1

27.3K 1.8K 233
                                    

Aku menarik nafas dalam-dalam, mengisi rongga paru-paru dengan penuh suka cita. Baru saja aku keluar dari pintu keluar bandara setelah menghabiskan waktu di udara kurang lebih 14 jam. Aku menengok ke bawah, dimana anak kecil bersamaku itu menggenggam erat jemariku. Aku mengusap kepalanya lembut, anakku ini bahkan tak terlihat lelah sedikitpun.

Berbeda,denganku yang mungkin sudah kusut dan kurang tidur. 

Anyway, aku cukup lega bisa menginjakkan kaki di tanah kelahiranku ini setelah delapan tahun memilih untuk sejenak menikmati dunia luar, atau lebih simpelnya melarikan diri sambil menata hati. Melarikan diri yang benar-benar berfaedah, karena setelah keterpurukanku yang sampai menyentuh dasar kawarasan akhirnya aku punya alasan untuk pergi. Aku melarikan diri sejauh mungkin sambil sekolah, lanjut menempuh S3 dengan beasiswa penuh! And here i am dengan gelar dan pengalaman yang mubgkin cukup untum membuatku bertahan tanpa terlantung-lantung karena tak yahu arah dan tujuan. Modal yang mungkin cukup untuk hidup kami berdua. Aku dan juga anak kecil yang sudah menjadi pelipur lara selama tiga tahun ini.

Aku tersadar ketika Shareen--nama anakku--menarik jemariku yang ia genggam sambil menunjuk ke arah seorang perempuan yang mengangkat sebuah papan bertuliskan "Melva Laksamana."

"MasyaAllah, anak bunda semakin pintar." Pujiku karena tahu nama ibunya.

Aku berjalan tertatih-tatih karena harus menyeimbangkan langkah dengan Shareen, belum lagi troly di tangan sebelah kiri. Sementara itu aku ingin memeluk perempuan tersebut.

Tanpa melepas pegangan tangan Shareen yang semakin erat, mungkin karena ia gugup dan ini kali pertama Shareen bertemu dengan Mbak Tyas. Aku memeluk perempuan tersebut penuh haru. Di samping Mbak Tyas berdiri Kang Adi, suami Mbak Tyas, perjuang laki-laki tersebut tidak sia-sia untuk meluluh lantahkan pertahan hati perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya tersebut.

Mbak Tyas beralih pada Shareen yang pelan-pelan meringkuk di belakang tubuhku. Kebiasaannya jika bertemu orang baru, nanti lama-lama dia akan aktif seperti biasa apalagi kalau sudah pada level akrab.

"Salim dulu, sayang." Ujarku padanya. Namun Shareen menggeleng. Ia mengulurkan tangan berharap aku gendong. Manjanya keluar lagi. Gumamku dalam hati. Meski lelah, tetap saja aku meraihnya. Nampaknya semangat tadi sudah hilang dan yang tersisa adalah lelahnya.

Aku sempat berdecak kagum melihat mobil yang dibawa oleh Kang Adi untuk menjemput kami. Bukan dengan mobil butut yang sering macet dulu. "Kang Adi kalau butuh tempat menyumbangkan si butut aku open house, lho." Aku berujar setelah duduk nyaman di kursi penumpang belang pasangan tersebut.

"Heleh, mau si butut, kamu lagi menghina kami, dek?" Sahut Kang Adi.

"Jangan gitu, Mel. Si butut mah istri pertamanya Kang Adi." Cibir Mbak Tyas. "Pernah waktu itu mbak bawa diam-diam tuh si butut pas si akang ke luar kota. Terus mobil itu macet di jalan, sore dan sepi pula. Lah masa yang dikhawatirin itu si butut. Istrinya sampai dibentak." Adu Mbak Tyas dengan bibir mencebik mendramatisir keadaan.

Aku langsung tergelak, memang secinta itu Kang Adi dengan si butut. Aku tidak memungkiri itu. Tapi soal membentak, mungkin saja mbak Tyas salah paham.

"Bukan begitu, Yang...."

Aku langsung berdeham dengan panggilan Kang Adi kepada istrinya. Si kalem ini, memang romantis sekali lagi aku akui itu.

Mbak Tyas terkikik, "panggilannya biasa dulu, ya, Kang. Kasian di sini ada yang lagi ngenes." Langsung di sambut tawa oleh laki-laki tersebut. Sedangkan aku menepuk-nepuk pelan punggung Shareen yang sudah terlelap terlampau nyaman di pangkuanku.

Tadi aku hendak meletakkannya di sampingku, pikirku agar dia bisa tidur dengan nyaman. Namun ketika aku baru akan menempatkan tubuhnya di kursi, Shareen justru semakin mengeratkan pelukannya. Alhasil sekarang dia berada dalam gendongan ya g mungkin saja nyaman baginya.

Hello (Bye), Future!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang