20. Salah Paham

444 83 5
                                    

Kamera itu ibarat manusia. Apabila ingin mendapat hasil bagus, kuncinya hanya satu: fokus.

🍁🍁🍁

Hari demi hari di pesantren telah dilalui Hanna. Suka cita menjadi seorang santri sudah Hanna rasakan. Tak seenak yang dibayangkan, pun tak seburuk yang dipikirkan. Semua ia biarkan berjalan sebagaimana alur yang telah dicipta oleh Sang Pencipta.

Sore hari yang bisa dibilang berangin ini dimanfaatkan Hanna untuk berjalan-jalan santai di sekitar pesantren. Langkah demi langkah ia tapakkan di lantai semen yang sudah berlumut di beberapa titik.

Sederet karya dan informasi yang mengisi majalah dinding pesantren menarik atensi Hanna. Ia menyusuri mulai dari ujung, membacanya satu-demi satu, hingga tatapannya berpaku pada sebuah pamflet yang menyatakan pengumuman lomba fotografi tingkat nasional. Jiwa seni di bidang fotografinya seakan bangkit, menyerukan agar Hanna harus mengikuti lomba tersebut.

Kerutan timbul di kening Hanna, tanda bahwa ia tengah berpikir matang-matang. Setelah berhasil meyakinkan dirinya sendiri, sekali lagi, Hanna mengalihkan pandangannya ke arah pamflet lomba. Dibacanya ulang pamflet tersebut sembari mencatat poin-poin penting dalam lomba di ingatannya.

“Pendaftaran paling lambat anggal 15? Berarti hari ini?” pekiknya pelan. Tanpa pikir panjang lagi, Hanna segera menemui koordinator lomba di pesantrennya. Kebetulan Hanna kenal dengan orang tersebut.

“Mbak Wafda!” orang yang dipanggil Hanna menoleh.

“Hanna? Ada apa?”

“Mbak, aku mau ikut lomba fotografi. Masih bisa daftar, kan?”

Wafda tersenyum, “Bisa dong! Alhamdulillah, kamu tepat waktu. Kamu isi formulir yang Mbak taruh di atas lemari. Kalau udah, nanti kasih ke Mbak. Mbak buru-buru soalnya, dipanggil ke sekretariat.” Hanna menghembuskan napas lega karena masih bisa mendaftar. Ia mengucapkan terima kasih kepada Wafda, kemudian bergegas menuju kamar asrama Wafda untuk mengambil formulir pendaftaran.

Masalah pendaftaran telah usai, saatnya Hanna kembali ke asrama. Dibukanya koper kecil tempat di mana ia menyimpan kamera yang tidak pernah digunakannya lagi semenjak mondok, tapi ia tetap membawa barang tersebut ke mana pun ia pergi.

Memastikan bahwa kameranya telah siap, Hanna mulai membidikkan lensanya pada beberapa objek yang cukup menarik untuk dijadikan target.

Kurang puas berlatih di dalam kamar asramanya, Hanna bergerak keluar untuk mencari objek yang bisa difoto. Disusurinya halaman belakang pesantren yang terdapat objek-objek menarik.

Netra Hanna menyipit salah satu saat membidik hamparan langit yang sudah sedikit tercampur semburat jingga. Fokusnya adalah burung yang tengah terbang bergerombol di atas sana. Beberapa gambar berhasil diambilnya dengan apik.

“Alhamdulillah. Aku kira udah lupa caranya jadi fotografer.” Hanna terkekeh sendiri.

Hanna mengulas kembali gambar-gambar yang terekam dalam memori kameranya. Tidak hanya gambar yang baru dipotretnya, tapi juga gambar yang sudah lebih dulu berdiam menjadi kenangan di dalamnya.

Jika ditelisik kembali, kamera itu ibarat manusia. Apabila ingin mendapatkan hasil yang bagus, kuncinya hanya satu. Fokus. Begitupun dengan hidup manusia. Seseorang harus fokus demi mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.

Kamera punya lensa, manusia punya mata. Dari sana, rentetan kejadian demi kejadian dapat dilihat, dan pada akhirnya terekam di dalam memori. Tersimpan rapi, tanpa tapi.

Saat mata manusia tetap fokus pada hal yang mengandung kebaikan, maka hidup akan terasa lebih indah. Namun, apabila fokus manusia teralihkan pada kemudharatan, maka yang dilihat hanyalah keburukan-keburukan orang lain, tanpa mau melihat pada keburukannya sendiri.

Foto tanpa cahaya ibarat manusia tanpa hati. Hati adalah cahaya bagi hidup manusia. Apabila hatinya terang, terisi oleh cahaya-cahaya keimanan, maka akan tercermin lewat tindak-tanduk yang dilakukan. Akhlaknya tertata, seperti kamera yang berhasil menangkap gambar pada fokusnya. Sebaliknya, saat hati gelap, manusia lebih mudah kalap. Kerasnya hati akan membentengi diri dari nurani.

Hanna melipir mencari objek lainnya. Berjalan sembari mengamati sekitaran. Ia tengah berperan menjadi paparazzi alam semesta untuk saat ini.

“Ih, ada ulat.” Hanna bergidik geli saat melihat seekor ulat bulu berwarna hitam sedang menggeliat ria di batang pepohonan. Pun begitu, tak urung ia mengarahkan kameranya pada ulat bulu hitam tersebut. Alasannya satu. Menarik.

Baru satu atau dua gambar yang terambil oleh lensanya. Hanna dikejutkan oleh sesuatu yang menggesek kakinya dengan lembut. Dilihatnya ke bawah, dan refleks berteriak ketakutan.

Ia lari tanpa memperhatikan sekitarnya. Bahkan gamis hitam yang terinjak oleh langkahnya pun tak menghalangi langkah Hanna untuk terus berlari. Tentu saja untuk menjauh dari hewan berambut itu.

Hanna menabrak seseorang karena saking terburunya. Ia jatuh terduduk, begitu pun dengan orang yang ditabraknya.

Hanna masih mangumpulkan fokusnya yang terbawa lari oleh rasa pening akibat benturan ringan tadi.

“Mas Wahyu?”

“Mbak Hanna?”

Keduanya sama-sama terkejut. Sempat saling bertukarpandang selama beberapa detik, sampai akhirnya Hanna yang berpaling lebih dulu. Hanna berdiri, lalu membersihkan gamisnya dari butir-butir tanah yang melekat.

“Maaf, Mas. Hanna nggak sengaja nabrak njenengan.”

“Iya, tidak apa-apa.” Wahyu mengulas senyum meski ia tahu Hanna tidak akan melihatnya. Gadis itu sejak tadi hanya menatap dua pasang kaki yang hampir berdekatan.

“Mau ikut lomba fotografi?” tanya Wahyu memastikan. Hanna mengangguk sebagai jawaban.

“Semoga mendapat hasil sesuai dengan apa yang diharapkan, ya, Mbak.”

“Aamiin .... Terima kasih, Mas.” Hanna menjeda ucapannya, “Hmm ... Mas, bisa tidak kalau panggil saya tidak usah pakai ‘Mbak’? Saya jadi ... sungkan,” sambungnya.

Wahyu tertawa sejenak. “Insyaallah, kalau saya ingat.”

Hanna sering melihat tawa itu. Namun, tetap saja dirinya kagum saat si pemilik menarik apik busur tersebut. Entah secanggung apa keadaan saat ini, yang Hanna rasakan hanya debaran di dada sebelah kirinya yang menguat. Jantungnya menggila saat ada di dekat Wahyu, dan itu tidak baik.

Berada di sekitaran Wahyu, sangat tidak baik untuk kesehatan jantung Hanna.

“Ya sudah, kalau begitu saya ke sa—” ucapan Hanna belum rampung, namun sudah terpotong oleh ngeongan hewan berambut itu lagi. Ia kembali menjerit saat kucing putih itu mengendus sekitaran kakinya. Sayang sekali refleks Hanna kali ini bukanlah lari, melainkan memeluk tubuh seseorang di depannya. Iya, Hanna memeluk Wahyu.

Sontak saja, Wahyu menegang di tempatnya. Susah payah ia menelan ludahnya sendiri. Degub jantungnya seirama dengan degub milik Hanna yang sama-sama berdetak dengan cepat. Ia tahu ini salah. Namun, bisikan setan dengan mudah menggoyahkan imannya untuk tetap membiarkan keadaan ini selama beberapa saat saja.

Hanna masih memeluk Wahyu dengan mata terpejam. Ia masih belum menyadari tindakannya yang sangat kurang ajar. Sedangkan Wahyu, ia tetap tergugu dalam diamnya.

Ya Allah, ini benar-benar nyaman, pekiknya dalam hati tanpa keraguan.

Baru saja akan melerai tindakan yang bisa menjadi amunisi catatan Malaikat Atid, Wahyu kalah cepat dengan suara berat seorang laki-laki yang membuat pelukan Hanna terlepas. Keduanya menegang di tempat.

Kepala pengasuh asrama putra.

Jantung mereka kembali berdetak cepat. Bahkan lebih cepat. Bukan karena rasa asing yang menyusup pada dada. Bukan sama sekali. Melainkan rasa khawatir akan apa yang terjadi pada nasib mereka ke depannya.

“Ikut saya ke keamanan!”

To be continue🍂

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Nah loh, keciduk nggak tuh😂

Jangan lupa vote dan komennya💙
Syukron katsiran🌈

📝 Kudus, 29 April 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang