1

4.8K 373 66
                                    

SRAK

"HIYAA!"

Aku terus menghentak tali pengekang kuda dengan kuat. Kedua tanganku mencengkram seakan tiada hari esok jika aku melepasnya. Deru napasku ikut memburu, seirama dengan hentakan keempat kaki kuda yang kutunggangi.

Kepalaku terus menoleh ke belakang. Pun keringat yang kurasa terus membanjiri kulit tubuhku; terbukti dengan pakaian tidur yang ku gunakan sudah lepek oleh keringat. Tanpa alas kaki, ku hentakkan kakiku; menyuruh kuda yang kutunggangi agar menambah kecepatan berlarinya.

Takut. Perasaan takut semakin detik semakin menggerogoti diriku tatkala telingaku mendengar suara derap kaki kuda yang bergerombol dibelakangku.

Sesekali aku sesegukanㅡmenahan tangis ditengah fokusku mencari jalan keluar dari hutan ini. Penerangan yang sangat minim membuat penglihatanku sedikit buram. Cahaya dari bulan purnama yang menyirami celah pepohonan tidak membantu sama sekali.

Aku tidak ingat apa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja tanpa bisa ku kontrol. Tanganku bahkan bergetar ketika mengingat kembali wajah ayahku yang menatapku dengan penuh rasa sedih.

Genangan darah yang mengotori lantai rumah membuatku segera berlari cepat tanpa pikir panjang. Tidak satupun senjata yang berhasil menemani dalam pelarianku. Bahkan suara jeritku tertahan ditenggorokanㅡtidak keluar sebagaimana mestinya.

Namun meski begitu, aku masih mengingatnya. Mengingat orang-orang yang berada di dalam rumahku, membunuh semua anggota keluargaku dengan kejam; adikku yang begitu manis tertusuk dua pedang sekaligus, ayahku kehilangan kedua tangannya dan ibuku tidak lagi memiliki tubuh yang utuh.

Kejam. Menakutkan. Aku hanya bisa menahan napas dari balik pintu ketika orang-orang itu tertawa sembari menusuk-nusuk tubuh adikku.

Setiap tarikan napasku terasa begitu menyakitkan dan mendorongku ke dalam ruangan sempit tanpa udara. Seluruh tubuhku pun bergetar ketakutan menyaksikan mereka semuaㅡmelihat ayahku yang menahan sakit begitu beberapa garpu makan menusuk perutnya.

Mereka siapa?

Malam itu, dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat ayahku yang masih berusaha menatapku ditengah rasa sakitnya.

Kedua pipiku sudah basah karena air mata. Suaraku mencoba berbisik memanggil kedua orang tuaku ditengah persembunyianku.

Apa yang terjadi?

Kenapa tiba-tiba seperti ini?

Bukan'kah ini perayaan natal?

Mataku membulat merasa tidak percaya atas apa yang kulihat. Apa ini hanya mimpi? Apa aku sedang tertidur lagi di kamar mandi? Bagaimana bisa ini menjadi mimpi buruk yang bahkan terasa sangat nyata?

Aku mencoba mengamati orang-orang yang masih berdiri mengacak-acak ruang pertemuan keluarga. Mereka semua memakai pakaian hitam dan tertawa penuh kebahagiaanㅡ

ㅡterkecuali satu orang.

Sosok itu memakai jubah berwarna biru; terlihat mencolok diantara warna hitam yang mengelilinginya. Berdiri didepan mayat ayahku dengan tubuh gagahnya yang tegap, dengan tangan kanan yang memegang sebuah pedang besar yang terlihat terus meneteskan darah segar.

Beberapa detik kemudian, seakan dihantam batu besar, aku terkesiap begitu berhasil mengenali sosok itu.

Sosok yang mengenakan jubah biru dengan lambang naga bersayap satu.

Satu-satunya sosok yang memiliki pedang dengan permata merah di kerajaan.

Pedang yang begitu bercahaya. Begitu cantik dan menyilaukan pandangan siapapun. Pedang yang diketahui bergerak brutal tanpa kenal hari esok.

I Meet The Villain Who Was Real TyrantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang