25

12.2K 1.9K 345
                                    

Dapat kurasakan panas sekujur tubuhku pagi ini, ditambah pusing yang mendera hingga untuk bangun saja rasanya aku tak sanggup. Shareen sejak tadi membantu mengompresku sambil bertanya apakah air yang digunakannya benar atau tidak. Mulut kecilnya tak berhenti berceloteh dan sesekali sesegukan karena takut terjadi apa-apa padaku katanya. Ia bahkan sudah menghubungi Mbak Tyas dan Mbak Nabila tanpa sepengetahuanku.

Kembali kupejamkan mata sambil menikmati tangan kecil Shareen memelukku, terkadang ia medaratlan ciuman di pelipis yang hanya mampu kubalas dengan senyum kecil. Bayangan apa yang terjadi semalam dan kata-kata itu masih menggema dalam ingatan. Menarik hampir semua kewarasan. Semua kenangan indah yang tersisa sebelum kejadian semalam berubah menyakitkan. Kepura-puraanya, nyatanya semua yang ia berikan hanyalah ilusi yang mendorongku lebih jauh untuk sampai pada tingkat aku sangat membenci.

Lalu apa yang harus aku lakukan ketika semua yang terjadi saat ini justru lebih menyakitkan dari apa luka yang ia torehkan dulu. Aku seperti kembali terhempas ke dasar jurang yang gelap, tak mendasar setelah aku coba untuk bangkit dan merangkak ke permukaan untuk sekedar mencari aku ini apa sesungguhnya bagi mereka? Aku merasa seolah akulah benda yang menjadi mainan menarik, terutama untuknya.

"Dek," aku mendengar suara panik dari Mbak Tyas. Aku tersenyum kecil mengingat dari sekian banyak orang masih ada mereka yang selalu mengharapkanku untuk tetap hidup. "panas banget ini masih saja bisa senyum kayak gitu." Omelnya. Salah satu hal yang membuat tidak tega untuk melihat air matanya.

"Sebentar lagi dokter datang." Suara laki-laki? Perlahan aku membuka mata memastikan bahwa tebakanku salah bahwa itu adalah....

Aku melihat Mbak Tyas dengan tanya, kenapa Bang Agil bisa berada di sini? Seolah paham, mbak Tyas justru mengerdipkan mata jail.

Baru saja aku hendak berkata, namun Bang Agil lebih dulu pergi setelah mendengar bunyi bell di luar sana.

"Tadi Om Abang telepon, terus tanyain bunda. Adek kasih tahu kalau bunda sakit." jelasnya.

Aku mengangguk mengerti, tak lama berselang Bang Agil kembali diikuti dengan soorang perempuan berhijab dan mengaku sebagai dokter. Ia memeriksaku dengan telaten dan memberikan resep obat setelahnya kepad Bang Agil. Tak banyak yang bisa aku lakukan selain mendengarkan dan mengikuti sarannya untuk istirahat selama beberapa hari ke depan.

***

Sore ini keadaanku sudah lumayan membaik, setidaknya demamku turun. Mbak Tyas masih ada di tempatku dan mungkin akan menginap atas seizin Kang Adi. Yang tadi siang semoat datang sebelum kembali lagi ke kantornya. Sementara Mbak Bila tidak bisa datang karena sedang berada di Surabaya menunggu kelahiran sang buah hati tercinta.

Bang Agil masih bertahan di sini, dia baru kembali setelah sempat ke kantor. Sudah seperti rumah sendiri saja laki-laki satu ini, ia duduk di sofa menghadap pada televisi yang menayangkan berita. Kalau saja Mbak Tyas tak ada, sudah kuusir dia keluar dari rumah.

"Abang nggak pulang?" Tanyaku sambil sedikit menyindir. Tapi memang dasarnya Bang Agil yang kurang peka atau dia mengabaikan kode dariku ia hanya melihatku sekilas dan kembali menatap televisi.

"Abang nggak pulang?" tanyaku lagi karena tak kunjung mandapatkan jawaban.

Ia berdecak, "pulang kemana sih, Dek? Kamu kan sebentar lagi jadi trmpat abang untuk berpulang."

"hilih, gimbil tik idi ikhliq." kataku menggerutu.

Ia tertawa ringan untuk menanggapi. "sebentar lagi pulang kok, tunggu nyonya besar dulu." katanya.

Aku memgangkat kedua alis, siapa pula yang dia maksud?

"Calon mertuamu sebentar lagi datang." Katanya. Aku kemudian mengerutkan kening.

"Ayo lah ke KUA." Seruku, karena semakin ingin dilawan, semakin tak berhenti untuk menggoda.

"Oke. Mau kita yang ke KUA, atau penghulu datang ke sini?" tanyanya.

Aku memutar bola mata, biarkan saja dia menganggapku tak sopan. "penghulu saja lah yang datang ke sini. Aku malas keluar sampai semuanya sah." jawabku asal nyeplos saja.

"Oke, saran diterima." katanya sambil mengangguk dan kembali fokus pada telivisi di depannya. Nah, benar, bukan? Ia sudah diam. Cara terbaik untuk menanggapi hal seperti itu memang dengan 'meng-iya-kan' saja.

Aku kembali ke kamar setelah mendapatkan air minum yang habis, sengaja aku tidak minta tolong mereka karena sejak pagi aku tidak keluar dari kamar. Sedangkan Bang Agil kubiarkan saja menonton semaunya.

Mbak Tyas sendiri sedang sibuk di dapur dengan Shareen yang belum juga diam dan bertanya ini itu.

Aku meraih posnsel yang tergelak di atas nakas tak kupedulikan sejak pagi tadi. Mataku membelalak kaget melihat puluhan panggilan tak terjawab dari Kevin. Aku juga baru melihat pesan yang sudah menumpuk darinya. Dengan cepat aku mendial nomornya, tak perlu menunggu lama dia menjawab teleponku dengan suara panik.

Sejenak dunia terasa berhenti berputar, aku tidak sadar jika kini tubuhku sudah merosot di lantai. Ponsel yang sejak tadi kutempelkan di telinga pun hampir jatuh jika saja sedikit kesadaranku kembali.

Seketika tangisku pecah, meraung manangisi semua hal tidak baik yang terjadi bertubi-tubi. Aku menepuk dadaku, berusaha meredakan sakit yang teramat dalam.

"Mel, ada apa?" Tanya Mbak Tyas setelah merengkuhku.

Aku menatap matanya Mbak Tyas untuk menyampai berita yang baru saja aku dapat. Karena terlalu berat untuk diucapkan. Namun, wanita ini tidak juga mengerti, akhirnya ia mengambil ponsel dari tanganku. Melihat siapa yang baru saja bicara. Aku yakin Kevin masih di seberang sana dan pasti menyampaikan berita duka itu, hingga raut wajah Mbak Tyas berubah sendu.

"Bapak, Mbak, Bapak meninggal dan aku tidak ada di sampingnya." kataku putus-putus di sela-sela tangis. Mbak Tyas mengerat pelukannya di tubuhku. "aku ingin melihatnya, Mbak." ucapku lagi.

Mbak Tyas langsung mengangguk membantuku untuk berdiri dan menuntunku hingga mobil yang masih terparkir di basement gedung apartement yang aku tempati. Di dalam mobil Shareen tak mau sedikitpun melepas pelukannya dariku, bahkan ketika Mbak Tyas merayunya agar gadis kecilku ini mau dipangku olehnya.

Di balik kemudi ada Bang Agil yang fokus menyetir, ia sama sekali tak bersuara selain hanya menawarkan diri untuk mengantar kami ke temoat tujuan. Hati semakin terasa nyeri saat tahu bahwa ternyata Bapak sudah selesai di kuburkan. Di akhir panggilanku dengan Kevin tadi, aku mendengar nada kecewa darinya. Mungkin karena sejak pagi aku mengabaikan panggilan darinya. Tapi aku benar-benar tidak sengaja.

Sesampainya di area pemakaman, aku bisa melihat Kevin yang masih tertunduk di depan kuburan Bapak Wijaya. Begitu oula beberapa orang lain yang entah sejak kapan mereka di sini.

"Vin...." panggilku pelan, aku tidak bisa menghalau air mata dan suara bergetar yang keluar.

Kevin balas menatapku dengan jejak air mata yang masih tersisa. Ada gurat sakit dari tatapannya yang baru pertama kali aku lihat. Dia menatapku dalam seolah ingin menyampaikan sesuatu.

***

Tbc

Halooooo sayang-sayangnya akuh... Haha..

Apa kabar kalian?
Adakah yang masih menunggu?
Maafkan daku yang menghilang tanpa kabar serasa ditinggal pas lagi sayang-sayangnya gak sih?

Pokoknya pesanku untuk kalian semua, tetap jaga kesehatan ya..pandemi tidak sedang bercanda.
Kalian boleh aja gak percaya ko***a tapi setidaknya kalian bisa mengikuti anjuran pemerintah. Maka kalian bisa tau siapa yang benar dan dapat dipercaya.

Jangan lupa lima waktunya ya....
Lop yu. 😘😘😘

Hello (Bye), Future!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang