Satu masalah bernama Indra telah pergi. Duri dalam daging bagi kehidupan ayah dan ibu kini telah menjauh. Jauh di lubuk hatiku, aku masih berharap dan mendo’akannya agar dia kembali pada jalan yang lurus, jalan yang Allah ridhoi.
Aku sendiri terus berusaha berdamai dengan hatiku. Meskipun sangat sulit, bayangan ibu yang terus mengatakan bahwa dia membutuhkanku terus hadir di dalam mimpiku. Namun setiap aku menelepon, ayah selalu mengatakan bahwa segalanya baik-baik saja. Lalu perasaan apa ini?
Tiba-tiba seseorang menutup mataku dari belakang, dan membuyarkan lamunanku.
”Ayo tebak, siapa?”
Suara centil dan sedikit manja yang tidak asing di telingaku. Sambil melepaskan tangannya dari mataku aku menjawabnya
”Wati,”
“Wow pinternya, tepat banget tebakannya. Ngomong-ngomong ngapain sih ngelamun sendirian? Aku cari-cari sejak tadi tahu,”
Wati berkata sambil mengerucutkan bibirnya. “Ada apa mencariku?” ucapku tanpa melihat ke arah Wati.
“Ke kantin yok, aku mau curhat,”
“Ngapain sih, curhat aja mesti di kantin? Aku lagi malas gerak. Curhat di sini aja! Merepotkan,” gerutuku.
Aku merasa kesal, menurutku terkadang Wati tidak bisa melihat situasi dan kondisi yang dialami orang lain saat ingin curhat. Saat ini aku sendiri sangat tertekan, dia malah memaksa ingin curhat. “Ayolah, aku traktir,” ucapnya. “Sudah ku bilang aku malas, kamu kan tahu aku ga suka nongkrong di kantin. Maksa banget sich, kalau curhat-curhat aja ngapain coba ngotot harus ke kantin?” celotehku kesal.
“Aku laper tahu, tega banget sich, kalau cerita nahan laperkan aku ga bisa cerita,” rengeknya sambil memegangi tanganku.
Ku tatap wajahnya yang terlihat memelas, melihatnya merengek hatiku pun menjadi tidak tega. Ku coba untuk mengesampingkan masalah yang kini mendera hatiku, lalu dengan lirih aku bertanya
“Emangnya, sebelum pergi sekolah kamu nggak makan dulu ya? Gemuk kagak, makan melulu kamu ini,” ledekku sambil mencoba tersenyum untuk menetralisir rasa gelisah di hatiku.
Sambil berjalan dengan cepat, dan mendahului Wati aku berkata tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya
“Ayo! Kalau memang kau sudah lapar”
Wati harus sedikit berlari mengejarku yang berjalan begitu cepat, sambil mulutnya tidak berhenti menggerutu.
Wati langsung memesan makanan favoritnya yaitu model dan segelas es begitu tiba di kantin. Sambil menunggu pesanannya disajikan, dia melahap beberapa gorengan di meja. Aku hanya menggelengkan kepala melihatnya yang begitu rakus seperti tidak makan sebulan lamanya.
“Hei, Nisa, kau mau makan apa? Pesan saja!” ucapnya dengan mulut penuh dengan gorengan. “Aku minum es tawar saja, aku tidak berselera makan,” jawabku. “Jangan gitu dong, nggak enakkan kalau aku makan sendirian, aku yang ngajakin tapi kau hanya minum es tawar. Kesannya saya pelit banget gitu. Makanlah apa pun yang kau mau, jangan khawatir uangku banyak,” ucap Wati sedikit memaksa. “Aku akan makan gorengan saja, sudahlah kenapa sich kamu bawel banget jadi cerita nggak? Kalau nggak aku balik ke kelas,”
KAMU SEDANG MEMBACA
HARAPAN YANG TAK PERNAH PUDAR
Teen FictionNamaku Annisa, aku anak tengah dari tujuh bersaudara. Seorang gadis kutu buku lagi kuper, tapi aku adalah putri kesayangan ayah. Akan tetapi, hal itu tidak membuat ku lantas menjadi gadis manja. Saat waktunya aku masuk SMA ayah harus membayar h...