Part-13 CEMAS

0 1 0
                                    

Aku selalu  menjalani kehidupanku dengan keyakinan, dan semangat yang tak pernah pudar. Saat di rumah, tak pernah sedikitpun aku lalai menjalankan kewajibanku sebagai seorang anak, dan sebagai muslimah.

    Aku terus menimba ilmu di Pondok dan juga  sekolah, sebagai wujud bakti dan keharusan atasku. Aku juga berusaha menunaikan tugas sebagai sesama muslim,  yaitu menyeru pada kebaikan, dan mengajarkan ilmu agama sejauh yang ku mampu.

    Meskipun aku sadar, banyak sekali hal yang perlu ku pelajari dan benahi. Tanpa ku sadari, enam bulan sudah aku mengajar di Desa Pal Tujuh.

    Muncul satu masalah baru, di luar dugaan dan juga nalar manusia. Kedua kakak ku jatuh cinta pada gadis yang sama di Desa tersebut, tapi gadis tersebut memilih kakak kedua ku yaitu kak Asfar. Akan tetapi, mereka memintaku merahasiakan hal ini dari ayah dan ibu. Kak Asfar berjanji, setelah waktunya tepat dia sendiri yang akan mengatakan pada ayah. Aku menyetujui ucapan Kak Asfar, segalanya berjalan begitu saja laksana air yang mengalir.

    Hingga pada suatu hari, aku yang selama ini terlalu padat dengan berbagai kegiatan akhirnya jatuh sakit,


akibat cidera yang ku alami. Sebenarnya, aku tidak boleh terlalu lelah, karena kelelahan akan membuat kesehatan ku memburuk.

    Semangat untuk maju dalam diriku, membuatku melupakan semua yang telah Dokter katakan. Hingga akhirnya, aku jatuh pingsan setelah pembagian raport semester ganjil.

    Satu minggu lamanya, aku hanya berbaring di tempat tidur. Sore itu, saat aku merasa kondisiku semakin lemah, aku meminta kepada ayah untuk memanggilkan orang tua angkatku yaitu Bapak Sani. Aku ingin, Bapak Sani membacakan Surat Yasiin untuk ku.

    Mendengar permintaanku, tangis ayah dan ibu pun pecah. Mereka begitu cemas memikirkan keadaanku yang semakin hari kian melemah. Ayah sudah membawaku ke Dokter Anwar, biasanya aku langsung sehat kalau sudah mendapat perawatan dari Dokter Anwar, tapi tidak kali ini.

    Selepas shalat maghrib aku kembali kehilangan kesadaranku. Seluruh tubuhku dingin seperti es, dan wajahku pucat pasi seperti mayat. Dalam kondisi tidak sadarkan diri lisanku terus melafadzkan Ayat-Ayat Al-Qur’an.

    


    Ayah segera meminta Kak Asfar, untuk pergi menemui Bapak Sani dan membawanya ke rumah. Melihat kondisiku, Bapak Sani meneteskan air mata. Bersama dengan ayah dan ibu, Bapak Sani membacakan Surat Yaasiin untuk ku.

    Mereka sudah tiga kali membacakan Surat Yaasiin, akan tetapi aku masih juga belum sadarkan diri. Samar-samar, aku bisa mendengar percakapan orang-orang di sekitarku, tapi aku belum bisa membuka mata ataupun menggerakkan tubuhku.

    Lirih kudengar, ibu dan ayah berdo’a meminta kepada Allah, jika aku tidak bisa disembuhkan maka mereka ikhlas  menggantikanku asal Allah menyembuhkanku. Air mataku mengalir dengan sendirinya, betapa tulusnya cinta kedua orang tua kepada anaknya.

   

   Orang tua sanggup menukar nyawa mereka, untuk anak-anaknya. Lalu, bagaimana bisa cinta yang seperti ini dinodai dengan kedurhakaan.

    Dalam hati aku meminta kepeda Allah, untuk menjaga kedua orang tua ku. Sungguh betapa beruntungnya aku memiliki keduanya, yang siap mengorbankan dirinya untuk kesembuhanku, setelah beberapa jam aku akhirnaya bisa membuka mataku dan menggerakkan jariku.



    Ibu, yang melihatku mulai, sadar langsung memelukku sambil menangis sesenggukan.

“Nak, kamu membuat Ibu mu ini sangat cemas. Rasanya Ibu berhenti bernapas melihatmu seperti ini,”

HARAPAN YANG TAK PERNAH PUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang