Dua hari di perjalanan tapi kami belum juga sampai ke Lampung, karena bus yang kami tumpangi rusak. Aku sudah semakin gusar, berhubung saat ini adalah bulan Ramadhan, menjalani puasa di jalan amatlah berat rasanya, akan tetapi aku tetap berusaha tenang. Saat bus kami sudah diperbaiki, di perjalanan tepat jam dua dini hari, ketika bus melakukan pemberhentian, Kak Fir turun membeli makanan untukku makan sahur.
Aku yang kelelahan dan juga demam tertidur dengan sangat pulas. Aku tersadar ketika bus mulai melanjutkan perjalanan. Aku meminta kondektur bus untuk menghentikan laju bus karena kakakku masih tertinggal. Sementara itu, Kak Fir yang melihat bus sudah melaju dia lari tunggang langgang mengejar bus yang kami tumpangi, yang ada dalam pikirannya hanya aku.
Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke Lampung, ke mana bus akan membawaku, karena terlalu khawatir Kak Fir sampai melepaskan alas kakinya dan terus berlari dengan kaki telanjang.
Sekitar dua ratus meter perjalanan yang ditempuh oleh bus yang kami tumpangi barulah Kak Fir bisa menyusul, itupun karena kondektur bus menghentikan laju bus yang
membawaku. Kak Fir langsung memelukku dengan tubuh gemetaran
“Ya Allah, Dik, kamu tahu betepa kakak khawatir?” ucapnya penuh kekhawatiran. “Maaf, Kak, tadi kepalaku berat sekali rasanya, aku baru sadar saat bus berjalan,” jawabku
Lalu, Kak Fir mengeluarkan makanan yang tadi dia beli untukku, dan menyodorkannya padaku sambil berkata
“Ini cepatlah sahur, kamu sedang kurang sehat jadi jangan biarkan perutmu kosong!”
Perlahan aku menyuap makananku meski rasanya perutku sangat mual. Keesokan hari tepat pukul 14:00 WIB, akhirnya kami sampai di tempat tujuan di mana kedua orang tua dan ketiga adikku tinggal.
Melihat kedatanganku, Adis yang tidak sabar langsung bercerita panjang lebar tentang segala yang terjadi termasuk tuduhan salah satu kerabat ayah bahwa kedatangan ayah kembali ke lampung adalah untuk menguasai rumah peninggalan nenek. Sejak saat itu ibu jadi sakit-sakitan.
Mendengar semua cerita Adis hati ini terasa bergetar,Ya Allah sebatas itukah arti persaudaraan, kenapa harta selalu menjadi jurang pemisah antar
saudara. Kenapa ayah dan ibu harus selalu menghadapi ujian berat tanpa henti. Bertubi-tubi, tapi aku sudah di sini, takkan kubiarkan siapa pun merendahkan orang tuaku. Jika ada yang berani melakukan itu, maka dia harus berhadapan denganku.
Malam hari sepulang shalat Tarawih, kami berbincang-bincang karena kebetulan adik laki-laki ayah yaitu Paman Syamsudin datang berkunjung untuk bertemu denganku. Ibu bertanya tentang keadaan di sana, aku dan Kak Fir saling memberi kode siapa yang akan bercerita. Akhirnya kak Fir menyuruhku yang menceritakan segalanya.
Aku menceritakan segalanya tentang yang terjadi, dan perihal kak Indra yang ku usir dari rumah, karena aku sudah sangat gusar dengan perilaku buruk dan mulut kotornya. Mendengar penuturanku ibu meneteskan air mata dengan suara lirih dia berucap
KAMU SEDANG MEMBACA
HARAPAN YANG TAK PERNAH PUDAR
JugendliteraturNamaku Annisa, aku anak tengah dari tujuh bersaudara. Seorang gadis kutu buku lagi kuper, tapi aku adalah putri kesayangan ayah. Akan tetapi, hal itu tidak membuat ku lantas menjadi gadis manja. Saat waktunya aku masuk SMA ayah harus membayar h...