Jejak #11

3 0 0
                                    

"Tulisan tangan?" Dani mengernyit. "Memangnya apa yang bisa kita lakukan dengan tulisan tangan? Mau ngecek satu-satu tulisan tangan murid satu sekolah?"

"Tepat sekali!"

"SERIUS?!!"

"Serius lah," jawab Anna dengan penuh keyakinan. "Orang yang bisa nulis dengan serapi ini sampai keliatan kayak hasil ketikan pasti nggak banyak, mestinya nggak susah nemuinnya. Kita bisa cek dari buku-buku latihan dan kertas-kertas ulangan esai yang dikumpulin di meja-meja guru."

"Itu banyak banget loh, Na."

"Kita ngeceknya dari tulisan namanya aja biar cepat. Orang-orang belum tentu nulis dengan tulisan yang baik di buku latihan atau esai, tapi biasanya bakal ngasih effort lebih kalo nulis namanya sendiri."

"Iya juga sih. Tapi Na ..."

"Apa?"

"Kau yakin yang kali ini bakal berhasil?"

Anna terdiam mendengarnya. "Entahlah," jawabnya beberapa saat kemudian. "Aku juga nggak yakin. Tapi lebih baik daripada nggak ngapa-ngapain sama sekali kan? Dan jelas lebih bermanfaat daripada mikirin gosip orang-orang atau kakak kelas yang merokok ganja."

"Haah? Ngapain juga kau mikirin kakak kelas yang merokok ganja. Memangnya kakak kelas itu gebetanmu? Kok aku baru tau kau punya gebetan?"

Anna tersadar oleh ucapan Dani itu. Dia memang belum pernah cerita sama sekali soal kak Silvya dan senior nyolot itu ke Dani. Bukan karena sengaja mau merahasiakan, tapi karena menurutnya itu nggak penting-penting amat selain buat jadi bahan gosip.

"Aku nggak punya gebetan kok, cuma ..." Anna menceritakan perihal itu pada Dani, termasuk bagian syoknya karena pertama kali melihat ganja secara secara langsung.

"Sebenarnya aku heran sendiri kenapa bisa sampai kepikiran banget soal ini. Aku malas cari ribut, jelas aku gak bakal ngelaporin ini ke siapapun. Tapi feeling-ku terus bilang bahwa aku gak boleh mengabaikan hal ini," kata Anna menutup ceritanya.

Dani mengerutkan kening mendengarnya. Daripada soal konteks cerita itu sendiri, dia lebih terganggu dengan Anna yang menyebut-nyebut soal feeling. Apa jangan-jangan inilah yang akan menjadi masalah tambahan gara-gara kekepoan sahabatnya itu? Sepertinya begitu.

"Udahlah, cuekin aja dua kakak kelas itu, gak usah dipikirin dan gak usah ikut campur segala," kata Dani. "Memang mendingan kau pikirin aja penyelidikanmu ini. Sampai di mana kita tadi?"

"Sampai di mau meriksa nama-nama murid yang ditulis sendiri sama yang bersangkutan, biasanya ada di buku latihan atau kertas ulangan," jawab Anna. "Tapi aku bingung gimana caranya kita meriksa nama sebanyak itu di ruang guru tanpa ditanyain."

"Gimana kalau minta bantuan Mika? Kan dia udah nawarin, berarti dia tau caranya kan?"

"Jangan, dia sibuk. Mending minta tolong sama orang yang punya kemampuan mirip tapi gak sibuk-sibuk amat ... Oh ya, Daniel!"

Oh s**t! Dani memaki dalam hati begitu nama Daniel disebut. Setelah akhirnya bisa tenang sejak cowok itu tidak lagi punya urusan dengan mereka, sekarang Anna malah mau minta bantuannya lagi?! Kenapa sih Anna segitu nggak mau-nya dibantuin Mika?!!

Ah ya, dia baru habis digosipin sama Mika, dan terang-terangan bilang gak mau berurusan lagi sama Mika kecuali terpaksa. Yeah, kalo masih ada Daniel kenapa harus minta tolong sama Mika kan?

Sial.

Selagi Dani sibuk merutuki perkembangan situasi, Anna segera mencari nomor kontak Daniel dari grup chat kelasnya. Dia baru akan menekan tombol 'panggil' sebelum kemudian memutuskan untuk mengirimkan chat saja ke cowok itu.

Jejak KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang