27. Benar-Benar Ikhlas

598 107 10
                                    

Pada akhirnya pikiran akan kembali kalah dengan perasaan saat sedang jatuh cinta.

🍁🍁🍁

Setelah kejadian di mana Kiya datang menemui dan meminta maaf kepada Hanna, Kiya masih tinggal selama beberapa hari di Semarang, lebih tepatnya di rumah salah satu teman Kiya yang memang jaraknya lumayan dekat dengan pesantren An-Najah.

Selama di Semarang pula, Kiya memanfaatkan waktu yang ada untuk datang menjenguk Hanna. Biarpun Hanna sudah memperingatkan Kiya agar tidak menemuinya terlalu sering, Kiya tetap tidak peduli. Kesempatan langka tidak datang dua kali, kan? Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, pikir Kiya. Selagi bisa sering bertemu dengan Hanna, kenapa tidak? Kalau Hanna sedang di rumah pun intensitas kebersamaan mereka tidak banyak. Kiya sudah tinggal bersama Okta, dan saat Kiya datang ke rumah, ganti Hanna yang banyak menghindar. Jujur saja Kiya rindu saat di mana dirinya dan Hanna banyak melakukan hal-hal bersama.

Dan kini saatnya Kiya kembali bertolak ke Jogja.  Kemarin, Hanna baru mengetahui kalau Kiya datang menemuinya tanpa seizin Okta, sehingga Hanna langsung memarahi kakaknya itu. Dengan sedikit paksaan dari Hanna, Kiya akhirnya kembali mengaktifkan ponselnya dan mendial nomor Okta. Mengabari sang suami jika saat ini dia sesang ada di Semarang untuk menemui Hanna. Dari telepon, Kiya mendengar nada penuh cemas dari Okta. Apakah suaminya khawatir ia pergi berhari-hari tanpa izin? Bolehkah Kiya senang apabila itu benar terjadi? Tentu saja boleh. Tapi Kiya ragu. Ia takut jika rasa cemas Okta hanya didasari oleh sebuah bentuk tanggung jawab semata. Kiya kembali merenung dan berpikir. Pikirannya menuntut Kiya untuk berpikir realistis, tetapi hatinya memberontak. Hatinya senang. Bibirnya menyinggingkan senyum. Pada akhirnya pikiran kembali kalah dengan perasaan jika sedang berada pada fase jatuh cinta.

Hanna meminta izin kepada bagian perizinan agar bisa mengantar kepulangan kakaknya. Dan di sinilah Hanna saat ini. Berdiri sembari menatap dua orang yang sedang berpelukan di depan sana. Kiya dan temannya berpelukan layaknya orang akan berpisah selamanya dan tidak bertemu kembali. Sedangkan Hanna berdiri di samping Okta dengan dibatasi benteng rasa canggung yang amat tinggi. Keduanya saling diam menatap Kiya dan temannya.

“Kamu sehat, Han?” tanya Okta menginterupsi dengan suara rendah.

“Seperti yang terlihat.” Hanna menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari Kiya.

“Bagus. Mas senang bisa melihat dan mengobrol seperti ini denganmu lagi. Maaf, Mas belum bisa menepati janji terakhir Mas kepadamu. Mas masih sulit untuk mengizinkan masuk ke dalam hati Mas, yang di sana masih jelas ada kamu.”

Pandangan Hanna akhirnya teralihkan. “Terserah. Itu janji Mas yang buat, dan Hanna tidak peduli lagi dengan apapun yang kamu ucapkan. Yang Hanna minta kepadamu masih tetap sama. Bahagiakan dan cintai Mbak Kiya.” Hanna memberikan senyuman sedikit mengejek kepada Okta, lalu kembali berujar, “seharusnya tidak usah aku ingatkan pun Mas Okta sudah tahu bahwa itu sudah menjadi tugas seorang suami terhadap istrinya. Ah, tapi ya sudah, semua kembali ke diri Mas. Pesanku satu itu tadi, dan—oh, ada tambahan lagi, jangan sia-siakan perempuan sebaik Mbak Kiya, ya, Mas.”

Hanna mengakhiri pembicaraannya dengan Okta saat melihat Kiya mulai mendatangi mereka. Hanna segera mengontrol ekspresi wajahnya yang semula jutek menjadi kembali berseri saat di hadapan Kiya. Mereka berdua kembali mengobrol, dengan Kiya yang lebih bawel mengingatkan ini-itu kepada Hanna.

“Mbak pulang ya, Han. Makasih udah mau Mbak repotin selama seminggu,” ujar Kiya diselingi kekehan.

“Iya, Mbak, makasih juga udah sering-sering temuin Hanna. Mbak sama Mas hati-hati di jalan, ya. Kalau capek bisa berhenti dulu di rest area, jangan membahayakan diri.” Kiya melirik Okta lewat sudut matanya. Pernah bersama dengan lelaki 26 tahun itu membuat Hanna mengerti bagaimana kebiasaan buruk Okta, yang salah satunya adalah tetap memaksakan berkendara meski sedang lelah. Hanna pribadi tidak masalah jika Okta melakukannya saat sedang sendiri, tapi sekarang posisinya ada Kiya, Hanna tidak mau kakaknya kenapa-kenapa karena keteledoran Okta.

Setelah melakukan ritual pamitan kakak-beradik, mobil yang dinaiki Kiya dan Okta akhirnya benar-benar melesat meninggalkan Hanna. Dari tempatnya, Hanna hanya bisa melangitkan doa kepada Tuhan agar pernikahan Kiya selalu diberkahi.

Kini, beban tanggungan di pundaknya seolah lepas begitu saja. Hatinya terasa ringan dan bahagia. Hanna ikhlas. Benar-benar ikhlas.

Ikhlas. Satu kata, namun memiliki arti yang sangat mendalam dan juga luas. Sesuatu yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan. Perihal ikhlas jelas memerlukan kelapangan hati. Maka dari itu, besarnya hati harus melebihi dari besar hati itu sendiri.

Waktu zuhur hampir tiba. Izin Hanna sudah hampir mencapai batas waktunya. Ia segera menghentikan angkutan umum yang sejalur ke arah pesantren, kemudian menaikinya.

Tidak perlu memakan waktu lama, lima belas menit kemudian, Hanna telah sampai di pesantren. Karena para santri dan orang-orang yang berada di pesantren sedang melaksanalan salat zuhur, menjadikan Hanna langsung disapa senyap saat pertama kali masuk. Hanna melipir menuju dapur sejenak, untuk memastikan apa yang bisa ia bantu sekarang.

Seperti biasanya, Hanna menyapa dengan riang, namun tetap sopan kepada dua orang ibu juru masak yang masih ada di dapur.

“Hanna bisa bantu apa, Bu?”

“Udah selesai masaknya, Nduk. Bantu nyicip mau?” goda salah satu ibu juru masak pada Hanna.

“Bu Iyah, tau aja kalau Hanna lapar. Nanti bukannya nyicipin, tapi malah Hanna habisin,” sahut Hanna dengan candanya. Dapur kembali riuh oleh tawa.

Setelah selesai mencicipi masakan dari ibu-ibu juru masak dapur umum, Hanna pamit untuk kembali ke kamar agar bisa memanggil teman-temannya untuk mengantre jatah makan siang.

“Dari mana, Mbak?” tanya Fina saat Hanna baru saja masuk ke kamarnya.

“Tadi ngantar kepulangan Mbakku ke Jogja, kebetulan orangnya nginap di tempat dekat sini.” Hanna melepas peniti di bawah rahang, kemudian mengganti kerudung persegi dengan kerudung instan yang dianggapnya ringkas.

“Makan, gih! Tadi Bu Iyah bilang sudah bisa antre makanan. Aku mau beresin ini dulu.” Hanna menunjukkan satu ember penuh baju dan pakaian kotornya.

“Mbak nggak salat dulu?”

“Sedang halangan. Udah sana kalian makan dulu, nanti Mbak nyusul.”

Teman sekamar Hanna akhirnya melenggang lebih dulu ke dapur, meninggalkan Hanna sesuai pintanya. Sedangkan Hanna masih berjibaku dengan pakaiannya yang sudah tiga hari tidak dicucinya. Sedikit kesal karena dua hari lalu cuaca tidak mendukung untuk dirinya mencuci pakaian, alhasil sekarang cuciannya menggunung.

Saat Hanna merogoh kantung saku pada gamisnya untuk mengambil kacamata, tak sengaja tangan Hanna juga menemukan kertas amplop. Langsung saja Hanna teringat Wahyu yang memberikan surat ini kepadanya.

“Ambillah! Baca nanti kalau sudah sendiri di asrama ya. Kalau sudah baca, terserah kamu mau melakukan apa. Pilihan ada di tangan kamu.”

“Apa ya isinya?” monolog Hanna penasaran. Jemari tangannya hendak membuka tutup amplop tersebut, dengan jantung berdebar hebat.

Namun, belum sampai terbuka, Hanna kembali dikejutkan oleh teriakan Zulfa yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar. “Hanna, jadi nyuci nggak?”

“Jadi. Tunggu sebentar.”

Dengan pasrah, Hanna meletakkan kembali surat wahyu di bawah bantalnya. Mengenyahkan sejenak rasa penasarannya terhadap isi surat tersebut.





To be continue🍂

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Tebak dah isi suratnya apaan 😂 wkwk.

Jangan lupa al-kahfi^^ Jangan lupa vote dan komennya juga💛

📝 Kudus, 7 Mei 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang