadi biarkanlah dia berpikir bahwa aku ada lembur, itu jauh lebih baik.

“Sam, please? Agar lebih baik,” tawar Marc seraya menyodorkan segelas teh padaku.

Merasa tak enak dengannya yang sedari tadi memaksaku akhirnya aku mengambil teh dari tangannya dan meminumnya perlahan.

Seorang dokter yang menangani Lou keluar ruangan. Wajahnya tampak sedih, dahiku berkerut. Aku harap, Lou tak apa. Ashley langsung berdiri menghampiri sang dokter. Marc dan aku juga langsung ikut menyusul Ashley.

“Bagaimana keadaan Louis, Dok?” Tanya Ashley.

Sang dokter menghela napas berat. Wajahnya tampak tak tega memberi tahu kami keadaan Louis. Ini semakin membuatku cemas. Aku meremas tangan Marc.

“Maafkan kami, teman kalian mengidap penyakit kanker otak stadium 4. Penyakit itu menggerogoti dirinya. Kami telah berusaha semampu kami, tapi maaf nyawanya tak tertolong” jelas dokter tersebut.

Lututku mati rasa seketika, aku langsung terjatuh di lantai ketika mendengar Lou sudah tak ada. Air mataku langsung tumpah seketika. Semua ini seakan menerorku terus menerus. Tak kupercaya selama ini, Lou mengidap penyakit mengerikan.

Perlakuannya tak menunjukan ia sedang sekarat. Layaknya manusia tanpa beban yang terus menebar senyuman bagi siapa saja. Ashley juga menangis. Marc hanya tertunduk diam sambil memengangi bahuku.

“Bisakah kami melihat Lou untuk yang terakhir kali?” Tanya Ashley sesenggukan.

“Tentu, mari”

Dokter tersebut menuntun kami ke dalam ruangan. Di sanalah, jasadnya terbaring tak bernyawa. Air mataku terus menerus keluar. Aku langsung berlari menghampiri tubuhnya. Sebuah senyum tergurat di wajahnya. Aku memeluknya lama, tak rela Lou harus pergi secepat ini.

Aku bahkan tak sanggup berkata-kata.

Pandanganku mengabur, kepalaku terasa sakit. Marc menopang tubuhku agar tak terjatuh. Ashley masih memeluk jasad Lou.

“Ash, lebih baik kita pulang” ucapku tersendat-sendat.

Ash bangkit dan menghapus air matanya, “Baiklah”

Marc mengantarkan kami berdua pulang. Perjalanan terasa sunyi, hampa. Tak satupun bersuara. Keheningan ini membunuhku, aku masih tak percaya. Bahkan aku tak siap datang ke pemakamannya.

Sampai di rumah, aku memeluk Mom dan mengatakan padanya bahwa Lou telah pergi. Ia memelukku erat, aku terus menangis di pelukan Mom.

**

Hari ini pemakaman Lou. Semua orang berkumpul mendoakan kepergiannya. Pakaian hitam memenuhi pemakaman. Suasana duka mewarnai di hari kelabu ini. Semua orang berkabung hari ini. Melepas kepergian Louis. Tak ada lagi tangisan, hanya keheningan.

Aku memang baru mengenalnya. Awalnya, aku membencinya. Kemudian ia menjadi teman baikku, bersama Ashley kami selalu menghabiskan waktu bersama. Bahkan, ia selalu menghiburku ketika aku terjebak masa lalu dengan Marc.

Aku memandangi batu nisannya. Namanya tertera di sana, jasadnya telah terkubur di dalam tanah. Marc menyentuh bahuku, memberi isyarat untuk pulang. Aku tak membantahnya dan langsung mengikutinya.

“Hmm, kau mau langsung pulang?” Tanya Marc, menatapku lembut. Aku membalas tatapannya dan mengangguk lemah. Yang kuinginkan sekarang hanya pulang dan berduka sendiri di kamarku.

“Baiklah” Marc menghembuskan nafasnya dan mulai menjalankan mobil. Aku harap kesedihan ini segera berakhir dan menemukan ujung kebahagiaanku.

Ini aneh bukan? Berawal dari kebencianku pada MotoGP yang mempertemukan aku pada Marc. Sebuah tragedy kecelakaan yang mempertemukanku pada Louis. Di saat Marc pergi, Louis datang. Seperti sudah disetting dengan sangat tepat, namun terlalu cepat. Sialnya, aku harus jatuh cinta pada Marc dalam jangka waktu yang mustahil. Aku harus bertemu Louis yang sedang sekarat. Semua ini tidak masuk akal, mungkin sedikit.

Aku teringat ketika di pemakaman, Ibunya Louis memberikanku sepucuk surat. Wajahnya sangat cantik, meskipun umurnya tak lagi muda. Saat aku bertatapan, aku seperti menatap mata Lou. Sangat mirip. Aku bahkan rindu matanya—bagaimana matanya menatapku.

Tak terasa mobil telah berhenti di depan rumahku. Aku tersadar dari lamunan kesedihanku. Marc menatapku dalam, tanda khawatir. Seulas senyuman kuberikan kepadanya seolah mengatakan aku-baik-baik-saja.

“Baiklah, jangan terus bersedih. Aku di sini untukmu. I promise I will never leave you again,” ucapnya tulus.

Sebuah kecupan mendarat di dahiku. Lama bibirnya menyentuh dahiku. Aku mengerjapkan mataku, kaget—tak percaya. Kupu-kupu berterbangan di perutku. Rasanya aneh, seperti ada sensasi menggelitik di tubuhku. Padahal, itu hanya sebuah kecupan—ya itu sangatlah berarti.

Marc tersenyum selepas ia mengecupku.

Aku membalasnya dan segera turun, wajahku pasti sangatlah merah.

Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak sangat sepi, Mom sepertinya langsung pergi setelah dari pemakaman. Tanganku bergerak mencari-cari surat yang tadi diberikan oleh Ibunya Lou.

Dear Samantha Price,

            Sam, sebenarnya aku sama sekali tak bisa menulis surat atau semacamnya. Aku payah dalam hal ini. Kau ingat pertama kali kita bertemu? Aku sangat mengingatnya. Kau berteriak kepadaku karena aku telah membuat Mom celaka. Kita terjebak dalam lift yang mati dan kau panik.

            Namun akhirnya, kita menjadi teman. Menghabiskan waktu bersama di rumah sakit menunggui Mom hingga kau tertidur. Kita bergantian menginap di rumah sakit.

            Kau…sangatlah cantik, Sam. Rambut hitam kecokelatanmu indah. Hei! Aku suka matamu—warna cokelat yang terang. Aku tak berbohong mengatakan semua kecantikanmu dalam surat ini haha. Kau memang cantik, begitupun hati dan sifatmu.

Maaf, Sam, aku tak memberi tahumu soal penyakitku. Aku memang sudah menderita penyakit mematikan ini lama. Dan kehadiranmu di hidupku menjadi penyemangat. Ingat ketika aku meminta menemaniku seminggu sebelum aku ke Rio de Janeiro? Aku akan melakukan perawatan intensif di sana. Maaf, aku hanya tak ingin merepotkanmu dan juga Ashley.

Terima kasih, Sam, kau telah hadir di hidupku. Sampaikan salam pada Ashley juga, aku senang sekali dengannya. Jangan sedih jika aku tak lagi di dunia, bersamalah dengan Marc jika itu membuatmu bahagia.

Aku sayang padamu, Sam.

                                                                                                                                        Love,

Louis

Ever EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang