Selamat membaca<3
.
.
.
.
.
.
.
Diza tengah menyirami tanaman di depan rumahnya saat ini, setelah selesai mandi tadi dan karena hari juga belum begitu gelap. Gadis itu memilih untuk membantu Bi Maya menyirami bunga-bunga yang ditata di halaman depan rumahnya. Kegiatan ini sejenak untuk membantu Diza melupakan segala sesuatu yang ada dipikirannya. Setidaknya untuk sementara saja."Udah non, biar bibi aja yang lanjutin"
Ujar Bi Maya tidak enak hati.Diza malah tersenyum lebar mendengar penuturan bi Maya. Ini bukan seberapa, lagipula Diza malah senang melakukannya, "gak papa bi, kalau bibi mau nyiapin makan malam. Bibi siapin aja, biar Diza yang nyelesain ini. Oke?" Ujar gadis itu.
"Serius non?"
"Serius bibi cantikkkkk"
"Non Diza bisa aja, yaudah bibi tinggal ke dalam ya?"
"Oke"
Setelah kepergian bi Maya barusan, Diza kembali melanjutkan acaranya menyiram tanaman. Dan saat merasa semua tanaman ini sudah disirami, gadis itu lantas mematikan kran air yang ada disamping tembok rumahnya. Lalu mulai menggulung selang yang dia gunakan dan menaruhnya tepat disamping kran air itu agar mudah ditemukan.
Dan saat gadis itu berbalik badan, dia terkejut kala tiba-tiba saja papanya sudah berada tepat di hadapan gadis itu. Saat itu juga jantungnya berdegup kencang tanpa sebab, hanya karena melihat wajah sang papa. Namun dengan cepat Diza kembali bersikap biasa saja. Apalagi saat menyadari bahwa papanya juga tengah menatap intens dirinya.
Diza mengulurkan tangan kanannya untuk salim kepada sang papa, awalnya papa Ari diam tidak merespon itu. Namun tidak lama kemudian, pria paruh baya itu menggerakkan tangannya untuk menjabat tangan anaknya yang masih setia menunggu, dan Diza mengecup pelan punggung tangan sang papa.
"Biar tasnya Diza yang bawain pa"
Ujar Diza sambil tersenyum tulus lalu mencoba untuk mengambil alih tas kerja yang dibawa papanya, namun dengan cepat ditepis oleh om Ari."Gak perlu"
Jawab sang papa dengan nada dingin.Diza mencoba untuk menerima respon papanya yang sama sekali belum berubah. Lagi pula gadis itu saat ini sedang berusaha untuk melupakan kejadian yang waktu itu, walau sampai kapanpun sebenarnya tak akan pernah bisa dilupakan. Karena tidak baik juga apabila orang yang tinggal serumah tidak akur dan saling memendam kemarahan kan.
Mamanya sering bilang seperti itu dulu, saat Diza tidak sengaja ngambek kepada papanya karena hal kecil.
Diza masih yakin, jauh di lubuk hati papanya. Beliau sebenarnya tidak ingin mengatakan hal itu. Dan dia yakin masih ada barang secuil saja rasa sayang dan peduli papanya itu kepada Diza. Karena apa? Karena Diza juga masih darah daging papanya sendiri. Sesuatu yang dulu hilang hanya perlu waktu untuk kembali.
Dan Diza, senantiasa menanti kapan waktu itu akan datang. Semoga saja segera.
"Papa mau dibuatin kopi? Nanti Diza anterin ke ruang kerja papa"
Ujar Diza mencoba mencari topik yang lain."Terserah"
Sesingkat itu respon papanya, bahkan setelah mengatakan itu om Ari langsung saja masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Diza diluar.Be strong Diza.
Gadis itu menarik nafas dalam dan kemudian mengembuskan perlahan, mencoba menahan sesak di dadanya. It's ok. Hal semacam ini sudah biasa terjadi. Tak mau ambil pusing Diza lantas ikut masuk ke dalam dan segera membuatkan papanya secangkir kopi, seperti katanya barusan.
Tok
Tok
Tok"Masuk"
Perlahan knop pintu itu terbuka, menampilkan Diza dengan nampan yang berisi secangkir kopi panas untuk papanya. Diza kemudian menaruh cangkir itu di meja tempat papanya bekerja. Gadis itu sengaja menaruhnya agak jauh dari berkas-berkas penting. Agar tidak sengaja tersenggol nantinya.
"Pa, diminum ya kopinya. Mumpung masih panas"
Ujar gadis itu masih berdiri tepat disamping papanya."Hm"
Jawab papanya tanpa melirik kearah Diza sedikitpun.Papa Diza kemudian menutup laptop yang ada dihadapannya, dan saat beliau hendak menaruh laptop itu disampingnya. Laptopnya itu tak sengaja menyenggol cangkir yang berisikan kopi panas buatan Diza tadi. Diza niatnya ingin mencegah agar kopi itu tidak tumpah, namun naasnya malah punggung tangan gadis itu yang tersiram kopi yang benar-benar masih panas, dan kemudian cangkirnya jatuh ke lantai lalu pecah.
"Shhhh"
Diza meringis pelan karena merasakan sensasi panas dan perih akibat siraman kopi ditangannya tadi."Emang kamu itu, gak bisa ngelakuin sesuatu dengan benar"
Ujar sang papa marah."Maaf pa, nanti Diza beresin"
Jawab Diza sambil memegangi tangannya yang mulai memerah."Gak perlu, pergi. Mending kamu tidur"
Karena tak ingin memancing emosi papanya lagi, Diza akhirnya menurut dan memilih pergi ke kamarnya saja untuk mengobati tangannya yang sudah tak tertahankan.
«««
"Kenapa lo gak makan?"
Gadis berambut panjang itu menoleh saat seorang sahabatnya menepuk pelan pundaknya. Membuat kesadarannya kembali. Mereka adalah Berlin dan Diza.
Dari tadi yang dilakukan Diza hanya melamun sambil memainkan sendok dan garpu yang berada di kedua tangannya. Raganya disini tapi pikirannya melayang-layang entah kemana. Bukan sekarang saja Diza melamun seperti ini, bahkan tadi saat di kelas juga gadis itu melamun. Sampai hampir di hukum kalau Berlin tidak mengetuk keningnya menggunakan pensil. Sakit sih, tapi gak papa deh dari pada dihukum ya kan.
"Gak di kelas gak di kantin lo bengong mulu. Jangan aja ya di toilet lo bengong ampe malem. Ditemenin kunti sekolah lo nanti"
Ujar Sila ngasal.Dan perkataan Sila barusan mendapat hadiah ketukan sendok di kepalanya dari Lara.
"Apaan sih Ra, main ketok-ketok aja. Sakit monyong!"
Ujar Sila kemudian mengusap-usap kepalanya yang berdenyut nyeri."Sila tuh, kalau ngomong jangan sembarangan! Lara jadi takut tau kalau mau ke toilet sendiri"
"Bodo, biarin aja lo nanti kalau abis dari toilet ketempelan wewe gombel. Tau gak lo?"
"Tau, yang mukanya mirip Sila kan"
"Iya, mirip gue puass"
Diza awalnya tertawa saja saat melihat perdebatan antara Sila dan Lara, namun ketika Gio melewati mejanya tiba-tiba saja raut wajahnya menjadi suram. Karenanya laki-laki itu barang sedikit pun tidak menoleh kearah Diza, padahal saat jarak mereka masih jauh tadi Gio sempat melihatnya. Tapi saat dia melewati tempat duduk Diza, Gio bersikap acuh pada gadis itu.
Harusnya Diza sudah bisa menebak itu, karena itu memang sifat alami Gio. Tapi ada separuh jiwanya yang tidak terima tentang perlakuan Gio padanya. Setidaknya menoleh walau sedikit saja, eh ini bersikap seakan Diza tidak ada.
Arghh, akibat berubahnya status sialan itu. Kini membuat Diza jadi sering berharap lebih dengan Gio. Kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dia jawab.
Apa iya Gio memiliki perasaan kepadanya?
Apa kemarin itu hanya bercanda saja? Jadi sebenarnya mereka juga masih teman biasa sampai saat ini, begitu?
Oh God, jadi itu tidak nyata?
Please babe, emang enak di gantungin? Mending masih di gantung. Lah kalau ternyata di PHP in, gimana sama nasib hati yang udah berharap lebih?
Dengan wajah murungnya Diza bangkit berdiri, nafsu makannya sudah benar-benar tidak ada saat ini. Lebih baik dia mencari tempat dimana dirinya bisa menghapus wajah Gio yang menyebalkan itu dari pikirannya dan juga masalah-masalah nya yang lain. Sial, rasanya kepala Diza ingin pecah akibat memikirkan banyak hal.
Dasar Gio, emang laki-laki dodol. Nambah beban pikiran aja. Untung-untung kalau dipikirin balik. Lah ini nggak, kan kesel ya!
"Gue ke toilet ya guys, kebelet"
Pamit Diza, dan disetujui oleh ketiga sahabatnya.Pict: cr/pinterest
Ajak yang lain buat baca yaaa, byee<3
☆☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Giofadiza
Teen Fiction[DIREVISI SETELAH TAMAT] sebuah kisah yang menceritakan tentang 2 remaja Giofazra Julian Alterio dan Adiza Clairine hari pertama kepindahan Gio di SMA Alexa cukup membuat gempar kaum hawa disana lebih tepatnya mereka terpesona pada pandangan pertam...