28. Lembar Perasaan

542 113 10
                                    

Di atas pangkuan ibunya, Wahyu membaringkan kepala dengan nyaman. Tangan Bu Siti dengan lembut mengusap puncak kepala Wahyu berulang-ulang. Hal yang paling disukai oleh Wahyu.

“Kamu ini sudah besar, tapi masih manja, masih suka diusap-usap gini sama Ibu. Kasihan istrimu nanti kalau cemburu, Le.” Wahyu terkekeh mendengar celotehan Bu Siti.

“Yang jadi istrinya Wahyu nanti harus paham kalau Wahyu suka manja sama Ibu. Dia tidak boleh cemburu, karena Ibu kan cinta pertama Wahyu.”

“Calon istrimu itu lho siapa, Yu? Sudah ada?” Wahyu tersenyum menanggapi.

“Wahyu masih bingung, Bu,” jawabnya.

“Lho, sudah ada? Siapa-siapa? Siapa yang sudah berhasil bikin anak Ibu ini kepincut, hmm?”

Wahyu bangun dari posisi berbaringnya, kemudian duduk bersila di samping Bu Siti. “Ibu sudah kenal, wong Ibu sudah ketemu orangnya setiap hari.”

Semakin penasaranlah Bu Siti. Ia mencubit lengan Wahyu karena gemas. “Jangan bikin Ibu penasaran!”

“Aduh, sakit, Bu! Iya-iya, Wahyu kasih tau. Orangnya itu—” Ucapan Wahyu terhenti. Bersamaan dengan ini, Hanna melewati Bu Siti dan Wahyu dengan membawa sapu ijuk yang diambilnya dari gudang.

“Mbak Hanna,” lanjut Wahyu dengan manik mata yang mengikuti setiap langkah Hanna.

Bu Siti terdiam melihat anaknya yang sedang tersenyum tipis sembari melihat Hanna. Wahyu-nya sudah besar ternyata. Padahal rasanya baru kemarin ia menimang Wahyu, tapi sekarang sudah berani menyukai lawan jenisnya. Bu Siti senang karena Wahyu tidak pernah berubah, selalu terbuka dan berdiskusi dengannya apabila sedang ada masalah.

“Menurut Ibu bagaimana?” tanya Wahyu yang membuat Bu Siti tersadar dari lamunannya.

Bu Siti mengusap punggung tangan Wahyu. “Ibu akan selalu setuju dengan apa yang menjadi keputusan kamu. Kamu sudah besar, Ibu yakin kamu bisa memutuskan apa yang terbaik untuk kamu dan kehidupan kamu.”

“Wahyu minta doanya, Bu.” Wahyu mencium punggung tangan Bu Siti dengan takzim.

Bu Siti terharu, bahkan hingga kenitikkan air matanya. “Tanpa kamu minta pun Ibu selalu mendoakan kamu, Le.”

***

Di dalam kamar yang berisikan satu ranjang ukuran single, satu lemari pakaian kecil, dan satu rak buku, Wahyu tengah menekuri selembar kertas yang masih bersih dari coretan dan pena di tangan kanannya. Sejak tadi ia berpikir apa yang pantas ditorehkannya pada kertas tersebut. 

Tangan kiri Wahyu mengepal dan diayunkan ke atas dan ke bawah secara teratur, menandakan ia tengah berpikir keras. Wahyu memandang pada kertas putih di hadapannya tanpa berkedip.

Wahyu menarik napasnya panjang-panjang untuk menormalkan kinerja otak dan batinnya. Setelah itu, ia mulai mengayunkan tangannya perlahan di atas kertas tersebut. Merangkai kata demi kata sehingga membentuk untaian kalimat.

Untuk Mbak Hanna.

Maaf, karena telah lancang memberikan surat yang mungkin tidak penting bagimu, namun ini penting bagi saya. Maaf, saya harus mengatakan ini, karena jujur ini sangat mengganggu saya. Kamu, Mbak Hanna, sudah membuat kocar-kacir hafalan saya, karena terus saja berputar-putar di dalam pikiran ...

Wahyu berdecak, “Ah, apa ini?” Wahyu membaca ulang surat yang belum selesai ditulisnya. “Terlalu ambigu. Nanti Mbak Hanna mengira surat ini sebagai teguran, kan nggak lucu!” lanjutnya.

Dengan ringan tangan, Wahyu mengambil surat yang gagal tadi, kemudian diremasnya menjadi bola kertas. Ia mulai menorehkan kata kembali di kertas baru.

Rihanna Layli Syamma. Berbau harum seperti bunga Sedap Malam. Itu arti namamu, kan, Mbak? Bolehkah saya meminta izin untuk menjadi malammu, agar nantinya semerbak harummu cukup menjadi milikku, tidak malam-malam yang lain?

Saya ingin serius dengan Mbak Hanna. Maaf, saya lancang mengatakan ini. Saya tidak memaksa. Semua keputusan kembali kepada Mbak Hanna sendiri.

Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Assalamualaikum.

Begitulah tangan Wahyu menggores huruf-huruf di lembar kedua suratnya. Setelah membaca ulang, ia meyakinkan dirinya kembali. Ia tersenyum. Wajahnya memerah. Jujur saja Wahyu malu melakukan ini. Sebelumnya, ia tidak pernah bersikap demikian terhadap perempuan. Katakan saja Wahyu lebay, tapi memang begitu adanya.

Setelah benar-benar yakin, Wahyu akhirnya melipat selembar kertas berisi ungkapan perasaannya terdebut, dan memasukkan ke dalam amplop berwarna biru muda.

Kini, surat tersebut tinggal ia sampaikan kepada alamat sesungguhnya. Diletakkannya surat itu di meja, lantas ditinggal oleh Wahyu ke tempat tidur. Ia butuh istirahat. Memikirkan Hanna membuat jantungnya lelah karena terus berdenyut dengan cepat.

***

Di lain tempat, Hanna yang berada di kamar asrama seorang diri, karena teman-temannya yang lain sedang berada di masjid untuk salat isya. Di tangannya terdapat amplop biru yang siang tadi diberikan oleh Wahyu. Sejak tadi ia mencuci pakaian kotornya, pikiran Hanna terus melayang kepada surat tersebut. Penasaran dengan apa isinya.

Dengan jantung berdebar, dan kegugupan yang menyertai, tangan Hanna membuka surat tersebut perlahan. Dibacanya kalimat demi kalinat yang dituliskan Wahyu pada secarik surat tersebut. Jantungnya berdegup lebih cepat kala mengetahui apa maksud yang disampaikan oleh Wahyu melalui surat tersebut.

Tangannya sedinging es. Rasanya tidak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Maka dari itu, Hanna kembali membaca ulang surat tersebut, barangkali memang ia salah baca. Namun, ternyata tidak. Wahyu benar-benar menyampaikan maksud baiknya lewat surat tersebut. Hanna menangis dalam diamnya. Dusta kalau Hanna berkata dirinya tidak senang. Akan tetapi dirinya takut jika kembali terluka karena menaruh harap kepada selain-Nya.

Apa ini yang dimaksud Wahyu beberapa saat lalu, saat dirinya bertanya mengapa lelaki itu mengaminkan perkataan si pedagang buah. Jujur, Hanna senang, tapi Hanna juga takut.

Allah, Hanna harus bagaimana?

Dengan melafalkan istigfar, Hanna kembali memasukkan surat tersebut ke dalam amplop, dan meletakkannya di bawah bantal. Dirinya berjalan mengambil kerudung instan dari dalam lemari, lantas memakainya. Ia ingin berwudu agar pikirannya tenang, namun kondisinya yang sedang haid tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Akhirnya, Hanna hanya sekadar membasuh wajah agar terlihat lebih segar. Ia tidak bisa memutuskan dalam waktu singkat. Hanna butuh waktu untuk menjawab, dan meyakinkan dirinya.

Allah, bantu Hanna.

To be continue🍂

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Nahh, sudah terjawab rasa pemasarannya? Wkwk. Sekaranh, bantu Hanna kasih jawabannya. Bingung tuh dia 😄

Jangan lupa vote dan komen💛

📝 Kudus, 8 Mei 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang