Lama aku berdiri, selama itu pula Kevin menatapku. Namun perlahan tatapannya kosong, lalu sebulir air mata kembali menyusup keluar. Aku melangkah mendekatinya, mendekapnya erat. Tak ada kata yang terucap antara kami, hanya saja sesekali aku tak bisa menahan sesegukan.
"Maafkan bunda, sayang." Lirihku menepuk pelan punggungnya.
Kevin tak menjawab apapun, hanya kepalanya yang bergerak mengangguk.
Aku mengurai pelukan kami kemudian beralih pada tumbukan tanah yang sudah di taburi bunga di sampingku. Tak ada kata yang mampu terucap, sakitnya kehilangan begitu menghimpit dalam dada. Tapi tak ada yang mampu melawan takdir Tuhan.
"Sekarang bapak tidak sakit lagi, sekarang bapak sudah bertemu ibu, kan, Pak?" Tanyaku retorik. Semua kenangan masa lalu tiba-tiba saja kembali terbayang, bagaimana bapak tertawa yang tetap menguarkan karisma. Atau bagaimana bapak bercanda menjahili ibu.
Tangaku bergetar saat menyentuh tumpukan tanah itu dan saat itulah dunia terasa beputar dan....Gelap. Sayup-sayup kudengan mereka menyebut namaku dengan panik dan atu tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Yang jelas, saat kubuka mata, aku tidak lagi di kuburan melainkan di rumah? Oh bukan, ada bau obat yang menguar mengisi indra penciuman, ini rumah sakit. Aku Mendapati Mbak Tyas, Kevin dan Bang Agil duduk di samping kiri dan kananku.
Suara pintu terbuka mengalihkan atensi kami, di sana berdiri Shareen dan Mbak Nabila. Shareen langsung merangkak ke atas brangkar yang ku tempati.
"Bunda," isaknya pelan.
"Adek kenapa, sayang?" Tanyaku sambil menepuk oelan punggungnya.
"Jangan tinggalin adek lagi, Bunda. Nanti adek sendiri. Adek janji tidak nakal lagi, tidak makan coklat yang banyak lagi." ocehnya. Aku menahan senyum mendengarnya. Percayalah bahwa janji Shareen adalah janji palsu. Ada saja alasannya untuk makan coklat melebihi porsi yang sudah kuberikan.
Tak ada yang buka suara kecuali aku yang tengah menenangkan Shareen. Aku melirik mereka satu per satu yang juga tengah menatapku entah dengan pikiran apa.
"Kevin nggak pulang, nak?" Tanyaku pada Kevin yang masih setia dengan keterbukamannya. Ada semangat yang hilang dari wajahnya, aku tahu ia sedang tidak baik-baik saja. Shock kehilangan sosok yang selama ini ia kagumi dan ia jaga rasanya seperti dunia runtuh, tapi apa yang mau dikata selain harus bangkit dan terus bergerak maju.
Kevin menatapku lamat-lamat, seolah ingin menyampaikan sesuatu. Lantas aku memberika kode kepada Mbak Tyas, dan Mbak Nabila, juga Bang Agil untuk meninggalkan kami bertiga dengan Shareen yang kini hampir terlelap di sampingku.
Mbak Tyas mendekati brangkar henhendak mengambil alih Shareen, namun dengan cepat aku mencegah. "Shareen biar tidur di sini saja, Mbak."
Perempuan tersebut mengangguk dan segera keluar menghilang di balik pintu. "Kevin ada yang mau dikatakan, sayang?" Tanyaku hati-hati.
Kevin tersenyum hambar diikuti air mata yang mulai mengalir dari mata biru miliknya. "Bunda, Bunda, Bunda," Ucapnya. "Sebenarnya terbuat dari apa hati bunda?"
Aku mengerutkan kening tak mengerti. Setelah memasrikan Shareen tertidur dengan lelap, perlahan aku bangkit, "ada apa, Vin?"
"Bunda kenapa tidak pernah cerita kepada kami bahwa adekKevin pernah hadir. Kenapa Bunda menanggung semuanya sendiri? Kenapa kami harus tahu dari orang lain, Bunda? Grandpa drop setelah tahu semua hal busuk yang Daddy lakukan."
Kenapa harus sekarang Kevin bertanya? "Kalau bunda cerita, memangnya apa yang akan berubah, Vin? Kamu tahu, nak, Bunda seperri menjadi seorang pembunuh. Coba kamu pikir, seandainya bunda menceritakan semua hal itu kepada kalian lebih cepat, mungkin itu hanya akan mempercepat kematian Bapak dan Ibu." Aku tersenyum perih. "Dari mana kalian tahu?"
"Grandpa yang cari tahu...."
"Kamu menyalahkan bunda atas kematian Grandpamu?" Potongku.
Kevin tidak menjawab, tapi keterdiamannya seilah menjawab semuanya. "Bunda minta maaf...."
"aku tidak pernah menyalahkan bunda. Bisa lihat bunda di depan Abang saja sudah sangat bersyukur, Bun. Lalu apa yang membuatku menyalahkan bunda? Terima kasih karena sudah kembali. Abang janji, mulai sekarang abang akan jaga bunda dan Adek, itu juga amanat dari Grandpa. Bunda tahu, Grandpa sangat ingin lihat bunda untuk terakhir kalinya, tapi ternyata Grandpa tidak bisa menunggu lebih lama." Kevin memelukku erat.
Aku membalas pelukan Kevin dalam keterbungkaman. Tak tahu apa yang harus aku katakan atau bicarakan lagi kecuali sesal dalam hati yang mulai menggerogoti.
***
Sudah dua hari sejak aku keluar dari rumah sakit dan kembali ke apartement dengan satu orang yang memaksa untuk ikut dan tinggal bersamaku dan Shareen, itu adalah Kevin. Entah apa yang di pikirkan oleh anak itu hingga harus ikut denganku dan beralasan menjalankan amanat dari Bapak Wijaya. Namun aku juga tidak punya alasan untuk menolaknya, aku hanya ingin semua orang yang berada di sekelilingku bahagia termasuk Kevin.
"Bunda kenapa masih duduk di sini?" Suara Kevin membuyarkan lamunanku. Aku berbalik untuk melihat sosoknya, bibirku mengembangkan senyum, anakku sudah dewasa bukan lagi si kecil Kevin yang selalu banyak tingkah.
"Abang kenapa belum tidur?" Tanyaku padanya.
"Tadi hanya kebangun, Bun. Bunda kenapa belum tidur?" Tanyanya seraya mendaratkan bokongnya di sofa di sampingku.
"Bunda...." Shareen muncul di ambang pintu kamar sambil memeluk guling kecil yang ia putuskan menjadi adik katanya. Ia berjalan mendekat, meransek ke pangkuan.
"Uluh uluh, adiknya abang manja banget." Kata Kevin sambil mengusap kepala Shareen. Namun respon Shareen benar-benar tak terduga, ia menepis tangan Kevin dan melirik Kevin sinis.
"Aku benci abang." Tukasnya.
Baik aku maupun kevin terkejut dengan pernyataan Shareen yang berada di luar dugaan.
"Sini, coba cerita sama Abang kenapa adek benci sama Abang, hmmn?" Kata Kevin pelan, namun khawatir dan bingung belum juga hilang dari wajahnya.
"Abang jahat sama adek. Abang kemarin tidak telepon adek, abang janji belika es krim tapi abang bohong. Abang juga tidak jenguk bunda." Kata Shareen mengeluarkan unek-uneknya.
"Sini peluk abang dulu." Kevin langsung merebut Shareen dari pangkuanku. Sementara anak kecilku ini menurut tanpa ada penolakan.
Ia memeluk Kevin dengan erat, "Abang tidak boleh bohong lagi. Kata Bunda bohong itu tidak baik."
"Iya, abang minta maaf." Alih-alih untuk membela diri, Kevin lebih memilih untuk minta maaf tanpa menjelaskan apapun lagi.
"Sekarang abang belikan adek es krim." Cetus Shareen sambil memasang waha penuh harap.
"Adek, sekarang sudah jam 12 malam, sayang. Es krimnya di tunda besok, ya, nak?"
"Kata Bunda menunda itu tidak baik."
Aku menghela nafas pelan, ada saja kalimatnya untuk membantah. "Untuk beberapa hal dan situasi menunda itu oleh, sayang. Contohnya seperti sekarang adek minta es krim. Selain karena ini malam dan tokonya sudah tutup, tapi juga nanti adek bisa sakit." Jelasku pelan-pelan.
Shareen langsung terdiam seolah meresapi apa yang baru saja aku katakan.
***
Halooo epribadehhhhhhh......
Masih adakah dari kalian yang menunggu?
Kalian percaya gak kalau cerita tentag "pesakitan" Melva aku ambil dari cerita nyata?
Jangan lupa lima waktunya teman.
Dan jangan lupa untuk selalu jaga kesehatan, asupan nutrisi juga dijaga. Tetap patuhi protokol kesehatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello (Bye), Future!
Fiksi UmumSiapa bilang rencana manusia harus terealisasi seperti apa yang diinginkan. Nyatanya rencana Tuhan lebih indah, membawa bahagia dan penuh makna, meskipun itu....terasa menyesakkan di awal. Namun semuanya tak ada yang sia-sia, cukup jalani sesuai yan...