Pagi ini Kevin menggandeng tanganku menuju ruang BK menurut surat yang kuterima subuh tadi. Berbagai macam pasang mata menatap ke arah kami disertai bisik-bisik tetangga yang enggan untukku ketahui. Kevin pun demikian, anak ini berjalan begitu cuek, tampak tak peduli dengan sekitar.
"Siapa perempuan cantik yang sekarang Lo gandeng?" Sebuah suara berasal dari belakang kami. Seketika aku menghentikan langkahku diikuti Kevin. Aku berbalik untuk melihat si pemilik suara tersebut.
Aku menatap satu anak remaja laki-laki berdiri dengan gaya jenakanya. Namun baju yang seharusnya dimasukkan dengan rapi justru dikeluarkan, kancing baju yang seharusnya saling terkait justru dibiarkan terbuka. Khas anak remaja SMA yang sering berulah, yang menganut peraturan ada untuk dilanggar.
"Bunda Gue." Kata Kevin singkat. Dapat kulihat anak tersebut terbelalak seakan apa yang didengarnya tidak dapat dipercaya.
"Serius? Tapi-"
"Serius tanpa tapi." Potong Kevin secepat kilat.
Anak tersebut seolah menangkap sinyal lain dari Kevin hingga ia menggaruk tengkuknya, kemudian "Ha-halo, Tante, Gu-aku....eh saya Jafar, tante boleh panggil Jack." Katanya mengulurkan tangan hendak menyalimiku. Namun Kevin langsung menepis tangan Jafar dengan kasar.
"Jauh-jauh Lo." Kata Kevin. Dan kuhadiahi dengan sebuah cubitan kecil di perut, cukup membuatnya meringis.
"Halo, Nak Jafar. Saya bundanya Kevin." Kataku memperkenalkan diri.
"Saya boleh jujur, Tante. Rasanya tante lebih cocok jadi kakak si Bang Ke in-"
"Bang Kevin." Ralatku.
"Oh iya, maksud Bang Kevin daripada jadi bundanya."
"Nggak usah diladenin, Bun, nanti ikut stress kayak dia." Pungkas Kevin. "Dan lo nggak ada rapi-rapinya , ya. Apa-apaan itu baju kayak nggak ada harga."
Anak laki-laki bernama Jafar tersebut mencibir, "sok-sok'an perhatikan kerapian. Padahal sendirinya yang ngajarin kita-kita kayak gini. Katanya ya, Bunda-"
"Jangan panggil Bunda. Ganti."
Jafar berdecak, namun tak urung mengganti panggilannya, "katanya, ya, tan, jangan masukin baju lebih baik kelihatan keren daripada kelihatan pintar kayak kutu buku."
Aku lantas terkekeh, "tidak apa-apa yanv penting ilmunya dapat. Kerennya dapat, ilmunya dapat."
Alhasil sekarang kami jalan bertiga menuju ruang BK. Aku menjelaskan perihal kedatanganku dengan Kevin ke sekolah pagi ini pada Jafar dan sedikit mengorek informasi pada anak tersebut tentang Kevin kalau sedang berada di lingkungan sekolah. Walaupun Kevin sempat tak terima dengan laporan karibnya tersebut, namun Jafar tetap saja merasa menang. Salah satu hal yang menambah syukurku kini adalah anakku berteman dengan orang tepat. Setidaknya bukan dengan orang-orang yang toxit dan hanya menumpang tenar semata.
Sesampainya di ruang BK, kami segera di sambut oleh seorang perempuan kutebak umurnya masih berada di akhir 30an. Ia menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala yang kubalas dengan cara yang sama alih-alih menyambut kami dengan sapaan atau salam.
Ada juga seorang laki-laki dan perempuan lain yang duduk di sofa. Tidak repot-repot untuk bangun dari duduk mereka, justru mereka menatap dengan sinis. Sementara si anak menatap bengis pada Kevin.
"Halo, saya ibu dari Kevin." Kataku berinisiatif lebih dulu.
Ia sedikit gugup menyambut uluran tanganku dengan memperkenalkan diri sebagai Guru BK untuk kelas Kevin. Kami duduk dengan tenang, begitu pula dengan Kevin. Anakku ini bisa berubah datar, jenis ekspresi yang tidak pernah hilang sejak ia kecil.
Perempuan yang memperkenalkan diri dengan nama Reny tersebut mulai menjelaskan maksud dan tujuannya. Yang aku tangkap dari penjelasan yang diberikan adalah Kevin bersalah dan keluarga si anak yang tidak kuketahui namanya itu menunut permintaan maaf dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan anakku.
"Maaf sebelumnya, Bu Reny, kami tidak keberatan untuk minta maaf kepada ...."
"Namanya Bagas." Kata Bu Reni.
"Maaf, ingatan saya buruk tentang nama orang yang perilakunya buruk." Aku melihat ibu dari Bagas melotot tajam kepadaku. "Gini, Bu Reny, kami tidak keberatan minta maaf. Tapi kalau itu terkait dengan pertanggungjawaban dan dipersalahkan tentu kami tidak tidak terima sepenuhnya. Nak Bagas sendiri yang lebih dulu berulah melecehkan anak gadis dengan menarik jilbabnya hingga terlepas."
"Pelecehan apa maksud Anda?!" Ibu dari Bagas berdiri sambil menunjuk ke arahku, mengeluarkan emosi yang sejak tadi terpendam.
"Menarik jilbab hingga terlepas, memperlihatkan aurat seorang anak perempuan itu pelecehan besar, bapak." Kataku tegas. "Sebelum bapak menyalahkan anak saya, silahkan periksa anak bapak terlebih dahulu. Apa itu pantas dilakukan oleh seorang anak kepada lawan jenisnya? Perlu bapak dan ibu tahu, jilbab bukan hanya sebagai penutup aurat tapi itu adalah harga diri seorang perempuan."
"Vin, sekarang minta maaf." Pintaku pada Kevin.
"Ta...."
"Minta maaf harganya tinggi, Vin. Orang baik pasti akan lekat dengan kata maaf. Sekarang minta maaf." Aku tak memberikan ruang untuk Kevin protes.
Dengan enggan Kevin berdiri, "saya minta maaf ata apa yang saya lakukan pada anak bapak. Tapi saya sama sekali tidak menyesal." Ungkapnya.
"Untuk masalah tanggung jawab, saya akan mengganti biaya rumah sakit anak bapak." Sambungku.
Belum sempat keluarga itu menjawab, seseorang dari luar sana mengetuk pintu ruang yang kami tempati. Diikuti seorang gadis berjilbab masuk. Aku sempat terdiam menatap paras cantiknya yang begitu menenangkan.
***
"Bang," panggilku pada Kevin yang tengah asyik dengan ponsel di tangannya. Setelah masalah selesai dengan cara baik-baik, keputusan akhir adalah bahwa Kevin tidak sepenuhnya bersalah dan remaja bernama Bagas itu sudah meminta maaf kepada gadis cantik bernama Shanum. Korban bulian Bagas yang tidak berhasil dibuli.
Kevin berdeham sebagai jawaban.
"Ih abang gak sopan jawab bunda kayak gitu." Protesku.
"Iya, bunda, iya."
"Bunda suka deh sama Shanum." Gumamku.
"Shanum siapa?" Tanyanya sudah mengalihkan pandangannya kembal pada benda pipih di tangannya.
"Kamu nggak tahu Shanum? Serius?" Aku mendelik.
"Gadis tadi di sekolah, yang kamu bela itu! Kamu nggak tahu namanya?!" Ketusku bercampur heran.
"Oh itu," lalu ia hanya mengedikkan bahu.
Aku memukul bahunya gemas. "Pokoknya gadis itu calon mantu bunda."
"Abang masih sekolah, bunda, masih kelas dua SMA ini."
"Ya nggak apa-apa. Kalau abang sudah siap, abang sudah boleh nikah kok. Daripada banyakan maksiat." Sanggahku dengan cepat. "Abang seriusan nggak tahu Shanum?"
"Tahu, sering liat di perpus. Sering liat dia bersihkan mushola. Hafalannya juga jago, juara TPQ. Tapi Abang baru tahu namanya. Baru tadi di sekolah....aww! Sakit, Bunda!" Pekiknya sambil memegang pinggangnya yang aku cubit.
"Shareen belum bangun, Bun?" Tanyanya.
Aku menggeleng. Shareen sudah tidur sejak sore tadi dan belum bangun hingga malam. "Abang nggak pulang?"
"Ada orang itu di rumah.
"Abang...."
***
TbcGantung nggak tuh?
Mau double up tapi yo capek ngetik ...
Lope yu....🤗🤗💕💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello (Bye), Future!
General FictionSiapa bilang rencana manusia harus terealisasi seperti apa yang diinginkan. Nyatanya rencana Tuhan lebih indah, membawa bahagia dan penuh makna, meskipun itu....terasa menyesakkan di awal. Namun semuanya tak ada yang sia-sia, cukup jalani sesuai yan...