4. Sekelumit Bagian dari Masa Lalu

743 110 1
                                    

Manusia kecewa karena ia terlalu percaya diri dengan harapan yang dibuat, tanpa melibatkan Tuhan.

🍁🍁🍁

Hanna termenung di balkon kamarnya. Angin malam tak menyurutkan niat Hanna untuk menikmati semilir angin yang membuat matanya tiba-tiba memanas. Pikirannya kembali mengenang rentetan kejadian bersama Okta.

“Hiks ... tolong! Siapa pun, tolong Hanna!!” Hanna yang saat itu masih berseragam putih-biru, tengah meringkuk di pojokan gang, dengan isak dan tangis yang lolos dari bibirnya. “Huaaa ... pergi sana! Hush! Hushh! Tolong!!!”

Hanna memundurkan langkahnya. Ia sangat ketakutan sekarang. Berharap ada malaikat yang menolongnya saat ini juga. Karena badannya yang terus mundur, ia tak sengaja menabrak laki-laki yang masih mengenakan seragam dengan jaket yang disampirkan di bahu kanannya.

“Adik, kenapa?” tanyanya.

Hanna menoleh. Ia beringsut mundur, menghindari laki-laki asing di hadapannya. Kata sang ibu, ia harus berhati-hati dengan orang asing. Bisa saja orang di depannya ini berniat jahat.

Seolah tahu dengan rasa khawatir gadis di hadapannya, anak SMA yang ada di dekat Hana berjalan mendekatinya, lalu berjongkok. “Adik manis jangan takut ... kenalin, namaku Okta. Panggil aja Mas Okta, oke?” laki-laki yang mengaku bernama Okta tadi mengangkat kedua jempolnya.

Hanna tetap mengangguk, meski terkesan ragu. “Aku ... Ha-Hanna,” cicitnya pelan. Okta tersenyum.

“Jadi, Hanna ... kamu kenapa nangis?”

“Kucing. Hanna takut kucing.”

Okta tertawa. Apa yang harus ditakuti dari kucing? “Kenapa takut kucing? Mereka lucu tau,” ucap Okta sambil mengambil satu kucing yang lewat di dekatnya.

Hanna bergidik saat Okta mendekatkan hewan berambut itu pada Hanna. Okta mengelus sayang kucing yang ada di dekapannya. Sebenarnya ini kucing yang bagus, jika terawat. Warna rambutnya putih bersemu oranye. Lucu sekali.

“Buang, ih, buang!!” Okta malah tertawa, membuat Hanna kembali menggerutu.

Okta melepaskan kucing itu kembali, lalu membersihkan rambut-rambut kucing yang menempel di seragam sekolahnya.

“Udah, ayo bareng Mas.” Okta menggandeng tangan Hanna, berlalu melewati gerombolan kucing terlantar di gang itu. Hanna menurut saja, daripada harus berurusan dengan kucing. Hiii ... menggelikan!

Seulas senyum hadir di wajah Hanna. Ia mengingat pertemuannya pertama kali dengan Okta. Berawal dari seekor kucing. Ia semakin tidak suka dengan kucing. Selain punya pengalaman buruk dengan kucing di waktu kecilnya, ia jadi bertemu dengan orang yang berusaha dilupakannya mati-matian. Sayangnya, melupakan tak semudah mengucapkan. Bohong kalau Hanna bilang sudah melupakan Okta dalam waktu yang sedemikian singkatnya.

Hanna menundukkan pandangannya ke arah halaman rumahnya yang remang-remang, pencahayaan hanya dengan cahaya lampu taman saja. Genggaman tangan Hanna pada pembatas balkon mengerat. Sekelebat ucapan Okta waktu di Rumah Hati tadi, muncul di pikiran Hanna.

“Tapi Mas sudah janji sama kamu, Hanna. Mas janji akan meng-khitbah Hanna setelah lulus kuliah. Itu sudah menjadi bukti keseriusan Mas sama kamu.”

“Mas sudah janji ....”

“Janji?” Hanna bertanya miris dalam hatinya.

Pikirannya memutar ulang tepat di mana Okta mengucap janji pada Hanna pada malam itu.

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang