7

10.6K 1.6K 207
                                    

"Maaf, aku datang terlambat." Kataku pada sesorang gadis yang sudah menunggu di luar ruang auditorium kampus. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sudah menunjukkan angka 9.15. Aku telat 15 menit setelah acara seminar dimulai. Seumur-umur aku bekerja, baru kali ini aku telat. Tidak ada yang bisa disalahkan kecuali aku sendiri yang kembali tertidur sehabis subuh tadi.

"Tidak apa-apa, bu, mari silahkan masuk. Ibu nanti ada di sesi kedua setelah keynote speaker pertama." Gadis yang merupakan panitia acara tersebut langsung menuntunku untuk masuk. Wajah gadis itu terlihat lega dan kekhawatiran yang ada dalam chat WA beberapa menit lalu mungkin sudah menguap entah kemana. "Untuk sesi ibu sengaja kami rahasiakan, bu, ibu akan masuk panggung setelah mendapat arahan dari kami." Sambungknya setelah kami sampai pada ruangan kecil yang disulap menjadi ruang tunggu bagi para tamu. 

Aku mengangguk mengerti, lalu mengeluarkan TOR yang dikirimnya dua hari lalu. Untung saja aku sempat membacanya sekilas walaupun beberapa bagian terpaksa aku skip. Tiga hari lalu aku mendapatkan undangan untuk menjadi salah satu pembicara dalam seminar uang diadakan salah satu organisasi kampus dengan tema bahayanya cyber crime yang dikolaborasi dengan seminar kewirausahaan yang juga tak lepas dari sistem informasi dalam kegiatan usaha mereka. Salah satu yang menjadi landasan mereka untuk mengambil tema tersebut adalah karena banyaknya pesanan bodong atau ghoib terjadi pada beberapa star-up yang merugikan baik dari sisi pelanggan maupun bisnis yang ada. 

Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan suara yang sedang berbicara di luar sana. Suara itu, ya suara itu, membuat isi memori yang sudah ku reset sejak beberapa tahun lalu kembali begitu saja. Suara yang mengingatkanku pada sosok itu, sosok yang pernah merangkum semua pikiran dan hati yang kumiliki. Yang membuat seluruh tubuh dan jiwaku saat itu kebas setengah mati. 

"Bu Melva, siap-siap. Dua menit lagi ibu akan memasuki panggung."

Suara gadis itu berhasil mengembalikan pikiranku ke tempat semula dan mengingatkan kembali bahwa apa-apa yang terasa pahit, tidak benar untuk dipungut kembali. Ketika sebuah suara lain dari luar sana menyebutkan namaku dengan inisial, aku segera keluar dari ruangan kecil tersebut. Gugup? Tentu saja. Ini seminar pertamaku sejak kembali ke negara ini. Padahal sebelumnya sudah sering mengisi acara bahkan di depan para pejabat. Akan tetapi gugup tak jua bisa kuhilangkan sepenuhnya. Namun masih mampu aku tutupi dengan sebaik-baiknya. 

Aku menampilkan senyum terbaikku saat aku berhasil dengan selamat di atas panggung dan segera membungkuk sedikit untuk memberi hormat kepada para peserta yang hampir memenuhi tribun di lantai pertama ruang besar ini. Baru saja aku akan melangkah bergabung dengan dua pembicara yang sudah hadir di sana, sejurus kemudian langkahku tertahan--terpaku di tempat--Ini salah!  Aku sama sekali tidak membaca sedikitpun tentang siapa saja yang menjadi pembicara pada seminar kali ini. Penyesalan selalu datang terlambat!

Aku menangkup kedua tangan di depan dada yang diikuti dengan laki-laki yang juga melakukan hal yang sama. Saat aku berbalik untuk menyapa pembicara lain yang duduk di belakangku, reaksi tubuhku jauh diluar dugaan. Kenapa? Kenapa aku tidak melihat atau membaca siapa saja yang menjadi pembicara hari ini? Aku sempat menggenggam sisi baju yang aku kenakan sebelum kemudian bersalaman tanpa bersentuhan. Jika saja saat ini aku punya pilihan untuk kabur, maka akan kulakukan bahkan tanpa berpikir panjang.

***

"Melva," suara laki-laki memanggil namaku. Langkah terburu-buru yang aku buat segera berhenti. Aku berbalik untuk si pemilik suara. Jarak kami tadi masih beberapa meter harusnya bisa kugunakan untuk kabur sebelum ia melangkah mendekat. "Pura-pura lupa atau benar-benar lupa?" Itu adalah pertanyaan bukan penyataan.

"Pak Agil," Aku menyebut namanya pelan. Aku tahu ia mungkin tidak suka dengan panggilan formal yang baru saja aku sematkan di depan namanya. Bang Agil banyak berubah, hanya gaya berpakaiannya yang masih sesantai biasa bahkan di tengah acara formal seperti ini, ia hanya memakai kaos lengan panjang berkerah. Terakhir aku tahu kabar tentang laki-laki yang kini berdiri di depanku adalah saat menerima email berisi undangan resepsi pernikahannya sekitar dua atau tiga tahun lalu atau bahkan empat tahun lalu. Aku tidak begitu mengingatnya. 

Bang Agil terkekeh renyah, "jangan formal, geli dengarnya." 

Aku menggaruk pelipis, haruskan aku menyapanya seperti panggilan beberapa tahun silam? 

"Apa kabar, Mel?" Tanyanya. 

"Baik....Bang. Abang apa kabar?" Tanyaku.

"Alhamdulillah baik. Kapan balik ke sini?" Tanyanya seolah tahu bahwa selama ini aku tidak berada di Indonesia.

"Baru sebulanan ini, bang." Jawabku. 

"Sudah lama nggak ketemu, ya, Mel? Selain bertambah dewasa, tidak banyak yang berubah." 

"Alhamdulillah, setidaknya sudah tidak pecicilan seperti dulu, kan, Bang?" Aku tersenyum, kami berjalan menuju pintu keluar auditorium. Acara seminar sudah selesai dan berjalan dengan tertib. Meski banyak hal yang menganggu pikiran, namun urusan kerja juga harus profesional. 

"Kamu baik-baik saja?" Tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

Memangnya aku kenapa? "Aku baik-baik saja." Jawabku akhirnya. Aku menelan ludah saat mataku tak sengaja bertemu tatap dengan sosok itu. Dengan cepat aku berpaling melihat Bang Agil yang ternyata sedang memperhatikanku. "Aku baik-baik saja." Ulangku meyakinkan. 

"Kamu memang selalu baik-baik saja." Ucapnya kembali melanjutkan langkah, entah apakah itu kalimat sindiran atau pujian. Aku hanya mampu tersenyum kecut dan mengikutinya dari samping. 

Aku melirik sosok itu lagi ternyata sudah masuk ke dalam mobil mewah miliknya, lalu melesat melewati depan kami. Diam-diam aku memegang dadaku, sakit itu ternyata masih ada. Luka itu ternyata masih berbekas meski tak nampak. Ini bukan yang kumau, terjerat dalam jurang masa lalu yang terlalu menyakitkan. Aku sudah sampai sejauh ini, tidak mungkin aku akan kembali terjatuh pada jurang yang sama bukan? Jurang luka itu terlalu menyeramkan, hingga aku merasa sudah mati bahkan sebelum nyawaku dicabut. 

Kuteguhkan niat, kembaliku bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan yang jauh lebih baik. Jurang itu harusnya sudah tertutup, tidak lagi mengundang untuk aku datangi. Cukup! dan bukan aku yang salah! Aku merafalkan mantra itu yang selalu cukup membuat memori itu ter-reset untuk sementara.

"Maju dua langkah lagi kamu akan menghilangkan salah satu sumber kesejukan di kampus ini." Suara Bang Agil masih aku dengar samar-samar diantara lamunan. Kakiku langsung berhenti dan menengadahkan kepala melihat pohon yang tumbuh tinggi. 

Aku berdecak pelan. "Yang ada aku yang akan hilang dari peradaban." Balasku tak terima dan Bang Agil kembali tertawa. "Bang aku kembali ke ruanganku. Assalamualaikum." Pamitku sambil bersiap-siap mengayun sepeda. Dibandingkan dengan membawa mobil dari gedungku yang hanya berjarak tak lebih dari satu kilometer dari gedung dimana ruangakuny berada, aku lebih memilih untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga udara tetap nyaman dengan memakai sepeda kampus. Baru beberapa hari lalu jika ternyata ada fasilitas sepeda untuk dosen yang bisa digunakan untuk berkeliling dan berbeda dengan sepeda yang disewakan untuk mahasiswa.

"Wa'alaikumussalam." Balas Bang Agil. "Mel," Bang Agil kembali memanggilku. "Kamu tidak pernah sendiri dan harus kamu ingat itu." Sekarang ia benar-benar pergi dari hadapanku. Sedangkan aku masih berdiri di tempat, memegang erat sepeda yang sudah kunaiki tersebut. 

Kemudian suara ponsel membuyarkan lamunanku. Nama Kevin tertera di layar. Ah aku hampir lupa bahwa aku menitipkan Shareen padanya. Aku tidak tahu kira-kira mereka akan kembali berperang seperti beberapa hari ini ataukah duduk anteng saja nonton sepak bola. 

***

Tbc

double?

selamat berpuasa,

jangan lupa lima waktunya dan nambah hafalan juga...

lope yu...

❤❤❤

Hello (Bye), Future!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang