6. Keputusan Paling Tepat

632 105 1
                                    

Terlalu peka itu nyatanya melelahkan.

🍁🍁🍁

Sebagai rasa syukur atas kelulusan Hanna, Ratih mengadakan acara makan-makan spesial di rumah mereka. Padahal, Hanna sudah mengatakan tidak perlu mengadakan acara seperti ini, namun yang namanya ibu pasti akan tetap melakukan apa yang menurut kehendak hatinya.

Hanna sampai menghela napas karena melihat banyak sekali makanan yang sudah tersaji di meja makan. Oh, ayolah, siapa yang akan menghabiskan semua ini? Keluarganya pun tidak sanggup untuk menghabiskan semuanya. Dasar ibu.

“Bu, kenapa masak banyak banget gini? Siapa coba yang mau makan?”

Ibu datang dari dapur dengan membawa mangkuk berisi soto, makanan kesukaan Hanna. “Nanti Ibu mau bagi-bagi sama tetangga juga, Han, biar sama-sama merasakan nikmat,” kata Ratih.

“Iya, deh. Kalau gitu Hanna bantuin ya, Bu.”

“Kamu panggil Ayah sama Mbak kamu aja sana! Yang di dapur tinggal sedikit kok, biar Ibu aja yang angkatin.” Hanna mengangguk paham, lantas bergegas memanggil keluarganya yang lain di depan.

Beberapa saat kemudian, Hanna datang bersama Luhur, Kiya, dan juga Okta. Mereka menempati kursi-kursi yang sudah biasa mereka tempati. Perbedaannya hanya posisi Hanna, kursi yang biasa ditempatinya di samping Kiya kini sudah berganti menjadi milik Okta.

Semua makan dengan khikmad, sesekali ditimpali oleh candaan dari Luhur, lalu teguran dari Ratih karena suaminya yang terus berbicara saat makan. Hanna tersenyum melihat Luhur dan Ratih. Cukup bagi Hanna menjadi penonton keromantisan kedua orang tuanya saja.

“Oh, iya, Han, rencana kamu selanjutnya apa?” Pertanyaan Luhur sontak membuat Hanna menegang.

“Iya, Han, kamu mau lanjutin pascasarjana, atau mau kerja?” Ratih turut menimpali.

“Atau mau nikah, Han?” goda Kiya, yang sontak membuat Okta tersedak makanannya. Dengan sigap, Kiya mengulurkan segelas air mineral kepada suaminya itu.

“Pelan-pelan, Mas, kalau makan.” Okta mengangguk sembari mengucapkan terima kasih.

Luhur kembali fokus pada anak bungsunya. “Gimana, Nak?”

Hanna masih diam. Ia tahu, cepat atau lambat ayahnya akan menanyakan hal ini. Dan mungkin, inilah saat yang tepat untuk mengutarakan niat yang sejak beberapa bulan ini dipendamnya dalam hati.

“Hanna ingin mondok, Yah.”

Sontak saja, Ratih dan Kiya memekik terkejut. Keduanya—ah, tidak—bahkan Luhur dan juga Okta pun tak jauh berbeda dengan ibu dan kakaknya.

“Serius kamu, Dik, mau mondok?”

“Iya, Mbak. Hanna udah mikirin ini lama kok.” Hanna beralih menatap Luhur, “boleh ya, Yah?”

“Kita bicarakan ini di ruang tengah, setelah makan malam.”

Luhur akhirnya memilih untuk menunda pembahasan serius ini setelah makan malam usai. Bagaimana pun, kondisinya saat ini adalah masih di tengah-tengah acara makan malam, rasanya tidak etis jika harus membahas hal-hal serius di saat seperti ini. Luhur bukannya melarang. Hanya saja ada perasaan berat saat putrinya mengatakan ingin menimba ilmu di pesantren.

“Ayah sudah selesai. Kalian habiskan dulu makan malamnya, kalau sudah nanti langsung ke ruang tengah. Ayah tunggu di sana.” Lelaki setengah baya itu melenggang pergi dengan perasaan tak menentu.

Suasana meja makan menjadi tegang setelahnya. Ratih mencoba mencairkan suasana dengan menyuruh anak dan menantunya untuk menyantap makanan kembali.

Semua menyelesaikan makannya dengan cepat, kemudian dibereskan kembali oleh para perempuan di sana. Sebelum beranjak ke depan, Ratih hendak menyiapkan teh untuk menemani pembicaraan malam ini, namun Hanna mencegahnya, lalu meminta kepada sang ibu agar dirinya saja yang membuat teh tersebut. Ia juga meminta agar Kiya dan Ratih menyusul Luhur ke depan terlebih dahulu.

Tak lama setelah itu, Hanna datang membawa nampan dengan cangkir-cangkir yang berisi teh madu hangat buatannya, menyuguhkan cangkir teh tersebut kepada keluarganya. Setelah itu, ia duduk di sebelah kanan Kiya. Sungguh, jantung Hanna berdebar dengan sangat cepat. Ia bahkan menunduk, tak berani memandang wajah-wajah keluarganya.

Beberapa waktu berlalu dengan sebuah keheningan, akhirnya Luhur mengawali dengan sebuah dehaman, kemudian dilanjut dengan pertanyaan untuk Hanna.

“Ayah tanya, kamu yakin mau mondok?”

Hanna sudah menduga, pasti pertanyaan ini yang akan keluar dari mulut sang ayah. Hanna  mengangguk tanpa berani mengangkat pandangannya. “Iya, Yah.”

“Kenapa tiba-tiba mau mondok, sih, Han? Kamu nggak minat melanjutkan pascasarjana? Atau mungkin mencari kerja saja? Biasanya seusia kamu lagi semangat-semangatnya mencari pekerjaan.”

“Bu, insyaallah, Hanna mau mondok saja. Hanna ingin lebih mendalami ilmu agama—”

“Kalau kamu mau belajar agama lebih dalam kan bisa lewat pengajian bulanan di masjid, atau yang lain, Han, nggak usah mondok segala,” potong Ranti sebelum Hanna berhasil menyelesaikan kalimatnya dengan utuh.

Luhur memegang tangan istrinya, kemudian menggeleng ke arah Ratih. “Ibu, jangan seperti itu. Biarkan Hanna menyelesaikan ucapannya dulu.”

“Iya-iya, maaf!”

Luhur kembali menatap Hanna. “Kamu yakin itu alasan kamu untuk mondok?”

Hanna menelan ludahnya susah payah. Alasan lain ia tidak mau mengangkat kepalanya selain takut adalah ia was-was jika apa yang dikatakan oleh sang nenek dulu benar. Neneknya pernah berkata jika Luhur memiliki keistimewaan dibandingkan orang lain. Luhur bisa membaca apa yang ada di benak seseorang hanya lewat tatapan mata saja. Hanna sendiri masih belum percaya karena Luhur tidak pernah mengatakan hal itu secara langsung, mau bertanya pun ia sungkan. Jadilah ia memendam rasa penasaran itu dalam hatinya.

“Iya, Ayah. Hanna juga ingin mencari suasana baru saat belajar. Boleh ya, Yah?” pinta Hanna kepada luhur.

“Tapi kan, Han—”

“Ibu, sudah. Semua yang menjalani itu Hanna, jadi, kita serahkan saja pada Hanna. Kalau maunya memang seperti itu, ya kita sebagai orang tua, hanya tinggal mendukung dan mendoakannya saja," tutur Luhur memberi penjelasan ke istrinya dengan sabar, membuat Ratih mendengus tidak ikhlas.

“Yah, Bu, Hanna minta maaf kalau Hanna malah bikin kalian sedih. Kalau ayah sama ibu nggak setuju Hanna mondok, Hanna nggak masalah, kok. Hanna bisa—" lagi-lagi ucapan Hanna terpotong.

"Sudah, Nak, pilih yang menurutmu benar. Ayah sama ibu pasti dukung sepenuhnya." Ranti mengangguk samar. Jujur saja, hatinya tidak sepenuhnya lapang menerima keputusan yang diambil Hanna.

Hanna memeluk kedua orang tuanya. Sungguh, ia ingin menangis sekarang. “Doakan Hanna, Yah, Bu,” ucap Hanna di pelukan kedua orang tuanya. Doakan semoga ini memang keputusan yang tepat, lanjutnya dalam hati.

“Pasti, Sayang.”

Semestinya, Hanna sendiri pun belum yakin dengan keputusan yang diambilnya. Hatinya masih berat meninggalkan kedua orang tuanya, meninggalkan rumah yang sudah ditempatinya sedari ia masih bayi, hingga tumbuh menjadi gadis dewasa seperti sekarang ini. Namun sekali lagi, ia harus memulai untuk meninggalkan kehidupan lamanya. Ini adalah keputusan yang paling tepat. Setidaknya untuk saat ini.

Tanpa sengaja, netra Hanna bersirobok dengan Okta. Jelas di mata Hanna, Okta meminta penjelasan kepadanya. Tetapi, Hanna mencoba tidak acuh untuk kali ini. Ia pura-pura tidak mengerti demi kebaikan hatinya. Karena terlalu peka itu nyatanya melelahkan.

To be continue🍂

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Maaf ya malam-malam updatenya. Aku kelupaan kalau hari ini belum update wkwk. Maaf yaa🙏🙏

Semangat puasanya besok :)

Terima kasih sudah membaca^^
Jangan ketinggalan vote dan komennya

📝Kudus, 16 April 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang