Part-22. DERITA TIADA AKHIR

2 1 0
                                    


    Hari pertama masuk sekolah, aku langsung berteman dekat dengan seorang siswi yang juga memiliki prestasi cukup bagus di sekolah ini. Iis Apriyani, dia menjemputku di rumah dan berangkat ke sekolah bersama. Setibanya di sekolah Iis mengenalkanku kepada teman-teman yang lain.


    Salah satunya adalah Eno Suseno, seorang siswa berbadan gemuk dengan senyum yang selalu mekar di bibirnya. Gayanya konyol dan suka membuat orang lain tertawa, saat Iis memperkenalkanku padanya dengan cepat dia mengulurkan tangannya. Sedangkan aku mengatupkan tanganku di depan dada karena aku tidak pernah mau berjabat tangan dengan pria yang bukan muhrimku. Sontak saja Eno menarik kembali tangannya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.


    Teman-teman yang lain tertawa melihat apa yang terjadi, karena selama ini tidak ada satu pun siswi yang sepertiku. Eno dengan gaya lucunya memperkenalkan dirinya padaku

”Hei, kenalkan, namaku Eno Suseno Hanungprasetyo Ketiban Kelopo Ora Opo-opo,” ucapnya dengan wajah serius dan meyakinkan.                                                    “Saya, Annisa,” ucapku memperkenalkan diri.                  “Wow, nama yang cantik,” ucap Eno



    Iis dengan cepat menyahut, dan memotong ucapan Eno

“Secantik orangnya, ya kan, No?” seloroh Iis


    Sambil geregetan Eno menjawab ucapan Iis

“Elo mah ganggu aja, Is,” keluhnya pada Iis

Sontak teman-tman dikelas tertawa.Lalu Iis, menoyor dahi Eno

“Lagian, elo mah kelamaan kenalannya, yang lain juga kepengen kenalan kali,” ucap Iis sinis


    Satu persatu setiap siswa memperkenalkan dirinya, terakhir seorang siswa bernama Kandi, dan ternyata dia dalah sang juara kelas. Hanya ada satu siswa yang tidak ikut memperkenalkan dirinya, dan dia menatapku dengan tatapan tidak yang sulit diartikan.


    Aku pun tidak perduli, aku tidak mengenalnya jadi bagiku tak ada urusan dengannya. Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar aku bisa mengikuti pelajaran sesuai kurikulum di sekolah ini, karena pada dasarnya aku dari sekolah Umum dan di sini aku masuk ke Aliyah. Banyak pelajaran yang mesti ku sesuaikan, tapi aku tetap optimis dalam belajar.


    Aku juga tidak pernah merasa segan bertanya kepada Kandi dan Iis, jika ada pelajaran yang kurang kufahami selama ketertinggalanku.



    Dua minggu sudah aku menempuh pendidikan di Aliyah. Meskipun sebelumnya aku menempuh pendidikan di sekolah Umum, tapi aku sama sekali tidak mengalami kesulitan karena semua pelajaran di Aliyah sudah ku peroleh dari Pondok Pesantren.


    Sementara itu, kak Fir juga menikmati hari-harinya sebagai penjual baklor dan es gogo. Dia juga memiliki teman dekat, dan sering mengajak temannya ke rumah, tapi entah kenapa aku merasa tidak suka melihat teman kak Fir itu. Terlihat dari wajahnya seperti wajah yang penuh misteri dan ketidakikhlasan. Namun aku mengabaikan perasaanku karena aku sadar kak Fir butuh teman bicara untuk menghibur dirinya dari rasa patah hati yang dia rasakan.

HARAPAN YANG TAK PERNAH PUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang