13. Sia-Sia

451 83 0
                                    

Selamat, kamu berhasil meluluhlantakkan kembali benteng pertahanan hatiku.

🍁🍁🍁

Setelah susah payah meminta izin keluar pada sekretariat, dengan negosiasi sedikit alot karena Hanna harus menjawab berbagai rentetan pertanyaan dari petugas piket tentunya. Awas saja jika yang akan dibicarakan Okta nantinya tidak penting!

Setelah bisa ke luar pesantren, Hanna juga tetap harus waspada. Hari libur sekolah biasanya banyak anak-anak santri yang mencari hawa segar lingkungan sekitar dengan jalan-jalan ke luar pondok. Jangan sampai saat ia bertemu Okta nanti ada salah satu atau beberapa orang santri yang melihat dirinya. Bisa celaka dua belas Hanna nantinya.

Rupanya Hanna sampai lebih dulu dibandingkan Okta. Dengan terpaksa, Hanna menunggu Okta di dekat tempat mereka janjian. Sangat malas sebenarnya jika disuruh menunggu. Bagi Hanna, menunggu itu membuat lelah. Lelah hati, lelah bodi.

Hampir setengah jam berlalu, Okta belum menampakkan batang hidungnya.

Hanna berdecih. “Pengingkar janji yang ulung,” lanjutnya.

Karena sudah tidak kuat menunggu lebih lama lagi, Hanna beranjak dari tempatnya duduk agar bisa segera kembali ke pesantren. Sudah terlalu lama juga jika untuk sekedar alasan foto copy. Semoga tidak kena cecaran pertanyaan yang mirip interogasi itu, syukur-syukur jika tidak terkena hukuman.

“Hanna, tunggu!” Interupsi suara lelaki kembali menghentikan langkah Hanna. Ia menoleh ke belakang, tampak Okta dengan penampilan sedikit kusut. Pelipisnya terdapat peluh-peluh yang mengalir dari keningnya.

“Hanna, maaf Mas telat. Ban motor Mas bocor di tengah jalan, Mas ke tambal ban dulu, tapi antre ... jadi, Mas tinggal saja motornya di bengkel,” jelas Okta dengan napas sedikit tersengal-sengal.

Baiklah, Hanna mencoba untuk sedikit menurunkan egonya kali ini. “Terus, mana motornya?”

Okta mengulum senyum di tengah deru napasnya yang tidak beraturan karena melihat Hanna masih meresponnya.

“Masih di bengkel. Aku tadi lari dari bengkel ke sini,” jawab Okta diakhiri dengan kekehan kecil.

Hanna menghembuskan napas pasrah. Jiwa empati dan simpatinya bekerja dengan sangat baik di situasi seperti sekarang ini. Ia gagal untuk mencoba tidak peduli dengan Okta. Akhirnya, Hanna menyuruh Okta untuk duduk terlebih dahulu supaya napasnya lekas kembali normal.

Okta mengucapkan terima kasih. Setelahnya, ia menyeka keringatnya yang bercucuran di dahinya dengan lengan kaosnya.

Hanna yang melihat itu berdecak sebal. “Jangan kebiasaan deh, Mas! Dilap pakai tisu atau sapu tangan gitu, lho ... jorok kok dibudidaya!”

Lagi-lagi Okta mengulum senyumnya. “Mas senang karena kamu masih peduli sama Mas, Han. Mas masih bisa merasakan perasaan yang sama seperti dulu. Hanna yang selalu hangat, dan perhatian.”

Okta berdiri untuk merogoh sesuatu dari dalam saku celana katun yang dikenakannya. Dikeluarkannya sapu tangan cokelat tua yang kemudian digunakan Okta untuk menyeka peluh pada dahinya. Hanna terdiam menatap sapu tangan yang digunakan Okta. Itu adalah sapu tangan yang diberikan Hanna dua tahun yang lalu.

Tidak ingin ketahuan sedang memandangi Okta, Hanna segera berdeham, kemudian mulai membuka pembicaraan.

“Langsung saja, Mas, Hanna sudah terlalu lama izin ke luar pondok,” ucap Hanna memandang lurus ke arah jalanan di depannya.

Okta mengangguk paham dengan kondisi Hanna yang tidak bisa seenaknya pergi dari pondok pesantren. Ia juga sedikit merutuki kenapa motornya bisa terkena ranjau di jalan tadi.

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang