18

10K 1.8K 607
                                    

Satu hal yang kusesali dari keputusan Kevin adalah menyetujuinya untuk kembali bergabung satu meja dengannya dan juga orang itu. Sebenarnya bukan salah Kevin sepenuhnya namun juga Shareen yang terus bolak-balik dari meja di dalam ruangan yang kami tempati ke meja Kevin. Padahal aku sengaja menjauh sekedar memberi ruang pada Kevin dan dia untuk lebih leluasa dalam bicara dari hati ke hati. Namun Shareen dan drama yang dilakoninya membuatku tak habis pikir. Katanya Bang Vin kangen sama adek atau menjawabku dengan kalimat adek mau memastikan Bang Vin makan, Bunda. Katanya ketika aku mencegatnya untuk berhenti keluar masuk.

Dan sekarang kami sudah berada di satu meja yang sama dengan Kevin untuk menikmati sisa makan malam ini yang belum habis berkat kerepotan Shareen yang tak mau diam. "Bunda, adek mau disuapin sama Bang Ke....vin." Katanya dengan cepat melengkapi panggilan Kevin.

"Abang, kan, lagi makan, sayang." Kataku pelan memberi pengertian. "Sekarang bunda sudah selesai makan. Biar bunda saya yang suapi adek."

"Sama Bang Vin aja, Bunda. Kasian Bang Vin makannya tidak ada gangguan." Ia menjawabku sambil melihat Kevin dengan cengirannya.

"Shareen," Desisku.

"Nggak apa-apa, Bunda. Abang aja yang suapi." Kata Kevin menengahi. Aku hanya pasrah, makanan di piringku tidak benar-benar habis. Aku tidak lagi berselera untuk sekedar menikmatinya apalagi melihat siapa yang tengah duduk di depan kami menikmati makanannya dengan tenang.

Diam-diam aku meringis kesakitan , menahan sesak yang tiba-tiba menyergap meremas pelan hatiku. Bagaimana bisa dia bersikap biasa saja? Sejauh mana tingkat egois yang sebenarnya dia miliki? Meski aku meyakinkan diri untuk bersikap biasa saja dan menganggapnya tidak terlihat, tapi tetap saja itu tidak serta merta akan membuatnya sesuai keinginan. Ia tetap nyata, duduk tenang di depan kami dengan membawa kembali bayang masa lalu yang teramat sangat melukai hati.

"Kamu apa kabar, Mel?" Ia membuka suara setelah beberapa menit diam melingkupi kami.

"Pak Abrar sekarang lihat saya berada di sini sekarang itu artinya saya sehat." Sarkasku. Aku tahu dia menatapku, tapi aku memilih untuk acuh dan memainkan ponsel.

"Shareen anak kamu?" Tanyanya lagi, pelan dan tersimpan ragu.

Aku menatapnya sekilas, "benar sekali."

"Boleh saya tahu kemana saja kamu selama ini?" Tanyanya lagi.

Aku mengerutkan kening, merasa tak percaya dengan pertanyaannya. "Kemana saya selama ini, saya rasa tidak ada korelasinya dengan hidup Anda." Aku bahkan tak peduli jika jawabanku jauh dari kata sopan.

"Melva, saya benar-benar minta maaf dan saya menyesal."

"Bagian mana yang bapak sesali?" Tanyaku dengan senyuman yang terpatri.

Dia menatapku dengan cara yang tak bisa aku terjemahkan, "saya...."

"Aku tidak pernah mendo'akan bapak menyesal dan penyesalan itu tidak ada hubungannya denganku. Bapak nikmati saja penyesalan itu, seperti aku yang juga menikmati pesakitan di masa-masa itu," ungkapku tanpa basa-basi, dan bahkan sekarang. sambungku dalam hati.

"Mel...."

"Mas Abrar," sapa seseorang yang tiba-tiba muncul. Aku melihatnya menatap orang yang dipanggil namanya itu dengan mata yang berkaca-kaca. Laki-laki itu bangkit kemudian merengkuh pundak si perempuan. "Mas sedang apa di sini? Bersama dia? Bagaimana kalian bisa...."

Aku masih duduk diam sebagai penonton kedua pasangan romantis ini. Lalu aku alihkan pandangan pada Shareen dan Kevin. Dan kudapati Kevin juga menatapku. Sedikit kusunggingkan senyum untuk menegaskan bahwa aku baik-baik saja. Aku tahu Kevin merasa tak enak hati padaku. Kenapa harus Kevin yang justru merasa malu?

Hello (Bye), Future!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang