28

6.3K 1.2K 157
                                    

Desau angin pagi terdengar seperti nyanyian lembut bercampur dengan suara-suara kendaraan bermotor di bawah sana. Sementara fajar mulai menyinsing di sebelah timur menampakkan guratan kuning kemerahan seolah menjadi pertanda sang raja surya keluar dari balik persembunyiannya. Dibandingkan dengan senja, aku lebih menyukai fajar, karena kemunculannya seperti menumbuhkah semangat dan harapan baru. Sedangkan senja, aku hanya bisa menikmatinya sesaat sebelum akhirnya berpisah meski esok pasti akan jumpa.

Aku berada di puncak gedung sejak pagi buta, karena dari puncak ini aku bisa melihat banyak hal. Walaupun membangkitkan kenangan kelam di masa lalu, tapi tak bisa dipungkiri dari atas sini keindahan tersuguhkan. Toh, semua sudah berlalu, dan sekarang sudah kembali normal.

Ternyata bukan hanya aku yang mengakui itu, tapi beberapa penghuni apartemen juga sepertinya menemukan surga untuk mata mereka. Buktinya mereka kini hadir sambil olahraga kecil merenggangkan otot, sebelum kembali bekerja.

"Assalamualaikum, penghuni unit 304, ya?" Sebuah suara membuyarkan lamunanku dengan sebuah tudingan. Aku berbalik melihat, meski suaranya tidak asing tapi aku tidak terlalu yakin bahwa tebakan yang tidak kusuarakan itu benar.

"Wa'alaikumussalam...." Aku tidak melanjutkan jalimatku melihat sosok tinggi dengan tubuh tinggi di depanku. "Bang Agil," Sebutku keheranan.

Bang Agil terkekeh, aku tahu mungkin wajahku terlihat seperti irang bodoh. "Halo tetangga,"

"Ha?" Aku mengerjap memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Tetangga? Yang benar saja? Bagaimana mung..."

"Iya, sekarang kita tetangga sampai misiku selesai." Jawab Bang Agil. Ia menunggu respon dariku, tapi wajahku cukup untuk mempertanyakan maksudnya hingga ia melanjutkan kalimatnya. "Kemarin aku membeli unit di sampingmu. Kebetulan dia menawarkan unitnya karena unit itu memang akan jarang ditempati."

Aku menyipitkan mata curiga, memang aku sempat mendengar tentang unit tetangga akan dijual. Tapi aku tidak menyangka jika laku secepat ini dan....dan yang paling mengherankan Bang Agil lah pembelinya.

"Dan misi apa yang Bang Agil jalankan?" Tanyaku masih penasaran. Bukan, bukan narsis karena memang aku bukan penganut aliran tersebut. Namun di sudut pikiran dan hatiku mengatakan ini berhubungan denganku.

"Nanti. Nanti kalau saatnya tiba kamu akan tahu. Dan saat itu aku berharap semua berakhir indah." Sahutnya dengan tatapan penuh makna. Dengan cepat kualihkan pandangan, melemparnya ke sembarang arah. Aku tidak suka ditatap demikian, tatapan yang akan menghadirkan harapan yang berakhir luka.

Jika saja sekarang ditanya apakah aku tidak berniat untuk menjalin hubungan? Jawabannya adalah tidak. Tidak untuk saat ini, aku sudah berdamai dengan masa lalu, memaafkan meski semua terasa sulit. Tapi rasa takut itu masih ada, takut hal yang sama akan terulang lagi. Hal yang membuat semua harapan harus terhapus oleh pesakitan kenyataan yang terjadi.

"Jangan melamun, Mel." Kalimat itu membuyarkan lamunanku. Aku kembali membalikkan badan, membuang pandangan ke jauh sana.

"Aku tidak narsis, Bang. Hanya saja jika abang bertanya tentang satu hubungan. Aku tidak siap untuk saat ini."

Diam sesaat, rasa canggung menyelimuti kami, aku tak berani melihat ke samping bahkan untuk melirik.

"Dan aku akan sabar menunggu, Mel. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Biar aku yang berjuang."

Aku sempat menunduk, ingin sekali aku teriakkan padanya bahwa aku mungkin tidak akan pernah menjalin hubungan ke arah sana lagi. Aku sudah memaafkan semua hal yang membuatku sakit, sudah berdamai dengan masa lalu yang selalu menantang untukku hadapi. Tapi untuk melangkah pada hubungan itu lagi rasanya menakutkan. 

"Jangan dipikirkan, Mel." Suaranya kembali terdengar. Namun ketika aku mengangkat wajahku yang tersisa hanya pungungnya saja. Kulihat punggung itu hingga menghilang di balik tembok.

***

"Vin," panggilku pada Kevin yang sedang fokus dengan laptop di depannya. Kevin sangat mirip dengan Abrar jika dalam mode serius seperti ini.

"Iya, Bun." Sahutnya tanpa melirikku sama sekali. Tidak sopan! Aku bersungut dalam hati.

"Kevin sayang Bunda, tidak sih?" Sungutku mulai sedikit kesal.

"nggak lah, Bun." Aku terdiam dalam beberapa detik mencerna jawaban yang baru saja Kevin ucapkan. "Abang gak sayang tapi sayang banget, Bun."

Memasang tampang datar Kevin menyimpan laptopnya di atas meja, kemudian mengambil tanganku sambil tersenyum....manis sekali, persis anak kecil. Ia duduk di atas lantai di depanku. "Aku boleh kehilangan apapun di dunia ini. Tapi tidak dengan kehilangan bunda....lagi."

Aku cukup tersentak dengan kalimat yang diucapkan Kevin. Sederhana namun menyimpan makna yang sangat dalam.

"Bunda tahu, selama ini aku sejak Bunda tiba-tiba hilang aku sudah bermusuhan dengan dunia karena sudah mengambil bunda dariku." Ia tertawa kecil. "Tapi baru-baru ini aku berdamai karena sudah membawa bunda kembali."

"Lalu bagaimana jika bunda kembali pergi...."

Belum selesai kalimat tersebut kuucapkan Kevin dengan cepat menyela. "Tidak boleh. Tidak boleh jika tidak atas sepengetahuanku, Bunda. Kalau Bunda pergi, bunda harus bawa aku juga."

Aku tersenyum, air mata tak bisa ku bendung. Aku membungkuk memeluknya dengan erat. "Bunda tidak akan pernah pergi lagi, karena sekarang bunda punya alasan untuk tinggal." Kataku pelan sambil menepuk kecil punggungnya.

"Abang!" Suara Shareen memekik. Segera kami menoleh ke arah yang sama, ke sumber suara yang sedang berdiri dengan berkacak pinggang. Menatap Kevin dengan nyalang.

Kevin hanya membalas dengan menatap  sambil mengangkat sebelah alisnya. Ok! Mari saksikan drama gratis ini.

"Adek sudah bilang jangan peluk bunda. Bunda itu milik adek." Oceh Shareen sambil berlari kecil memelukku erat.

"Terus abang milik siapa?" Tanya Kevin jahil.

"Milik adek juga." Kata Shareen tidak konsisten. Ia dengan cepat beralih memeluk Kevin. "Abang milik adek tapi abang tidak boleh mengambil Bunda." Katanya polos.

"Kok adek serakah?" Kevin pura-pura kesal.

Shareen yang mendengar hal tersebut melihatku dan Kevin bergantian. "Bunda, serakah itu apa?"

"Serakah itu ketika kita mengambil sesuatu lebih dari hak kita."

Shareen memegang dagunya sambil menerawang ke atas, mungkin dia belum paham. "Misalnya Adek sudah memiliki kue, tapi menginginkan kue milik abang Kevin juga." Sambungku pelan agar dia mengerti.

Dia mengangguk pelan.

"Bunda," panggil Kevin setelah kami tersdiam dan hanya memperhatikan Shareen yang sedang menikmati es krimnya. "Bunda dan Om Agil...." Dia menggantungkan kalimatnya seolah ragu untuk melanjutkan. Tapi aku tahu pasti ke arah mana kalimat tersebut tertuju.

"Tidak, Vin. Bunda...."

"Baguslah. Karena Kevin juga tidak setuju." Sambar Kevin cepat menyamoaikan pendapatnya tanpa kuminta.

"Kenapa?"

"Cuma nggak mau bunda menjadi milik orang lain."

"Serakah." Ucap Shareen seakan-akan mengembalikan kalimat Kevin sebelumnya.

Kevin mendelik tajam lalu merebut es krin Shareen dan menimbulkan keributan dan drama yang tidak pernah absen bahkan sehari pun.

***

Katanya banyak yang nunggu. Hehe
Kalian apa kabar?
Lama tak bersua....

Oh iya, selamat menjalankan ibadah puasa untuk yang menjalankan 🥰🥰🥰

Jangan lupa lima waktunya dan terus menjadi orang baik.

Lop yu 🥰🥰🥰😁

Hello (Bye), Future!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang