1. Kala Takdir Berbicara

2.6K 197 12
                                    

Kamu pintaku. Namamu yang selalu kusematkan dalam setiap doa di sujud terakhirku. Namun, apa kuasaku, jika Tuhan telah menakdirkan dirimu bukan tercipta untuk menjadi penggenap imanku?

🍁🍁🍁

Arsy bergetar seiring dengan menggemanya lafaz “sah” di penjuru masjid tempat berlangsungnya akad nikah sepasang pengantin. Lantunan salawat, ucapan selamat, dan doa-doa kebaikan dari orang-orang turut menyertai kedua mempelai. Suka cita keluarga besar sangat kentara, saat melihat putra-putri mereka telah bersatu dalam satu ikatan cinta yang halal.

Pernikahan yang seharusnya meninggalkan kesan bahagia juga makna yang mendalam, justru berbeda dengan apa yang dirasa oleh Okta, yang notabene adalah pengantin pria. Raganya terpaku diam, namun pikirannya terus saja melanglang kepada seorang gadis yang tengah duduk di dekat ibu mertuanya. Dipandangnya gadis itu dengan sorot sendu, seraya hatinya menggumamkan kata maaf berkali-kali. Sungguh, rasa bersalah benar-benar menyelimuti dirinya. Seandainya saja ia tidak menerima perjodohan ini. Tapi, mana mungkin? Nasi telah menjadi bubur, begitu yang disebutkan pepatah. Bodoh kau, Okta! Makinya pada diri sendiri.

Okta membayangkan betapa bahagianya dia, jika perempuan yang bersanding dengannya saat ini adalah Hanna, sebagaimana mimpinya sejak dulu.

Bolehkah dirinya menyalahkan takdir? Kali ini saja, Okta ingin menjadi egois. Ia ingin menulis sendiri takdirnya agar bisa bersanding dengan Hanna. Bersama-sama mendayung bahtera rumah tangga dengan ratu hatinya. Menjalani hari-hari sebagai keluarga bahagia, dengan Hanna yang menyambutnya setiap pulang kerja dan anak-anak yang kelak memanggilnya dengan sebutan ‘ayah’. Bersama-sama hingga menua, sampai salah satu di antara keduanya dilamar oleh malaikat maut, dan dinikahkan dengan kematian. Namun, kenyataan kembali menamparnya. Mengolok-olok Okta, bahwa sebenarnya yang ia pikirkan hanya sebatas angan belaka.

“Mas Okta!” Panggilan serta senggolan di lengan, kembali membawa Okta pada alam sadarnya.

“Kenapa?” Okta bertanya pada perempuan ayu yang kini telah menjadi istrinya.

Kiya menyerahkan buku nikah berwarna merah kepada Okta. “Mau difoto dulu.”

Okta menerima uluran buku nikah tersebut tanpa minat, kemudian mereka berdua menghadap pada kamera. Mengikuti instruksi dari tukang foto, mereka berpose menghadap ke depan menatap kamera dengan menunjukkan buku nikah masing-masing.

Lagi, mereka diatur oleh kameramen untuk berpose saling tatap, dengan senyum berseri layaknya pengantin. Mengangkat tangan masing-masing dengan maksud menunjukkan cincin yang tersemat pada jari manis kedua mempelai. Topeng kepura-puraan Okta sungguh menutupi bagaimana hancurnya perasaan juga hatinya saat ini.

Keduanya tampak sangat manis dan serasi di mata orang-orang yang melihatnya, namun tentu tidak bagi Okta. Sungguh, ia terpaksa menerima perjodohan ini. Jika bukan sang ibu yang meminta, jelas Okta akan menolak dengan tegas. Bukan ini yang dia harapkan. Bukan ini yang dia inginkan.

Selesai sesi foto yang dilakukan Okta—dengan terpaksa—kepalanya kembali meneleng ke arah gadis yang masih menjadi pemenang seluruh hatinya. Tatapan sendu keduanya bersirobok, menyuarakan apa yang tidak bisa dikata, menyiratkan tatapan penuh dengan luka. Okta sangat ingin berlari ke tempat gadisnya berada. Dia telah membuatnya menangis. Ia ingin menghapus air mata itu. Okta masih menatap lamat-lamat sang gadis. Hingga kemudian Okta melihat tubuh kecil itu bergetar karena tangis yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Gadisnya pergi. Menjauh dari keramaian, juga menjauh darinya.

Maaf, Hanna.

Sedikit jauh dari keramaian, Hanna menghentikan langkahnya yang tertatih di taman dekat masjid. Kakinya lemas, sampai tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Hanna duduk menundukkan kepala, menutup wajah dengan tangannya, dan menangis tersedu-sedu. Sungguh, dadanya sangat sesak saat melihat Okta mengucap janji suci pernikahan dengan Kiya. Hatinya meronta meminta dirinya beranjak, namun otaknya menunjukkan respon sebaliknya, membius Hanna agar tetap diam di tempat seperti orang bodoh.

Hanna menggumamkan istigfar berulang kali, menarik napasnya dalam-dalam agar dirinya kembali tenang. Dilihatnya orang-orang yang masih bergerombol ramai di aula masjid tempat berlangsungnya akad nikah Okta dan Kiya tadi. Dirinya bimbang, haruskah ia kembali ke sana dan membuat hatinya kian terluka, atau berdiam menyendiri di tengah hari bahagia Kiya?

“Jangan bersedih di hari bahagia Kakakmu,” kata seseorang yang tiba-tiba datang dari belakang Hanna. Membuat Hanna refleks menoleh kepada orang itu.

“Bang Wildan?” Hanna terheran dengan hadirnya Wildan di sini.

Wildan tersenyum. Ia mengulurkan sapu tangan biru muda kepada Hanna. “Ambillah! Usap air matamu itu, Hanna.”

“Enggak usah, Bang.”

“Ambil, Han,” ujar Wildan memaksa. “Abang tahu, pasti ini enggak mudah untuk kamu, tapi Abang yakin kamu pasti bisa. Ikhlaskan. Rencana Sang Pencipta pasti jauh lebih baik daripada rencana ciptaan-Nya.” Dengan terpaksa, Hanna menyambut uluran sapu tangan dari Wildan, yang sudah berbaik hati meminjamkannya kepada Hanna.

Dalam hati, Hanna membenarkan apa yang dikatakan Wildan, tetapi perlu diingat, bahwa mengikhlaskan juga tidak bisa tiba-tiba seperti jatuh cinta. Tidak semuanya bisa instan. Jika tidak hari ini, mungkin besok, atau suatu saat nanti. Semua memerlukan proses, dan juga waktu.

“Udah, jangan sedih lagi. Stok cowok masih banyak. Kalau bukan Okta, mungkin aja Abang yang jadi laki lo nanti. ” Wildan tertawa renyah, membuat Hanna mau tak mau juga ikut terkekeh kecil.

“Thanks, Bang.” Terima kasih banyak. Setidaknya, masih ada alasan untukku tersenyum hari ini, sambungnya dalam hati.

Wildan mengangguk, kemudian ia bergerak meninggalkan Hanna dengan alibi ingin bertemu dengan teman-temannya yang lain. Tidak ada yang tahu, bahwa pernikahan ini juga telah mematahkan hati seorang Wildan Putra Anggara.

Terduduk sendiri di kursi taman, Hanna menatap langit yang tengah tersenyum dengan cerahnya di atas sana. Sekelebat memori dengan Okta yang tersisa di kepala juga benaknya bermunculan dengan sendirinya, membuat Hanna kembali menghela napas kesal. 

Ternyata sesulit ini untuk mengikhlaskan orang yang telah mengarungi hati. Hanna tertawa miris, dulu ia yang sering menasihati teman-temannya agar bisa move on kala putus dari pacar-pacar mereka. Ia berkata tidak ada yang sulit, namun ia sekarang menyalahkan sendiri kata-katanya yang telah menjadi angin lalu.

“Kenapa melupakan tidak bisa tiba-tiba seperti saat jatuh cinta? Enggak adil banget,” lirihnya masih dengan menatap ke arah langit.

Perihal ikhlas, adalah hal yang mudah dikatakan, namun sulit untuk dilakukan. Hanna tidak suka dengan hal-hal yang sulit, namun ia dipaksa berada dalam situasi tersebut. Takdir yang membawanya ke mari. Segala bentuk pengandaian bermunculan di benaknya. Andai dulu begini, andai dulu begitu—ah, sayangnya hanya sebatas kata andai. Semuanya sudah terjadi, tidak ada yang bisa Hanna lakukan lagi selain ikhlas menerima, dan melakoni peran sebagai tokoh dalam skenario yang telah disutradarai oleh Yang Mahakuasa.

To be continue🍂

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Yuhuu ... selamat datang kembali di kisah Hanna :)

Oh, iya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya 💙

Terima kasih yang mau baca lagi mwehehe ^^ jangan lupa vote dan komennya fren 😙

📝 Kudus, 12 April 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang