10. Namanya Wahyu

522 89 0
                                    

Karena tidak memiliki kesibukan menimba ilmu di sekolah hampir setiap hari, Hanna sering sekali membantu ibu-ibu petugas masak di dapur umum. Empat wanita setengah baya yang ditaksir Hanna seumuran dengan ibunya—atau mungkin lebih tua sedikit—bahu membahu setiap harinya, untuk menjamin urusan perut dan gizi anak-anak santri agar dapat terpenuhi dengan baik.

Para wanita tangguh itu seolah tak memiliki rasa lelah. Mereka menanak nasi hampir setengah kuintal, setiap harinya. Belum lagi sayur dan lauk pauk sederhana seperti tahu dan tempe yang masing-masing diiris segitiga.

“Bu Yanti nggak capek masak segini banyaknya setiap hari?” sambil mengorek sambal goreng kentang di kuali yang besar itu. Bu Yanti tersenyum, “Kalau dirasa capek, ya capek, Nduk. Tapi berkah dan pahalanya anak-anak yang hafal Alquran InsyaAllah Ibu juga kecipratan.”

Hanna menyimak ucapan Bu Yanti, dengan tangan yang sibuk mengiris bawang putih agar bisa digoreng setelahnya.

“Kalau seandainya, Bu Yanti dan ibu-ibu lainnya dapat pekerjaan lebih baik di luar pesantren, apa ibu akan tetap di pesantren atau mengambil pekerjaan itu?”

“Ibu tetap memasak di pesantren saja, tidak dibayar pun tidak apa-apa. Ibu sudah berhutang budi banyak dengan keluarga pesantren, Nak,” jawab wanita yang duduk di hadapan Hanna saat ini. Namanya Karsih, namun orang-orang lebih sering memanggilnya Bu Asih. Simpel saja alasannya, hanya karena ada huruf r di tengah-tengah, membuat pengucapan menjadi sedikit susah. Yang memulai panggilan Asih, sebenarnya adalah putri pak kiai dan bu nyai sendiri, lalu yang lainnya mulai terbiasa mengikuti. Bu Asih tidak mempermasalahkan perkara panggilan tersebut.

Kening Hanna bergelombang. “Hutang budi gimana maksud ibu?”

“Dulu, anak Ibu kecelakaan, dan harus dilakukan tindakan operasi, karena benturan keras di kepala anak Ibu menyebabkan ada darah yang beku di kepala anak Ibu. Waktu itu, Ibu bingung sekali, bagaimana mau membiayai operasi, jika untuk makan saja kami sekeluarga harus sangat menghemat. Lalu, Bu Nyai datang, duduk di samping Ibu yang saat itu sedang menangis di musala rumah sakit.” Bu Asih menghela napas. Matanya mulai mengabur karena selaput air yang menggenang di pelupuk. Ia melanjutkan ucapannya, “Beliau membiayai operasi anak ibu, sampai pemulihannya juga. Ibu ndak tahu kalau hari itu tidak ada Bu Nyai, pasti anak ibu ... anak ibu sudah pergi dari dunia.”

Semua yang ada di dapur ikut hanyut dalam cerita pilu Bu Asih. Aktivitas memasak terhenti sementara. Tangan Hanna reflek mengusap pundak Bu Asih. “Maaf ya, Bu, Hanna malah buat Bu Asih sedih,” ujar Hanna merasa tidak enak pada Bu Asih.

Ndak apa-apa, Na.” Bu Asih tersenyum ke arah Hanna. Setelah mengusap air mata yang tersisa di wajahnya dengan kerudung, Bu Asih kembali bercakap, “maka dari itu, Ibu akan terus ngabdi di pesantren saja. Ini bukan soal balas budi saja sebenarnya, Nduk, tapi berkahnya keluarga ndalem yang paling penting. Ibu sangat beruntung bisa kenal Bu Nyai sejak saat itu. Ibu jadi lebih dekat dengan agama, jadi rajin ibadahnya, Ibu sama anak Ibu ndak kesepian karena cuma di rumah berdua saja. Anak Ibu juga ngabdi sama keluarga ndalem. Dia jadi khodamnya Gus Izar sekarang.”

Terlepas dari segala tuntutan rasa balas budi yang dimaksud, Hanna terenyuh mendengar kesetiaan dari Bu Asih dan sang anak untuk mengabdikan diri mereka di pesantren.

***

Hanna baru saja selesai menjemur pakaian yang telah dicucinya, di lantai paling atas gedung asrama putri, di sana lah tempat santri putri mengeringkan pakaian mereka.

Baru akan memijakkan kakinya di anak tangga, Hanna melihat dua manusia berbeda gender sedang bercakap-cakap di lorong kelas diniyah. Dari tempatnya berdiri saat ini, Hanna memang bisa melihat langsung ke arah tempat mengaji dan sekolah saat sore hari untuk anak-anak santri di sini. Ia mengenali salah satu dari dua orang itu. Ingin sekali Hanna mencoba untuk tidak peduli, namun kenyataannya tak bisa. Ia penasaran dengan laki-laki yang tengah berbincang dengan Nimas.

Ia mendekatkan diri ke pembatas lantai dua, untuk melihat lebih jelas siapa laki-laki yang dirasa kenal oleh Hanna. Ia berdiri di balik dinding penyangga supaya tidak ketahuan, sambil menenteng ember kosong bekas tempat cuciannya tadi.

Namun sayangnya, laki-laki itu malah masuk ke dalam ruang kelas diniyah. Pupus sudah harapan Hanna untuk melihat sosok misterius tadi. Hanna menghela napas.

“Nimas!” panggil Hanna dari lantai dua. Nimas yang merasa terpanggil, menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk melihat siapa yang memanggilnya.

“Nimas! Di atas sini,” ulang Hanna lagi karena merasa kalau Nimas belum mengetahui dirinya yang ada di lantai dua. Langsung saja Nimas mendongak, dan retinanya menangkap Hanna yang sedang tersenyum dan melambaikan tangan kanannya.

“Tunggu di situ, aku turun dulu! Ingat! Jangan ke mana-mana!”

Hanna langsung bergegas turun dari lantai dua dengan ayunan kaki yang cukup cepat. Beruntung ia tidak tersandung oleh bawahan rok yang dikenalan olehnya.

Hanna sampai di dekat Nimas. Berdiri dengan menumpukan tangan pada lututnya, dan dengan napas sedikit memburu karena berlari menuruni tangga dari lantai dua tadi. Ia meminta izin pada Nimas untuk menetralkan terlebih dahulu kerja organ pernapasannya. Nimas tersenyum, lalu membawa Hanna untuk duduk di salah satu bangku panjang yang ada di sekitar tempat mereka.

“Sudah” tanya Nimas yang diangguki oleh Hanna.

“Ada apa sampai kamu lari-lari dari lantai dua?”

“Hehe, nggak ada apa-apa, kok. Aku sengaja manggil kamu. Tadi habis jemur di atas, nggak sengaja lihat kamu lagi cakap-cakap sama laki-laki. Itu ... pacar kamu?”

Nimas tertawa mendengar pertanyaan Hanna. “Bisa dicoret dari KK kalau Abuya tahu aku pacaran. Enggak kok. Dia kan Mas Wahyu. Ingat?”

“Mas Wahyu? Wahyu yang mana?”

“Kamu lupa? Laki-laki kemarin, yang datang ke belakang asrama buat manggil aku.” Akhirnya Hanna ingat. Ia lantas mengangguk dengan mukut yang membulat.

Keduanya kembali canggung. Hanna mengayun-ayunkan kakinya karena merasa tidak nyaman berada di atmosfer lingkungan baru. Ia juga masih sedikit canggung dengan Nimas, karena baru kemarin dia mengenalnya.

Hmm ... Hanna, maaf, aku boleh tanya?" tanya Nimas ragu.

Hanna mengangguk mempersilakan.

“Kamu kan sudah lulus kuliah, kenapa tidak memilih bekerja saja?”

Hanna terhenyak. Ia tidak menduga akan ditanyai seperti itu.

Keterdiaman Hanna yang cukup lama,membuat Nimas menyadari bahwa ia terlalu mencampuri urusan orang. “Ah, tidak usah dijawab, Han. Maaf aku sudah bertanya yang tidak-tidak.”

“Tidak apa-apa, Nimas. Aku juga bingung, kenapa milih mondok daripada bekerja atau lanjut kuliah lagi,” jawab Hanna diakhiri dengan kekehan. Nimas tersenyum lega, namun juga terheran karena jawaban dari Hanna.

“Aku juga sebenarnya kurang tahu alasanku memilih mondok,” yang jelas ada di pikiranku adalah menjauh dari yang namanya Mas Okta, lanjutnya dalam hati.

“Ada problem di rumah?” tanya Nimas lagi. Sejurus kemudian, Nimas menepuk dahinya. “Eh, maaf, Hanna, maaf. Mulutku ini susah dikendalikan kalau kepo,” lanjut Nimas dengan perasaan tidak enak pada Hanna karena banyak bertanya tentang masalah pribadi orang lain.

Just little problem. Maybe.

Nimas bungkam setelahnya. Ia sepertinya sudah salah bertanya kepada Hanna. Dalah hati, ia merutuki dirinya sendiri karena memiliki tingkat kepo yang akut. Tidak masalah jika kepo digunakan sesuai masanya, tetapi masalahnya, sekarang bukan merupakan salah satu masa yang tepat itu.

“Nggak apa-apa, Nimas, santai saja,” kata Hanna seolah mengerti perasaan Nimas.

Hanna ingin mencoba mengalihkan pada pembicaraan lain, akan tetapi dirinya juga bingung harus memulai dengan topik apa. Ini benar-benar merepotkan!

Saat mengalihkan pandangan ke arah lain, tak sengaja mata Hanna menangkap Wahyu sedang memperhatikan dia dan Nimas. Tidak berjalan lama, lelaki itu akhirnya kembali masuk ke dalam kelas sore yang diajarnya.



To be continue🍂

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh.

Selamat istirahat😅
Jangan lupa sahur nanti yaww
Jangan lupa juga vote dan komennya💙

📝 Kudus, 20 April 2021

Cinta untuk Hanna ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang