[Flashback]
Rasa taku semakin menggerogotiku seiring dengan tatapan tajam Mas Abrar. Aku yang tadi duduk langsung saja berdiri. Kenapa sakit sekali rasanya bahkan sebelum aku dicerca dengan kalimat entah apa.
"M-mas," panggilku tertahan, nyaris berbisik. Lidahku menjadi kaku dan kelu. Baru aku akan menyentuh lengannya, namun dengan cepat Mas Abrar menepis tanganku.
Sebulir air mata yang sejak tadi kutahan lepas sudah. Aku menatap suamiku sendiri penuh permohonan. "Ayo bicara baik-baik, Mas." Kataku tersenyum pedih.
"Tida ada lagi yang perlu dibicarakan, Melva. Bukankah sudah kubilang konsekuensi atas hal yang sudah aku larang." Detik itulah dunia tempatku berpijak hancur lebur tak bersisa. Aku merasa tengah didorong ke dasar jurang yang teramat dalam dan gelap, untuk merangkak saja terasa sangat menyakitkan. Bukan hanya hati, tapi tulang-tulangku terasa ngilu.
Aku mengusap air mataku yang terus berderai keluar. "Ayo bicarakan di rumah, Mas." Segera kuraih tas yang tersimpan di atas kursi tak berpenghuni di sampingku. Aku pergi, menjauh dari tempat itu diikuti dengan beberapa pasang mata mengikutiku hingga berada di luar cafe.
Sesampainya di rumah tangisku semakin menjadi-jadi. Aku marah, aku kecewa atas takdir yang seolah sedang mempermainkanku. Dari sekian cerita yang mengisi sejarah perjalanan hidupku, kenapa harus kisah seperti ini yang terjadi? Kembali aku mendesah kecewa. Berat rasanya ketika hati sudah bertumpu pada satu nama, berat rasanya ketika kenyataan bahwa aku sebagai seorang istri tidak lagi menjadi pelabuhan suamiku sendiri, berat rasanya ketika harus berbagi, dan....dan bahkan ozin untuk berbagi pun tak lagi berarti.
Tubuhku meluruh di lantai, aku menutup mulut dengan kedua tangan menghalau suara agar tidak terdengar hingga keluar. Pernikahanku hancur bahkan ketika usianya terbilang sangat belia. Aku tidak pernah berpikir akan melalui hal seperti dalam sependek umurku. Bisa saja aku merangkum semua kenyataan pahit menjadi sebuah senyuman tulus. Namun untuk hal ini saja, bolehkah aku menangis atau sekedar protes kepada takdir? Adakah bahagia yang sesungguhnya dapat bertahan dalam goresan takdir yang dibuat-Nya?
Pintu kamar terbuka, aku yang sedari tadi kehilangan tenaga langsung bangkit melihat siapa yang masuk dari sana. Aku tidak menjanjikan kamu tanpa air mata, tapi aku bisa menjanjikan kamu bahagia. Sepenggal kalimat itu yang terlintas dalam benak. Sepenggal janji yang terucap dihari pernikahan kami ternyata hanya menjadi sepenggal kalimat yang terlupakan.
"Mas, pasti capek, kan, Mas? Aku siapin air mandi Mas dulu, ya?" Ucapku.
"Melva," dadaku berdesir hangat ketika Mas Abrar memanggil namaku. Aku memasang senyum terlebih dahulu sebelum kemudian memutuskan untuk berbalik.
"Iya, aku tahu, Mas mau mandi dengan air hangat, kan?" Kataku cepat. Aku kembali berjalan ke kamar mandi.
"Melva!" Mas Abrar kali ini menyebut namaku dengan sedikit membentak. "Ini adalah surat perceraian kita."
Aku memaku di tempat, dunia terasa berputar lebih cepat. Kembal air mataku merambat keluar. "Mas," cicitku pelan. Secepat ini? "Tolong beri aku satu alasan kenapa kita harus menggunakan cara ini untuk penyelesaian masalah kita, Mas. Tolong beri aku sati alasan kenapa Mas meminta cerai dariku? Tolong beri aku satu alasan kenapa kita harus pisah mas!"
"Saya benci dengan sikapmu, Melva. Saya benci karena saya seperti laki-laki tak berguna. Kamu dan kemandirianmu, saya benci itu semua. Kamu tidak pernah membuat saya berguna dalam hidupmu. Saya seperti menjalankan rumah tangga ini sendiri."
"Maksud Mas apa?" Tanyaku tak mengerti.
"Hampir semua hal kamu lakukan sendiri. Kamu tidak pernah meminta bantuan saya untuk melakukan sesuatu, bahkan mengganti lampu saja kamu tak pernah meminta bantuan saya, Melva. Hampir semua hal dalam perjalanan rumah tangga kita tidak pernah sekalipun kamu libatkan saya. Kamu pikir saya tidak tahu, uang yang selama ini saya beri tidak pernah kamu sentuh sepeser pun. Menjemputmu dari kampus, jika saya tidak bicara kamu tidak akan pernah meminta saya untuk menjemputmu. Mengganti pipa air yang bocor bahkan kamu lakukan sendiri, alih-alih meminta saya untuk melakukan semuanya."
"Mas itu hanya hal kecil-"
"Dan hal yang kamu anggap kecil itu berhasil melukai harga diriku sebagai laki-laki sekaligus suami!"
"Mas-"
"Pernikahan ini tidak akan selamat, Melva."
"Tapi Mas, aku bisa merubah semua sikapku, Mas."
"Saya pikir dua tahun waktu yang cukup untuk membuatmu mengerti, Melva. Tapi kamu tidak pernah berubah."
"Mas aku mohon, Mas, beri aku kesempatan. Cerai bukan jalan keluar." Aku menangkupkan kedua tangan, memohon kepada suamiku sendiri agar rumah tangga kami dapat dipertahankan.
"Saya sudah tanda tangan, saya hanya butuh tandatanganmu saja." Jawabnya membuatku mencelos. Aku mendesah kecewa, sekarang hatiku benar-benar sudah menjadi serpihan, bahkan sebagian hilang.
Tanganku bergetar meraih kertas yang tergeletak di atas ranjang. Bahkan surat perceraian kami sudah dipersiapkan entah mulai kapan. Karena tidak mungkin ia mempersiapkan hari ini, bukan? Aku tersenyum miris, setragis inikah kisah pernikahanku? Segera kububuhkan tandatangan sesuai dengan permintaannya.
Aku melihat Mas Abrar lamat-lamat, masih air mata yang enggan untuk berhenti mengalir. "Mas lupa satu hal, Mas. Alasan Mas menceraikanku karena aku terlalu mandiri, kan?" Aku menjeda sejenak kalimatku sambil tersenyum sendu. "Mas lupa bahwa hampir sebagian besar hidupku hanya mengandalkan diri sendiri, berpijak pada kaki sendiri, tanpa orang tua, tanpa keluarga. Tidak ada yang mengajariku untuk bergantung pada orang lain. Tidak untuk semua hal yang bisa aku lakukan sendiri. Lalu hampir dua tahun pernikahan kita Mas baru menyampaikannya sekarang. Bukankah seharusnya Mas mengajariku bagaimana cara untuk memegang tangan Mas? Bukankah Mas bisa menuntunku bagaimana aku bisa bergantung pada Mas? Aku hanya tidak pernah menyangka bahagia yang Mas pernah janjikan berubah jadi air mata yang sangat mengenaskan. Janji sakral yang pernah terucap dari mulut Mas berakhir dengan alasan yang hampir tak masuk akal. Setelah ini, aku memohon pada Mas untuk tidak menceritakan urusan ranjang kita pada siapapun, Mas. Bukan karena itu adalah aibku, tapi aib rumah tangga kita."
Kemudian aku menyodorkan kembali beberapa lembar kertas itu pada Mas Abrar, "aku sudah menandatanganinya sesuai dengan permintaan Mas Abrar." Inilah saatnua untuk pergi, membawa serpihan hati yang masih tersisa dengan harap semua akan kembali bai-baik saja meski tidak seperti semula.
Aku menarik sebuah koper dari lemari lalu mengisinya dengan pakaian milikku. Aku tahu Mas Abrar masih berada di belakangku berdiam diri dengan pikiran yang tidak mampu kutebak. "Mas tahu, aku pernah memimpikan akan rumah tangga yang hangat dan penuh cinta. Bermain dengan anak-anak yang mungkin kelak akan hadir bukanya hanya untuk mengurai dahaga kita, tapi juga Kevin. Aku bahkan pernah berharap suatu saat aku bisa melihat Kevin tumbuh, menyebut nama kita berdua dengan bangga di podium ketika dia memperoleh penghargaan. Tapi semuanya menguap begitu saja hanya dengan sebuah kata yang sudah Mas ucapkan untuk memutus hubungan kita." Aku berbalik untuk melihat Mas Abrar, "Jika ada yang aku sesali dalam hidupku, Mas, itu adalah penyesalan terhadap diriku sendiri sebagai istri yang tidak melayani suaminya dengan baik, Mas."
Mas Abrar masih mematung, entah dia mendengarkan celotehan yang sejak tadi aku gaungkan. "Aku pamit, Mas Abrar. Terima kasih karena sudah mau meninggalkan jejak yang mungkin tidak akan pernah aku lupa sepanjang sejarah hidupku. Jaga diri Mas baik-baik, semua hal yang Mas sering butuhkan sudah aku siapkan pada tempat biasa. Assalamualaikum."
Aku tidak mendengar balasan salam dari mulutnya. Aku mulai melangkah pergi, saat ini aku hanya butuh waktu sendiri. Tapi kemana lagi takdir akan membawaku untuk melangkah? Aku pasrah.
***
Tbc
Hayo loh,....
Puasa aman kan ya?
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan,
semoga kita selalu dilimpahkan keberkahan ramadhan. Aamiin.
Jangan lupa lima waktunya..
lope kalian sekebon. 💕💕💕💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello (Bye), Future!
General FictionSiapa bilang rencana manusia harus terealisasi seperti apa yang diinginkan. Nyatanya rencana Tuhan lebih indah, membawa bahagia dan penuh makna, meskipun itu....terasa menyesakkan di awal. Namun semuanya tak ada yang sia-sia, cukup jalani sesuai yan...