31

4.6K 721 76
                                    

Mungkin ini adalah spot ternyamanku di apartemen ini. Balkon yang terbuka dan menampakkan suasana kota di malam hari. Aku menarik mantel yang aku kenakan sambil menyeruput coklat hangat yang baru saja kuseduh. Sekelebat ingatan tentang kejadian beberapa hari yang lalu terus menari di kepala. Bagaimana mungkin aku bisa gugup melihatnya berdiri di ambang pintu kamar yang ditempati Shareen sebelum kembali ke rumah.

Benar. Itu adalah Bang Agil yang akhir-akhir ini sedikit menganggu di kepalaku. Aku tidak munafik dengan apa yang sedang aku rasakan. Hanya saja aku tetap perlu waspada, membuat batasan yang tidak seharusnya aku lewati. Aku....mungkin menyukainya, tidak, maksudku aku menyukainya. Namun untuk memulai hubungan yang baru, aku masih belum yakin. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan dan memikirkannya lagi matang-matang. 

Aku menarik mantel yang kukenakan lebih erat karena angin malam menerpa lebih dingin. Bukannya aku ingin menyakiti diri sendiri dengan tetap bertahan di sini, namun pemandangan malam Ibukota terlalu sayang untuk dilewatkan. Dari atas sini aku masih bisa mengenali orang di bawah sana dan mobil yang baru saja memasuki area apartemen lalu menghilang memasuki basement. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. 

Bang Agil akhirnya muncul setelah tiga hari menghilang pasca Shareen dan Kevin keluar dari rumah sakit. Ia menghilang tanpa kabar setelah hari itu aku melihatnya menatapku dengan kecewa.

Flashback

Hari itu Bang Agil muncul di rumah sakit bersama Ibu Yanti--Mamanya, ia dengan sebuah bucket bunga mawar mix baby breath yang sangat cantik. Tidak lupa bingkisan berisikan coklat dan juga buah-buahan kesukaan Kevin dan Shareen. Ia menyerahkan bucket itu padaku yang aku terima dengan perasaan campur aduk. 

"Harusnya sekarang saya cium kening kamu, Mel. Tapi apa boleh buat, kita belum halal." Kelakarnya yang disambut decakan tidak suka dari Kevin. Aku hanya terkekeh geli melihat putraku itu melemparkan pandangan tidak suka.

"Terima kasih, Mas." Kataku sambil menerima bucket tersebut, sementara Ibu Yanti menghampiri brangkar Shareen, memeluk gadis kecil itu hati-hati sambil melayangkan kata sayang.

"Bagaimana keadaanmu, Vin?" Tanya Bang Agil pada Kevin.

"Masih hidup." Jawabnya sarkas samasekali tidak melihat sang lawan bicara.

"Alhamdulillah, berarti kamu masih bisa ikut merayakan hari bahagia ...ehhm, calon ayah dan Bundamu." Kata Bang Agil yang justru meledek Kevin dan tidak tersinggung sedikitpun dengan sikap Kevin.

Kevin hanya memutar bola matanya. "Belum diterima saja udah GR." Gerutunya pelan namun masih terdengar oleh kami. 

Sementara itu Jack yang masih ada di ruangan itu bersama kami menyahut, "Ye, lo mah gak ada yang lo restui. Mohon maap, ya, Bapak Kevin yang tidak terhormat, restu dari lo tidak dibutuhkan." Lantas sahutan tersebut mengundang kekehan dari orang-orang yang ada di ruangan kala itu. 

"Diam lo!" Sentak Kevin sambil melotot.

Baru saja Jack akan bicara ketika sosok lain yang tak pernah kuharapkan kedatangannya mengucap salam dan menyela obrolan semua orang di ruangan. Laki-laki itu masuk diikuti sang istri. 

"Bagaimana keadaanmu, boy?" Tanyanya meneliti Kevin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia juga mengecup kepala Kevin sayang.

"Ternyata selain anak mama, lo juga anak ayah." Cibir Jack. 

"Baik, Dad. Berhenti manggil Kevin dengan sebutan boy." Protesnya. Sementara Abrar tak menghiraukan.

Sementara itu istri Abrar memberikan bingkisan berisikan buah yang langsung aku terima dengan penuh suka cita. "Silahkan duduk, Mbak." Kataku seraya bangkit. Wanita itu tersenyum dan duduk di sofa yang tadi aku duduki.

"Terima kasih, Mel." Katanya. 

Aku mengangguk sambil membalas senyumnya. 

"Bagaimana keadaan Shareen, Mel?" Tanya Abrar.

"Baik. Hanya beberapa luka di lengan dan kakinya." Jawabku.

"Terakhir daddy liat kamu jatuh kayak gini, Boy. Kamu bukan hanya membahayakan dirimu sendiri, tapi juga adikmu."

"Aku minta maaf, Dad. Kata Kevin menunduk tak berani melihat wajah Abrar.

"Bagaimana pekerjaanmu, Mel?" Tanya Abrar lagi. Apakah ini pertanyaan serius yang harus aku jawab? Atau hanya pertanyaan basa-basi saja?

"Baik-baik saja, Pak Abrar." Jawabku enggan.

"Ini," laki-laki yang kini berdiri di depanku menyodorkan sebuah kotak buludru kecil yang bisa kupastikan isinya adalah perhiasan. Aku mengangkat kedua alis hendak bertanya tanpa menerima barang tersebut.

"Ini....hadiah terakhir dari Mami, didesain khusus buat kamu. Maaf baru sempat aku berikan karena itu...." Aku masih menunggu lanjutan kalimatnya yang tampak ragu untuk sampaikan.

"Karena kita udah duluan bercerai?" Tanyaku sambil tersenyum penuh makna. Toh juga memang itu kenyataannya, bukan? Tanpa menunggu jawaban darinya aku melanjutkan, "Aku sudah tidak berhak untuk menerimanya, Pak Abrar." Tanpa aku melihatpun semua orang sedang memperhatikan kami.

"Nggak ini adalah hadiah dari Mami untuk kamu."

Aku menarik nafas dalam, lalu melempar pandangan pada Mbak Diva yang menatapku penuh makna. Sekalipun ini dari Mami, seharusnya dia menjaga perasaan istrinya. Aku sangat paham bagaimana perasaan Mbak Diva sekarang. Jikapun ia cemburu, itu adalah hal yang wajar.

"Aku tidak berhak menerimanya, Pak Abrar. Dan...."

"Kamu tidak menerimanya sama saja kamu tidak menghargai Mami, Mel." Potongnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

"Tapi...." Belum aku menyelesaikan kalimatku, laki-laki yang kini berdiri di hadapanku langsung menarik tanganku dan meletakan benda buludru kecil tersebut. Seakan tahu jika aku hendak berontak dia memegang tanganku sangat erat. Posisi seperti ini benar-benar tidak nyaman. Sementara mata semua orang kini tertuju pada kami berdua. Alih-alih melepaskan tanganku Abrar justru menarikku dalam pelukan. Rasanya aku ingin menangis dan meneriakinya jika saja aku tidak mengingat bahwa sekarang kami berada di rumah sakit.

Aku sempat melirik Bang Agil yang pergi melewati kami begitu saja. Tidak ada cara lain melepaskan diri dari laki-laki yang tidak tahu diri ini selain....

"Asshhh...." ringis Abrar setelah aku sukses menginjakkan tumit sepatu yang kukenakan di kakinya.

Baru aku akan melangkah untuk menyusul Bang Agil, tapi Bu Yanti segera mencegahku. Ia menggeleng lalu sambil tersenyum berkata, "tidak apa-apa, nak. Agil hanya butuh waktu sendiri." Bukan menenang justru kata-kata itu semakin menyesakkan dada.

Aku menghadap kepada Abrar. Sekilas kulemparkan pandangan pada sosok Diva yang duduk dengan wajah seolah ia sudah pasrah. Terlalu menyedihkan, aku bisa merasakan bagaimana hatinya hancur melihat suaminya memeluk wanita lain. Seharusnya bisa saja kubiarkan, tapi tetap aku juga perempuan. Sekalipun dia pernah menyakiti, tak seharusnya aku membayarnya dengan cara yang sama.

Aku maju beberapa langkah menatap Abrar nyalang yang sama sekali tidak merasa bersalah. Ada senyum yang terbit di bibirnya, senyum yang tak seharusnya ia tunjukkan pada kondisi kacau akibat ulahnya.

Plak!

Tak ada yang berani bergerak, tidak ada yang berani bersuara. "Kenapa kamu tidak juga sadar atas kesalahanmu?" Desisku retorik. Sama sekali aku tidak menyesal. Meski tanda merah di pipi itu tercetak nyata.

"Jangan pernah tunjukkan dirimu dihadapanku lagi." Kataku, akhirnya. Dari sekian banyak makin yang terpikir dalam benar. Hanya kalimat itu yang dapat terucap.

***

Hello (Bye), Future!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang