Hampir dua bulan, aku tinggal di kediaman keluarga Bapak Wahyu. Semua berjalan apa adanya, aku melakukan semua pekerjaan seperti halnya di rumahku sendiri bersama Ibu Zuhra. Bak Ibu dan anak, kami selalu memasak bersama setiap hari, dan setelah beliau pergi mengajar tugasku mencuci pakaian dan bermain bersama Ainun, putri Bapak Wahyu dan juga si imut Anis putri dari Adik bungsu Ibu Zuhra.Setelah shalat dzuhur, aku pergi ke sekolah, dan setiap hari sabtu aku pulang ke rumah, terkadang juga tidak pulang, kalau di tempat Pak Wahyu, sedang banyak kesibukan.
Saat aku pulang ke rumah, orang tua angkatku datang berkunjung,
”Bagaimana hari-harimu di sana nak?" tanya Bapak Sani padaku dengan tatapan sendunya.
”Alhamdulillah, Pak, keluarga Pak Wahyu sangat baik, hanya saja, saya masih terus kepikiran soal Ibu, karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk," mataku berkaca-kaca
Bapak Sani, menasehatiku untuk sabar dan ikhlas, suatu saat pasti segalanya akan kembali membaik. Lalu, beliau kembali bertanya
”Kamu, mengaji di mana selama di sana?”
Aku terdiam sejenak, sambil mengatur napasku yang terasa memberat, pertanyaan Bapak angkatku seolah mengingatkan akan cita-citaku untuk ke Pondok yang kini telah kandas.
”Apa kamu mau sekolah terus mengaji di sebuah Pesantren? Ada seorang Ustadz, yang mengajar di sana. Pondoknya baru merintis, tapi tetap sistem pembelajaran nya seperti di Pondok Pesantren pada umumnya.
Hal terbaiknya, letak Pondok tersebut tidak jauh dari sekolah dan juga rumah Pak Wahyu," ucap Bapak Sani
Betapa bahagianya hati ku, mendengar penuturun beliau. Harapan yang tadinya telah terkubur, jauh dan hanya tinggal impian yang mustahil untuk bisa terwujud, akhirnya akan menjadi nyata. Berulang kali aku bertanya pada beliau, apakah semua yang dikatakannya itu benar?
Bapak Sa,ni menjelaskan kepadaku bahwa semua itu benar adanya. Lalu, dengan penuh semangat, aku menjawab
“Aku mau, Pak, di mana tempatnya? Tolong antarkan saya sekarang, Pak, saya mau secepatnya belajar,” aku bicara tanpa jeda.
Bapak Sani berkata
”Tunggu, Bapak, sama Ayahmu, menemui beliau dulu, ya, kalau sudah nanti baru kamu bisa langsung pergi mengaji,”
Akupun mengiyakan ucapan beliau, dan dengan patuh, aku mengatakan akan menunggu sampai beliau memberi kabar selanjutnya. Sore hari, aku kembali lagi di kediaman Bapak Wahyu, aku kembali dengan penuh keyakinan, harapan, dan juga semangat baru.
Setiap rangkaian perjalanan yang ku tempuh beberapa bulan ini, membuat hati ini semakin yakin, bahwa jika kita, tidak menyerah dan terus berjuang, maka Allah pasti akan membantu kita. Barang siapa yang berdo’a dengan tulus, Allah pasti mengabulkan setiap do’a dan harapannya. Meskipun tidak serta merta do’a kita menjadi nyata, akan tetapi pasti akan ada jalan untuk mencapainya.
Hati ini, juga membenarkan setiap apa yang Ayah katakan, bahwa segala sesuatu butuh proses dan juga waktu, serta tidak ada yang instant di dunia ini. Ya, itu benar, karena yang instant adalah Indomie saja.
Malam setelah shalat Isya, aku memberanikan diri, untuk menyampaikan keinginanku belajar di tempat Ustadz, dan Alhamdulillah, Pak Wahyu, dan semua keluarganya memberiku idzin.
Aku memutuskan memilih waktu maghrib, agar tidak mengganggu rutinitasku di rumah karena aku sadar, aku bisa melanjutkan sekolah berkat uluran tangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARAPAN YANG TAK PERNAH PUDAR
Fiksi RemajaNamaku Annisa, aku anak tengah dari tujuh bersaudara. Seorang gadis kutu buku lagi kuper, tapi aku adalah putri kesayangan ayah. Akan tetapi, hal itu tidak membuat ku lantas menjadi gadis manja. Saat waktunya aku masuk SMA ayah harus membayar h...