Jimin menghentikan langkahnya. Binarnya menemukan sosok Yustaf tidak jauh dari gedung barat istana; tengah berdiri, seakan menanti seseorang. Pemandangan itu lantas membuatnya mengernyit heran.
Yustaf sendiri menegakkan tubuh saat melihat Jimin berada beberapa meter di depannya. Tanpa banyak bicara, pemuda itu segera berjalan mendekat. "Jimin, apa kau punya waktu?" Dia bertanya. Tidak ada senyum apalagi sapaan akrab. Ekspresi seriusnya justru membuat Jimin semakin merasa heran. "Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu.." Ucapannya terdengar mendesak dan penuh tuntan.
Terdiam beberapa detik, si mungil akhirnya mengangguk setuju, "Tentu.." Dan dengan begitu, mereka berdua mulai beranjak mencari tempat berbicara.
Jungkook memperhatikan semua itu dari balik jendela kamarnya. Siapa sangka sang pangeran sudah lebih dulu memperhatikan sebelum Jimin menyadari keberadaan Yustaf.
Dengusan berat kemudian mengudara. Air muka yang tenang serta binar tanpa emosi miliknya, membuat siapapun tidak bisa menebak isi kepalanya saat ini.
∵13∵
Meja panjang berada ditengah ruangan. Sekitar lima belas deret kursi berjajar rapi melengkapi kekosongan setiap sisi dari meja tersebut. Ada sebuah peta besar, ada pula patung mini berbentuk kuda. Baju zirah milik prajurit kerajaan Slymburgh terpajang apik pada sebuah manekin di setiap pojok ruangan.
Ya. Dari sekian banyak tempat yang dapat merangkai pembicaraan, Yustaf membawa Jimin ke dalam ruang rapat milik prajurit Slymburgh. Tempat yang biasa digunakan para prajurit ketika harus membahas strategi serta rencana keamanan wilayah kerajaan itu terlihat sepi; hanya ada mereka berdua.
"Maaf, aku hanya bisa menyajikan teh padamu," Yustaf tersenyum meminta maaf setelah sebelumnya mempersiapkan jamuan sederhana untuk tamunya.
Saat ini, posisi keduanya saling duduk berhadapan. Meski jarak keduanya dapat dibilang cukup jauh karena terhalang meja besar, namun itu lebih baik ketimbang duduk bersebelahan.
Yustaf ingin membicarakan sesuatu. Sore hari menjelang senja, bukanlah waktu yang tepat bagi seseorang untuk memulai afternoon tea. Dan melihat bagaimana pemuda itu membawa Jimin ke tempat ini, sepertinya pembicaraan mereka sangat darurat.
"Tidak apa-apa. Aku sudah cukup kenyang jika harus memakan kue kering lagi.." Jimin tersenyum ramah. Mengatakan pada Yustaf bahwa jamuan tidak begitu penting untuk menemani diskusi mendesak mereka.
Uap panas yang berasal dari secangkir teh, mengepul di udara. Jendela besar yang masih mempertontonkan langit senja seakan menjadi pelengkap dari keheningan ini. Dengan sabar, Jimin menanti Yustaf membuka perbincangan. Mata sipitnya tanpa lelah mengamati sahabatnya sebelum turun melihat pantulan wajahnya dalam genangan teh.
"Kapan terakhir kita menikmati afternoon tea bersama?" Suara Yustaf akhirnya menarik atensi, "Aku merindukan saat-saat seperti ini.." Menelisik cara pemuda Hashell menikmati teh meski kedua alisnya bertaut.
"Mungkin tiga minggu yang lalu? Kita jarang mengobrol karena pekerjaan masing-masing.." Jimin membalas tenang. Tidak menampik fakta bahwa mereka berdua mulai sibuk menangani pekerjaan di usia yang hampir menginjak dua puluh tahun.
"Ah ya.., kau benar.." Kali ini, Yustaf ikut mengamati wajahnya melalui pantulan air teh. "Pekerjaan.. Aku tidak tau jika hari dimana aku menangani pekerjaan Ayah, akan tiba.."
"Ngomong-ngomong, aku mendengar bahwa kebun chamomile milik keluargamu mengalami permasalahan," Seperti baru mengingat sesuatu setelah mendengar kata pekerjaan, Yustaf segera mengangkat satu topik yang berhubungan dengan Jimin. "Apa semuanya baik-baik saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Meet The Villain Who Was Real Tyrant
FanfictionKesalahan yang tidak dipahaminya membuat Jimin harus menderita. Ia kehilangan keluarga, di penjara dan dihadapkan oleh seorang penjahat yang bahkan membunuh keluarganya sendiri tanpa belas kasih. Sosok itu begitu ditakuti. Hatinya yang dingin serta...