"Sudah lama, Mel?" Tanya Bang Agil yang baru saja sampai di kantornya. Untuk kali ini saja aku melihat ia di balik setelan rapi, dengan tuxedo berwarna biru tua yang disandingkan dengan kemeja abu. Membuatnya terlihat lebih dingin alih-alih hangat seperti biasa. Bang Agil terlihat berbeda, dia yang biasanya tampil santai dengan kaos berkerah dengan celana jeans atau celana kain, dan sekarang menggunakan tampilan yang berbeda. "Ini masih abang kok, Mel." Tegurnya membuyarkan keterpanaanku.
Aku terkekeh geli bercampur malu karena kedapatan memperhatikan sosok laki-laki di depanku ini. "Kirain bukan abang." Seruku kemudian.
Ia mengangkat alisnya, "terus siapa?"
"Kirain malaikat tak bersayap." Sahutku sekenanya. Aku mengambil tempat duduk langsung di salah satu single sofa tanpa di perintah.
"Kan abang belum perintah duduk, Mel." Protesnya.
"Abang pernah bilang anggap ruangan sendiri. Sudah syukur aku nggak duduk di kursi panas itu." Kataku sambil menunjuk dengan dagu kursi kebesarannya.
"Kok ngelunjak?" Katanya tak urung mengikutiku duduk di sofa yang lain.
"Bukan ngelunjak, tapi aku sedang menggunakan hak." Kataku ringan. Pagi ini aku harus bertemu dengan Bang Agil untuk membahas proyek dari pemerintah daerah yang dipercayakan pada kami setelah menimang proposal yang diajukan sebelumnya. Syukur kampus terutama fakultas tak mewajibkan kehadiran dikampus yang penting adalah tetap harus produktif. Walaupun demikian pada tendik tetap harus meminta persetujuan dari atas jika berkegiatan diluar. Dan hal tersebut tentu saja tidak susah karena bisa diajukan secara online dan hanya menunggu approval dari atasan tanpa harus bertatap muka.
Perusahaan Bang Agin bertugas untuk mengembangkan salah satu informasi yang memudahkan UMKM dalam dibina dan diberikan masukkan serta untuk penilaiannya sehingga bisa dikatakan layak untuk beroperasi. Sementara kami dari pihak universitas bertugas untuk meriset seberapa efektif sistem tersebut untuk mereka para pelaku dan apakah hal tersebut benar-benar dibutuhkan. Mengingat karena sebagian mereka masih banyak yang tidak lagi berusia muda dan buta teknologi. Sekaligus memberikan masukan tentang tampilan-tampilan yang fit atau sesuai kebutuhan dan tidak membuat mereka bingung.
Dari proposal yang mereka ajukan di awal, banyak hal yang harus di ubah. Bahkan hampir sebagian besar karena ternyata sistem yang ditawarkan itu jauh dari apa yang sebenar dibutuhkan oleh UMKM.
"Kenapa melamun?"
Aku menyengir sebagai jawaban. "Pak Tomy dan Pak Rendra nggak hadir, Bang?" Tanyaku.
"Tidak, mereka ada beberapa kerjaan diluar." Jawabnya. Padahal seharusnya mereka hadir sebagai orang yang menginisiasi hal tersebut. Tak lama, sekretaris Bang Agil masuk dengan membawa minuman di dalam nampan yang dipegangnya.
"Silahkan, Mbak Melva." Katanya dengan senyuman manis. Aku mengangguk sopan. Selanjutnya ia duduk di ujung sofa yang ditempati oleh Bang Agil sambil memangku laptop. Sementara aku segera membuka dan memulai diskusi kecil kami.
***
Baru saja aku selesai merapikan meja kerjaku yang ada di dekat jendela saat ada notifikasi chat dari Bang Agil. Katanya ia sudah berada di depan gedung, pesan singkat itu tak kubalas. Dengan langkah cepat aku segera beranjak dan tak lupa mengangkat tubuh Shareen yang masih terlelap karena terlalu lelah bermain. Sejak kujemput dari playgroup, anak ini tidak lagi bersamaku. Ia menjadi rebutan sana-sini untuk diajak bermain atau menemani mereka makan sambil mendengarkan celotehan kecil khasnya.
Aku juga berpamitan dengan rekan-rekan dosen yang masih akan menghabiskan sore mereka dengan berbagai jenis pekerjaan yang menjadi tuntutan dan harus terpenuhi. Dosen itu tugasnya mengajar saja! Begitu orang-orang memandang profesi kami, bahkan oleh mahasiswa yang seharusnya memiliki pikiran yang terbuka. Mengajar hanya sepertiga atau bahkan kurang dari itu dari bagian tugas yang kami emban sebagai seorang dosen. Sisanya, masih ada penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Jika tiga inti utama tersebut tidak terpenuhi, maka gelar dan reputasi seorang dosen patut di pertanyakan. Belum lagi tuntutan untuk mempublikasikan artikel ilmiah pada jurnal yang bereputasi. Dipikiran orang yang tidak memiliki profesi yang sama mungkin mempublikasikan satu artikel pada jurnal mapan dan mempunyai high impact bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. TIDAK! itu semua tidak benar, mempublikasikan tulisan pada satu jurnal bereputasi itu membutuhkan waktu yang panjang. ada yang dua tahun atau bahkan lebih dari sepuluh tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello (Bye), Future!
General FictionSiapa bilang rencana manusia harus terealisasi seperti apa yang diinginkan. Nyatanya rencana Tuhan lebih indah, membawa bahagia dan penuh makna, meskipun itu....terasa menyesakkan di awal. Namun semuanya tak ada yang sia-sia, cukup jalani sesuai yan...