Langit tengah dibalut awan hitam ketika aku dan Sharen keluar dari apartemen pagi tadi. Dan sekarang hujan tengah mengguyur kota, menguarkan bau tanah yang menyegarkan. Harusnya makin sempurna jika Shareen ada denganku saat ini dan menikmati secangkir coklat hangat kesukaan anak itu. Aku merindukan anakku yang baru tiga jam kami berpisah. Beberapa waktu lalu aku menghujami guru yang ada di sana agar ia memberiku semua informasi tentang apa saja yang dilakukan Shareen di sana.
Benar. Setelah istirahat dan memulihkan tenaga selama seminggu kemarin, sekarang aku sudah duduk di balik kubikel yang sudah disediakan kampus--melakoni peran sebagai tenaga pengajar yang mungkin tak jauh berbeda dari pekerjaanku sebelumnya. Sementara Shareen sudah mulai masuk di playgroup tak jauh dari tempatku bekerja. Mungkin masih masuk dalam area kampus, namun tetap saja butuh kendaraan untuk menuju ke sana. Apa aku jemput pakai sepeda saja nanti? Ah, betapa bahagianya dia!
Aku sangat bersyukur mejaku berada tepat di sebelah jendela, hingga aku bisa memandangi tumbuhan-tumbuhan hijau di luar sana. Setidaknya ada pengalihan dari hanya menatap layar di depanku semata. Hari ini tidak ada jadwal mengajar dan aku sudah meminta kelonggaran bahwa aku mungkin akan sering membawa Shareen, bukan mungkin, tapi setiap hari Shareen akan ikut bersamaku setidaknya setelah anakku itu pulang dari playgroup.
"Halo, Bu Melva," suara seseorang membuyarkan lamunanku.
"Halo, bu...."
"Sindi saja, Bu."
"Halo, Bu Sindi."
"Wah, wah, ternyata rumor tentang dosen cantik benar adanya ternyata." Guraunya dengan suara khas, sedikit serak.
Aku terkekeh, "yang jelas tidak mengalahkan kecantikan Bu Sindi." Aku berkata jujur. Perempuan ini sangat cantik, walaupun sudah berumur mungkin sekitar 40-an.
"Bisa saja, Bu."
"Bu Melva tidak ada jadwal ngajar?"
"Tidak, bu. Katanya saya boleh ngajar mulai besok. Hari ini diberi kesempatan untuk berkeliling dulu, sambil mengakrabkan diri dengan lingkungan."
"Ibu butuh tour guide?" Tanyanya lagi dengan senyum cerah.
"Boleh banget kalau ada, Bu."
"Kebetulan saya tidak punya jadwal dan tak lagi sibuk, Bu, mau pergi sekarang?"
Aku menggaruk pelipisku, "saya tunggu anak saya dulu, bu. Sebentar lagi dia kelar dari playgroupnya."
"Sudah bersuami."
"Tepatnya pernah bersuami." Jawabku.
Kulihat wajah Bu Sindi berubah tidak enak, padahal aku biasa saja. Sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. "Tidak apa-apa, bu." Ujarku menyunggingkan senyum.
Bu Sindi juga membalas dengan senyum ramah yang mungkin saja belum pudar sejak ia menyapa. Aku kembali fokus dengan layar di depanku. Hujan di luar sana tinggal gerimis, kulirik jam disudut layar komputer, 30 menit lagi Shareen keluar. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia untuk segera bertemunya. Pelipur lara selama tiga tahun ini!
Shareen seperti hujan yang datang dikala gersang. Seperti matahari dikala hujan melingkupi. Ah anakku! Apalagi yang tidak kusyukuri atas kehadirannya selama ini? Sekalipun dia tidak lahir dari rahimku.
***
Jam 10 lebih 10 menit aku sampai di depan gerbang playgroup untuk menjemput Shareen. Tak lama berselang, bahkan aku belum sempat menjauhkan helm dari kepala. Shareen datang dengan menggandeng tangan gurunya.
"Assalamualaikum, Bu Naja, adek." Aku menyapa keduanya.
"Waalaikumussalam,"
"Waaliakumussalam, bunda!" Pekik Shareen berlari ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello (Bye), Future!
General FictionSiapa bilang rencana manusia harus terealisasi seperti apa yang diinginkan. Nyatanya rencana Tuhan lebih indah, membawa bahagia dan penuh makna, meskipun itu....terasa menyesakkan di awal. Namun semuanya tak ada yang sia-sia, cukup jalani sesuai yan...