30. Permintaan Sang Murobbi

582 121 25
                                    

Dari cinta, aku kembali belajar seni paling indah, yaitu seni mengikhlaskan.

🍁🍁🍁

Dalam kegelapan, lelaki berusia seperempat abad ini tidur dengan tak nyaman. Meski sudah berputar ke kanan dan ke kiri untuk mencari posisi nyaman, nyatanya ia tak kunjung mendapatkan itu. Pikirannya terus bercabang kepada dua hal yang didapatnya hari ini. Sore tadi, Wahyu baru saja tersenyum-senyum seperti orang gila karena mendengar Hanna menerima permintaan untuk mengenalnya lebih jauh. Wahyu senang bukan main.

Masih segar di pikirannya kala Hanna mengatakan bahwa ia setuju untuk saling mengenal lebih lanjut. Wajah tersipu Hanna enggan enyah dari benak Wahyu, membuat mau tak mau kini dirinya ikut tersenyum di tengah kegelapan.

Saya mengizinkan njenengan untuk mengenal saya lebih jauh. Kalau memang benar serius, silakan berbicara langsung kepada Ayah saya. Temui beliau, karena beliau lah yang lebih berhak atas saya untuk sekarang ini,” kata Hanna sore hari tadi dengan wajah tertunduk malu-malu.

Tanpa ragu, Wahyu langsung mengangguk sebagai jawaban. Ia berjanji akan segera bertemu orang tua Hanna di Jogja. Begitu yang dia katakan kepada Hanna sore tadi.

Namun, di tengah suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga, Wahyu harus kembali memacu jantungnya untuk bekerja lebih extra ketika sang guru memanggilnya agar bisa menghadap. Wahyu terus mengingat-ingat apa dia telah melakukan kesalahan, sampai-sampai kiai sendiri yang memanggilnya ke ndalem. Otaknya bekerja keras mencari jawaban, namun nihil, ia tak kunjung berhasil menemukan.

Sampai akhirnya dia tiba di ndalem yang di sana sudah ada keluarga ndalem, dan juga ibunya yang sudah duduk bersama-sama. Wahyu semakin bertanya-tanya. Masalah apa yang sampai melibatkan ibunya?

Setelah diam mendengarkan, akhirnya Wahyu tahu apa maksud kiai memanggilnya untuk menghadap. Bak ditumbuk dengan godam tak kasat mata, batinnya menjerit keras.

“Wahyu, kalau saya meminta kamu agar bisa menjadi suami Nimas, apa kamu bersedia?” tanya kiai sore tadi dengan raut wajah bersungguh-sungguh.

Hanna. Pikirannya langsung tertuju kepada Hanna. Kenapa ini bisa terjadi secara bersamaan seperti ini? Wahyu pantang menolak permintaan gurunya. Tapi, apa ia sanggup untuk mengatakan hal ini kepada Hanna? Dia yang datang meminta, namun dia pula yang akhirnya datang untuk membatalkan. Ya Allah, bagaimana ini? batinnya meminta pertolongan.

***

Kabar burung tentang Wahyu yang menerima lamaran kiai untuk putrinya, Nimas, telah menyebar ke seantero pesantren. Lingkup pesantren memang luas, namun jangan salah, dinding pun terkadang memiliki telinga yang akhirnya membuat berita semakin cepat menyebar. Kabar burung ini tak luput dari pendengaran Hanna. Sejak lepas salat subuh tadi, Wahyu dan Nimas menjadi topik hangat di kalangan santri putri yang diberitahu tentang hot news langsung dari abdi ndalem yang ikut berjamaah subuh. Denyut nadi Hanna menguat, seiring dengan degup jantungnya yang sangat cepat. Ia menutup rapat telinganya agar kabar burung yang sedikit banyak menggoreskan luka di hatinya ini tidak terdengar, namun sekencang apa ia menutup telinga, pada akhirnya tetap terdengar juga. Hatinya kembali merasakan nyeri. Tapi ia tidak ingin gegabah, bisa saja kabar itu salah. Ia belum percaya sepenuhnya akan benarnya berita itu jika bukan dari Wahyu langsung yang membenarkannya.

Sepanjang hari Hanna mencoba untuk tuli, dan menyabar-nyabarkan hatinya sendiri. Selepas waktu asar nanti Hanna akan bertanya langsung kepada Wahyu agar jelas sejelas-jelasnya. Jelas berita tentang Wahyu dan Nimas, dan jelas juga hubungan Hanna dengan Wahyu.

Hanna benar-benar mengurung diri seharian di dalam kamar sampai waktu asar tiba. Ia hanya keluar saat waktu salat jamaah, dan pergi ke kamar mandi. Tidak peduli dengan rasa bosan yang menyerang, karena perasaannya saat ini lebih didominasi dengan kegundahan dan rasa penasaran.

Lepas salat asar, Hanna meminta izin kepada teman-temannya untuk berdiam di masjid sebentar lagi dengan alibi untuk menghilangkan bosan lebih dahulu. Ia menunggu masjid sepi, dan menunggu Wahyu tentunya. Tidak ada lima menit menunggu, lelaki yang diharapkan kedatangannya sejak tadi akhirnya tiba. Ia berhenti pada jarak satu meter terbentang dari tempat Hanna berdiri, lalu mengikisnya sedikit hingga tersisa beberapa sentimeter saja.

Baik Hanna maupun Wahyu, mereka sama-sama terlarut dalam diam dan rasa canggung. Hingga akhirnya, Hanna membuka suara lebih dulu.

“Apa kabar yang beredar itu benar, Mas?” tanya Hanna tanpa basa-basi. Ia menguatkan hati sekuat-kuatnya terhadap apapun jawaban yang didapat dari Wahyu.

“Benar.” Satu kata dari Wahyu yang berhasil membuat dada Hanna terasa sesak. Pasokan oksigen di sekitarnya mendadak menipis. “Saya minta maaf, Mbak. Setelah sore kemarin, Abuya memanggil saya ke ndalem, dan mengatakan maksud beliau. Beliau melamar saya untuk Ning Nimas. Saya tidak berani untuk mengatakan tidak kepada Abuya. Sekali lagi, saya minta maaf,” ujar Wahyu dengan kepala menunduk.

Hanna yang membelakangi Wahyu tersenyum miris. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi ditahannya agar tidak menangis. “Saya mengerti, Mas. Selamat untuk njenengan, dan semoga lancar sampai hari H,” ujar Hanna dengan suara sedikit bergetar.

“Mbak, saya minta maaf sekali lagi. Saya—”

“Tidak perlu meminta maaf. Menjalankan dawuh guru adalah kewajiban seorang murid. Itu yang sedang Mas lakukan. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.”

Wahyu menatap kepergian Hanna dengan sendu. Ia telah menyakiti hati seorang wanita. Betapa berdosanya ia telah membuat makhluk lemah lembut itu menitikkan air matanya. Beribu maaf untuk Hanna ia ucapkan dalam hatinya, meski rasanya itu tidak akan pernah cukup.

Sepeninggalan Hanna dari masjid, ia berlari ke belakang asrama. Seperti biasa, ia menyendiri untuk menenangkan pikiran. Sekuat apapun ia menahan agar tidak menangis, namun akhirnya embun matanya itu tetap menetes jua. Hal yang ditakutkannya benar-benar terjadi. Meski rasanya tidak sesakit saat pertama dulu, namun tetap saja hatinya sakit.

Takdir kembali mempermainkannya. Hanna kembali terjatuh dalam lubang yang sama. Patah hati kini dirasakan oleh Hanna untuk yang kedua kalinya. Katakanlah saja Hanna bodoh. Iya, begitulah cinta. Terkadanh bisa membuat orang bodoh, terkadang juga bisa membodohi orang.

Hanna kembali dibuat berpikir. Nimas berkata bahwa dirinya masih menunggu seseorang. Apa seseorang yang dimaksud adalah Wahyu? Ah, tentu saja iya! Ia sampai menolak pinangan-pinangan dari banyak lelaki pilihan demi menanti Wahyu.

Hanna mengulum senyum masam. Ikhlas. Sekali lagi, Hanna harus belajar yang namanya ikhlas. Seni terindah dari mencintai adalah mengikhlaskan. Banyak makna yang terkandung di dalamnya, namun tidak banyak orang yang mengerti apa makna sesungguhnya di balik kata tersebut.

Sakit karena sebuah pengharapan kepada makhluk nyatanya membuat Hanna menjadi pengecut. Ke mana lagi dirinya harus mangkir dari takdir? Ke mana rasa sakit hatinya ini akan membawa pergi Hanna? Hanna lelah terus berlari dari kenyataan, tapi ia harus. Hanna bukan orang yang mudah bangkit jika terjatuh di dalam sebuah lubang. Ia harus menjauh, sebagaimana yang dilakukannya pada saat sakit hati dengan Okta dulu. Rasanya seperti de javu.


To be continued🍂

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Dipersilakan untuk berkomentar😊

Semangat puasanya! Tinggal 4 hari lagi xixixi :)
Jangan lupa vote dan komennya💛

📝 Kudus, 9 Mei 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang