2

2.3K 246 25
                                    

Jimin hampir menangis ketika langkah kakinya memasuki ruang makan. Kedua matanya dapat melihat dengan jelas bagaimana ayah dan ibunya tengah menyantap sarapan pagi dengan penuh khidmat. Pun Isa duduk disebelah ibunyaㅡsesekali berbincang dan tertawa kecil.

Jantungnya berdentum menyenangkan begitu mengetahui fakta bahwa keluarganya masih hidup dan mampu tersenyum. Tidak seperti masa lalunya yang begitu rumit untuk dicerna akal sehat; kali ini ia tidak ingin semuanya kembali hancur seperti saat itu.

Ia berjanji akan memperbaiki keadaan.

Kesempatan kedua yang diberikan Tuhan tidak akan disia-siakannya.

Nyonya Park yang sibuk mengoles selai pada lembar roti, menoleh melihat pintu ruang makan. Kedua matanya melebar saat menemukan Jimin sudah berdiri kaku dengan wajah memerah menahan tangis. "Astaga, Jimin?!" Suara terkejutnya menyadarkan kepala keluarga serta Isa yang masih asyik mengunyah puding coklatnya.

Dia lantas berlari tergesa menghampiri Jimin. Gaun berwarna grey dengan hiasan butiran berlian kecil yang bertabur pada bagian rok bawah berbentuk ball gown itu membuat kesan cantik, mewah sekaligus memukau ketika Nyonya Park berlari mendekati anaknya. Meskipun pakaiannya terlihat berat, nyatanya wanita dewasa itu tidak merasa terhalangi untuk mendekati anaknya. Seakan sudah terbiasa, Nyonya Park dengan cepat meraih Jimin dan menghapus air matanya.

"Kenapa kau menangis? Ada apa Jimin?" Suara lembutnya segera menyambangi gendang telinga Jimin. Tangannya terus berusaha menghapus air mata anaknya meski kini wajahnya terlihat khawatir bercampur bingung. "Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?"

Jimin tidak tahan. Semakin membiarkan air matanya mengalir begitu melihat ibunya dari jarak yang sedekat ini. Wanita yang telah melahirkannya itu masih membuka mata. Masih berbicara padanya dan masih bernapas teratur. Lalu tanpa kata, Jimin tiba-tiba meraih ibunya untuk dibawa masuk ke dalam pelukan. "Ibu!" Panggilnya sesenggukan. Kedua tangannya semakin mengeratkan pelukannya tanpa membiarkan ibunya bertanya lebih jauh. "Ibu!"

Tuan Park yang melihat adegan itu, segera meletakkan cangkir kopinya dan berjalan mendekati istri serta anaknya. Wajahnya sama bingungnya ketika bertukar pandang dengan istrinya. "Jimin? Ada apa?" Suaranya menggema ditengah isak tangis Jimin. Dibelakang Tuan Park, Isa sudah meremat ujung pakaian ayahnya dan menatap sedih pada kakaknya.

Jimin bersyukur. Sangat bersyukur. Tuhan kembali memberinya kesempatan untuk bertemu dan berkumpul bersama keluarganya. Pelukan hangat ibunya membuat Jimin semakin membulatkan tekadnya.

"Oppa.." Isa memanggil lirih. Kedua sudut bibirnya sudah melengkung ke bawah saat Jimin tidak hentinya memanggil ibu dan ayah.

"Apa yang terjadi?" Sembari menenangkan anak pertamanya, Nyonya Park mencoba bertanya kembali. Kedua tangannya mengusap-usap punggung Jiminㅡbegitu lembut dan penuh kehati-hatian. Pun binar matanya terlihat menggantungkan kekhawatiran yang amat besar. "Jimin?"

"Ibu, Jimin Oppa bermimpi buruk.." Tidak tahan mendengar suara tangis Jimin, Isa akhirnya bersuara menjawab kebingungan ayah dan ibunya. Mata bulatnya yang begitu bening, mengamati ibu dan ayahnya secara bergantian. "Saat Isa membangunkan Jimin Oppa, Jimin Oppa berkeringat dan  wajahnya sangat pucat.." Dia memberitahu apa yang sudah dilihatnya sebelumnya. Tangan-tangan mungilnya bergerak menuju wajah dan menutupi kedua pipi gembulnya yang merah. "Oppa sangat kesakitan, ibu.. Jimin Oppa benar-benar ketakutan..."

Mendengar cerita anak bungsunya, Nyonya Park lantas mengeratkan pelukan. Suara lembutnya menenangkan Jimin dan bibirnya mengecup kepala anaknya tanpa henti. "Jimin.. Sayangku, apa kau benar bermimpi buruk?" Tanyanya pelan. Kedua tangannya kemudian melepaskan pelukan hanya demi melihat wajah berantakan anaknya itu.

I Meet The Villain Who Was Real TyrantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang