Hari itu, segerombolan awan berlomba memayungi langit yang cerah. Kedua mataku melihat jelas bagaimana awan-awan itu berhasil menghalangi matahari dari tugas utamanya. Begitu juga dengan pohon-pohon besar yang menggoyangkan tangkai mereka ketika hembusan angin bertamu. Tempat ini menjadi sangat sejuk; tidak panas, tidak pula dingin.
Aku lalu mengamati sekelilingku. Tempat ini begitu sepi. Tidak ada siapapun kecuali diriku. Hanya ada buku-buku tebal yang ku bawa untuk ku pelajari.
Ah.. Aku iri. Bahkan awan-awan itu datang bersama. Mereka memiliki teman yang bisa diajak untuk saling bekerja sama.
Meskipun tempat ini sangat tenang, tapi aku rasa tidak ada anak kecil yang ingin pergi ke tengah hutan seperti aku. Mereka akan lebih memilih bermain di pusat kota bersama teman-teman mereka daripada memasuki hutan yang sudah pasti sangat berbahaya.
Tapi disamping itu, aku sangat menyukai tempat ini. Disini, tidak ada siapapun yang akan memarahiku. Aku tidak perlu menunduk setiap kali mereka mulai menyadari keberadaanku. Aku bahkan tidak perlu susah payah menahan tangis mendengar amarah ibu.
Disini, aku bisa menemukan ketenangan ku sendiri. Merasa bebas tanpa ada seorangpun yang membatasi pergerakanku.
Setelah puas mengamati langit, aku kemudian memutuskan untuk membuka salah satu buku tebal yang ku bawa. Beberapa halaman telah ku lipat kecil dan itu merupakan tanda jika aku telah menyelesaikan bacaan. Namun tujuanku bukan untuk melanjutkan paragraf selanjutnya; melainkan mencari setangkai bunga daffodil kering yang ku buat menjadi pembatas buku.
Bunga daffodil nan cantik. Aku ingat ketika pertama kali mendapatkannya. Ini adalah bunga yang ibu taruh di dekat bantalku dua tahun lalu. Ketika usiaku lima tahun, ibu begitu sering mengunjungi kamarku di malam hari untuk menceritakan kisah menakjubkan dari buku dongeng.
Dengan senyum kecilnya, ibu mengatakan jika aku pantas untuk berbahagia. Ibu selalu menghilangkan ketakutanku saat aku mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang dewasa itu. Ibu bilang jika aku adalah putra kebanggaan semua orang di wilayah ini. Aku harus bahagia dan tidak boleh menangis.
Aku tau bahwa ibu selalu memperhatikanku. Senyuman kecil yang terkadang dilukisnya, merupakan senyum terhangat yang mampu membuatku bermimpi indah. Aku sangat mengaguminya. Hanya ibu yang ku miliki saat semua orang selalu menjauhiku.
Sayangnya, dua tahun telah berlalu setelah senyum terakhir itu. Sekarang, ibu jarang tersenyum. Seiring bertambahnya usiaku, ibu pun berhenti mengunjungiku. Tidak ada lagi kisah menakjubkan sebelum tidur ataupun senyum hangat pembawa mimpi indah.
Aku tidak tau apa salahku. Setiap kali ibu datang, hanya bentakan amarah yang terdengar. Wajah ibu begitu dingin tanpa senyuman. Dia juga selalu mengatakan jika aku tidak boleh menjadi orang lemah dan harus banyak belajar. Kalimat ibu selalu tajam dan itu membuatku ingin menangis. Namun aku tidak boleh menangis karena ibu pasti akan menamparku lagi.
Ejekan dan ucapan kasar orang-orang semakin mengerikan bagiku. Aku bahkan tidak bisa menenangkan diri saat ibu berkunjung dan menyuruhku untuk menguasai semua bidang. Apabila aku mengatakan tidak bisa, ibu akan memarahiku dan menamparku. Membuatku semakin ketakutan dan hampir melupakan semua kenangan indahnya.
Aku tidak tau apa yang membuat ibu berubah. Tapi jika aku belajar dan menguasai semua bidang, akankah ibu kembali tersenyum seperti dulu?
"Huh? Kenapa kau sendirian disini?"
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki disampingku. Jantungku berdegup gugup saat mengetahui bahwa bocah laki-laki yang seumuran denganku terlihat berdiri disebelahku. Melalui pantulan air danau, aku bisa melihat sosoknya yang mungil dan gembul.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Meet The Villain Who Was Real Tyrant
FanfictionKesalahan yang tidak dipahaminya membuat Jimin harus menderita. Ia kehilangan keluarga, di penjara dan dihadapkan oleh seorang penjahat yang bahkan membunuh keluarganya sendiri tanpa belas kasih. Sosok itu begitu ditakuti. Hatinya yang dingin serta...