8. Dengan Izin Allah

556 92 0
                                    

Waktu terasa cepat sekali berlalu. Meninggalkan setiap detik yang pasti akan menjadi masa lalu bagi setiap orang. Maka dari itu, waktu merupakan benda yang amat berharga, namun banyak orang tak sadar sudah menyia-nyiakannya. Maka, tidak salah jika di dalam Alquran, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, ‘Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian’ [Q.S. al-'Asr:3].

Memang benar adanya bukan? Seberapa banyak waktu yang dibutuhkan manusia untuk beribadah kepada Allah dalam sehari semalam? Tidak lebih dari seperempat jam untuk menunaikan sholat satu waktu, tidak ada lebih dari lima menit jika hanya membaca satu ayat Alquran per harinya. Namun dengan santainya manusia menunda-nunda ibadah tersebut, hanya karena embel-embel berbagai macam alasan sibuk ini, sibuk itu. Sedangkan, manusia bisa berjam-jam duduk di depan layar komputer bekerja tanpa berani membantah pada atasannya—dengan alasan khawatir mendapat SP atau khawatir akan dipecat. Lalu pernahkah dalam benak manusia terbesit rasa khawatir, saat ia menunda salatnya, menunda ibadahnya yang lain, Allah akan memecatnya sebagai seorang hamba?

Setelah membicarakan maksud hatinya untuk bisa menimba ilmu di pondok pesantren. Biidznillah, satu bulan setelahnya Hanna benar-benar berangkat ke pondok An-Najah yang berada di pinggiran kota Semarang.

Dan di sinilah Hanna sekarang, Pondok Pesantren An-Najah—lebih tepatnya gedung utama Pondok Pesantren An-Najah. Saat ini Hanna beserta teman-teman barunya yang lain, tengah mengikuti pembukaan dan penyambutan santri baru oleh petinggi pondok.

Jajaran kiai dan ustaz, duduk di barisan kursi terdepan dengan fasilitas khusus tentunya. Juga sie dekdok yang sibuk mondar-mandir mengambil foto-foto kegiatan yang bagus untuk dijadikan bukti dokumentasi mereka.

“Han!” panggil seseorang di samping kanan Hanna.

Hanna menoleh, kemudian mengangkat kedua alisnya. Orang itu adalah Zulfa, teman yang baru Hanna di sini. Usianya setahun di bawah Hanna, tapi ia tidak nyaman jika dipanggil 'mbak' oleh teman-teman yang hampir sebaya dengannya. Sebenarnya tidak hanya Zulfa, beberapa teman sekamarnya juga sudah mulai Hanna ketahui namanya, namun sayangnya tempat duduk mereka terpisah.

“Lihat, ke kiri, Han!” titah Zulfa.

Hanna sontak melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Zulfa. Namun, ia kebingungan sendiri apa yang menjadi objek penglihatan temannya ini. Pasalnya, di samping kirinya adalah kain satir yang membatasi santri putri dan santri putra, lalu apa yang bisa dilihat?

“Lihat, nggak?” tanya Zulfa memastikan dengan nada antusias. Kelewat antusias malah. Hanna hanya mengangguk. “Ganteng, kan?” tanya Zukfa lagi.

Hanna mengernyit. “Apanya?”

Ishh ... kamu mah! Itu loh, mas-masnya ganteng banget. Yang pecinya agak ke atas, jidatnya kelihatan lebar, tapi ganteng. Ya ampun, Hanna ... ganteng banget ih!”

Hanna menghela napasnya, tak berniat melihat ke arah laki-laki yang dimaksud oleh Zulfa. Hanna hanya mengiyakan ucapan Zulfa. Zulfa senang bukan main saat Hanna setuju dengan ucapannya. Hanna tersenyum karena itu. Membahagiakan orang mendapat pahala bukan?

***

Malam telah hadir menggantikan siang. Bulan purnama menggantung sempurna di atas hamparan hitamnya langit malam. Sahabat setia bulan—bintang—turut menemani, menghiasi pekatnya malam dengan kerlipan cahayanya. Memanggil-manggil siapapun untuk mendongakkan kepala ke atas, melihat betapa indahnya ciptaan Yang Mahakuasa.

Belum tepat juga jika disebut tengah malam, karena nyatanya jam dinding baru menunjukkan pukul sebelas malam. Namun jika langit sudah gelap dan bulan serta kawannya telah muncul, maka orang-orang pasti menyebutnya malam. Waktu yang semestinya digunakan untuk beristirahat, nyatanya tidak berlaku untuk Hanna.  Matanya masih mengerjap dengan teratur. Tatapannya lurus tertuju pada dipan di atasnya. Hanna sengaja mengambil jatah balai yang berada di bawah, karena ia malas jika harus naik turun balai saat hendak melakukan sesuatu.

Mungkin malam ini, Hanna akan menjadi kelelawar.

Helaan napas jengah terdengar dari mulut Hanna. Ia ingin tidur, tapi banyak sekali pertanyaan menggantung di otak cantiknya. Ingin sekali dirinya melepas otak terlebih dahulu, lalu besok memasangnya lagi ke kepala—seandainya bisa. Sayang, hal itu hanya sering dilihatnya di film kartun yang tokohnya adalah sebuah kotak berwarna kuning, dan sahabatnya bintang laut merah jambu.

Ia memutar badannya ke arah kiri, memeluk guling erat.

Hiiih ... merem dong, merem!!” Hanna mengusap-usap matanya berulang kali supaya bisa terpejam, namun nyatanya tetap tidak bisa. It's a futile deed.

Hanna memutuskan untuk keluar dari kamar asramanya. Barangkali angin malam bisa mendatangkan kantuk baginya.

Hanna berdiri dengan sandaran tiang penyangga atap yang ada di teras depan asramanya sambil bersedekap. Ia menengadah. Hamparan langit malam terbentang sepanjang mata memandang. Semilir angin malam menampar pori-pori kulit Hanna dari kanan dan kiri.

Helaan napas jengah berulang kali diembuskan oleh Hanna. Kedua telapak tangannya saling menggosok untuk menghasilkan kehangatan. Angin malam kali ini benar-benar dingin hingga menusuk kulit. Masih mencoba mencari kehangatan, ia menyelipkan tangannya ke balik kerudung instan yang dikenakannya. Ketika tangannya mengusap-usap leher, tak sengaja, ia menangkap kalung yang menggantung di lehernya.

Hanna hampir lupa jika dirinya memakai kalung sebelum berangkat menuju pondok. Dilepasnya kaitan kalung tersebut, lalu degenggam Hanna. Kalung ini hadiah pemberian Okta saat hari kelulusannya kemarin. Kalau saja ia tidak beberes sebelum ke pondok, mungkin ia tidak akan ingat jika Okta memberinya hadiah. Karena sesampai di rumah, Hanna langsung memasukkan kotak hadiah dari Okta ke dalam lemarinya, tak berniat untuk membukanya. Membukanya sama dengan mebuat luka baru di bekas luka yang masih basah, dan betapa bodohnya ia sekarang malah memakainya.

Waktu itu, Hanna melihat surat yang diselipkan Okta di kotak hadiahnya, kemudian Hanna membacanya.

Maaf ya, Han, Mas cuma kasih kamu ini. Semoga suka. Jangan lupa dipakai.

Okta.

Hanya membaca kalimat ‘jangan lupa dipakai’ saja Hanna bak tersihir oleh mantra Okta. Dengan ringannya Hanna memakai kalung itu di lehernya, bahkan sampai sekarang. Huh, dasar Hanna!

Satu tepukan tiba-tiba mendarat di pundak Hanna, membuat ia terlonjak kaget. Ia menoleh dan mendapati perempuan dengan badan sedikit berisi sedang memandangnya penuh selidik.

“Assalamualaikum,” salam dari orang yang Hanna ketahui merupakan ketua keamanan asrama putri bernama Tari.

“Waalaikumussalam,” jawab Hanna.

“Kenapa kamu masih di sini? Tidak lihat ini sudah jam berapa?” tanyanya dengan nada tegas.

"Maaf, Mbak Tari, saya lagi nyari angin," jawab Hanna seadanya.

“Ya sudah, masuk kamar. Ini sudah waktunhmya istirahat. Kali ini cuma saya tegur, tapi lain kali kalau saya lihat kamu berada di luar kamar asrama, akan saya beri poin, dan siap ditakzir esok harinya.” Hanna mengangguk kaku. Jantungnya menggila saat mendengar ancaman dari ketua asramanya itu. Ia notabene masih santri baru, daripada cari masalah, Hanna bergegas masuk ke dalam kamar. Masa bodoh nanti ia bisa tertidur atau tetap terjaga nantinya.




To be continue🍂

📝 Kudus, 18 April 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang