Chapter 4

34 8 0
                                    

«Terlalu sering berpasangka buruk tidaklah baik untukmu. Bersihkan hati dengan pikiran yang lebih positif jauh lebih indah.»

←♡→

"Ummy," panggil Fahri tatkala menatap sebuah salad di hadapannya.

"Iya, kenapa, Bang?"

"Ini Ummy yang buat? Kok tumben?" tanya Fahri seraya menyandukkan salad itu ke dalam piringnya.

"Bukan, itu pemberian dari tetangga baru kita." jawab wanita berkerudung lebar itu. Kenal saja namanya Syahwa.

"Eh, tetangga baru yang mana, My?" Bukan Fahri yang bertanya. Tapi, sosok pria tampan yang berpeci hitam. Dia adalah Abinya Fahri, panggil saja namanya Adzam.

"Itu, yang rumah kosong di depan sana. Kalau gak salah Ummy sih, katanya baru pindah kemarin sore." jelas Syahwa seraya menuangkan nasi untuk Adzam, suaminya.

"Ooh ... Alhamdulillah, kita bertambah saudara lagi berarti." timpal Adzam terlihat senang.

"Iya Bi, Alhamdulillah. Tapi, sayangnya mereka non-muslim."

"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...," Fahri yang tengah menyantap salad itupun seketika langsung tersedak akan salad yang baru saja dia telan. Dengan bergegas, Syahwa langsung saja mengambilkan air minum untuk putranya itu dan memberikannya. Fahri pun meneguknya hingga setengah.

"Mangkanya Bang, kalau makan itu pelan-pelan." titah Adzam menasehati.

"Iya, Bi." timpal Fahri.

"Tapi, Ummy, makanan ini amankan?" tanya Fahri sedikit was-was.

"Astaghfirullah Abang. Insya Allah itu aman Bang, namanya aja salad buah."

"Iya, My. Tapi, nanti takutnya ini haram,"

"Astaghfirullah, Abang lupa sama surat al-Maidah ayat 5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka."

"Halal dan haramnya itu bukan pemberiannya Bang, tapi zatnya. Bahkan, ini saja terbuat dari buah-buahan dan campuran bahan yang biasanya Ummy gunakan." jelas Syahwa.

"Astaghfirullah, Abang lupa, My."

"Mangkanya, lain kali jangan so'udzon lagi, Bang." Bukan Syahwa yang bicara, tapi Adzam.

"Iya, Bi."

...

Waktu pagi telah datang, dengan berlalunya malam. Pagi ini, Khaila terlihat begitu tergesa-gesa. Dia kesiangan.

"Huh ... ngapain harus kesiangan segala, sih?" gerutunya tak pernah henti-hentinya.

Tes ...

Sekali lagi, cairan merah itu mengalir dari hidungnya. Khaila yang melihat jatuhan cairan merah itu di lantai pun langsung terkejut.

"Lagi?" lirihnya seraya memegang hidungnya. Lalu, tanpa ingin berlama lagi, Khaila pun berjalan ke arah meja belajarnya. Di sana, dia mengambil tisu dan membersihkan noda merah yang tengah mengalir di hidungnya itu.

"Astaga, jam tujuh lewat lima belas?" teriaknya seketika, tatkala matanya menatap jam dinding.

Dengan tergesa-gesa, Khaila langsung saja mengakhiri dirinya untuk membersihkan darah pada hidungnya dan mengemasi serakan tisu yang berada di atas meja belajarnya itu, lalu membuangnya ke dalam tong sampah kamarnya.

"Mami! Diah berangkat dulu, ya!" teriaknya tatkala keluar dari kamarnya itu. Lalu, berlari dengan begitu tergesa-gesanya menuju mobil Ziro yang telah menanti di kuar halaman rumahnya.

"Eh, Diah! Ini sarapanmu gimana?" teriak Crista seraya berlari tergopoh-gopoh dengan membawa sepiring nasi gorong.

"Aduh, Mami, Diah udah telat, nanti aja, ya."

"Nanti kapan?"

"Ya, nanti pulang sekolah, Mi." Tanpa mempedulikan perkataan maminya lagi, Khaila langsung saja memasuki mobil papinya itu.

"Mangkanya, lain kali jangan molor terus," ejek Ziro seraya mulai melajukan mobilnya, meninggalkan pelantaran halaman rumahnya.

"Iih ... Papi!" rengek Khaila dengan wajah cemberutnya. Tanpa ingin berkata lagi, Ziro pun hanya terkekeh geli dengan sifat manja putrinya itu.

Hanya butuh 15 menit untuk sampai di sekolah baru Khaila, SMA Adipurnama. Namun, sudah 15 menit pula Khaila terlambat untuk masuk ke dalam pekarangan sekolahnya.

"Pi, Diah berangkat." ucapnya, lalu bergegas untuk turun dari mobil Ziro. Ziro yang melihat itupun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, melajukan mobilnya guna menuju kantor.

Khaila sedikit berlari ke arah gerbang yang kini telah tertutup itu. Dia pun mendengus kesal karena hal itu, yang pada akhirnya membuat Khaila pun langsung meluruhkan dirinya di depan gerbang itu.

Selang beberapa detik kemudian, tiba-tiba saja sosok siswa hadir di depannya dengan napas yang tidak teratur. Calista yang tengah tertunduk lesu itupun langsung menengadahkan kepalanya menatap siswa itu, Irsyad.

"Hei, bukankah dia siswa yang kemarin?" lirih Khaila di dalam hatinya.

"Hei, kalian ngapain di sana?" bentak Irsyad secara tiba-tiba. Khaila yang dibentak itupun sontak terkejut. Lalu, dengan kesalnya gadis itupun langsung bangkit dari posisinya dan menatap Irsyad dengan tidak suka.

"Hei, kalian! Cepat masuk!" Baru saja Khaila akan membuka suaranya. Namun, suara tegas seseorang telah dahulu menghentikannya.

Khaila dan Irsyad pun langsung menatap orang tersebut yang ternyata adalah Fahri. Wajah datar dan suara yang tegas, serta almamater biru yang tengah bertengger di pundaknya itu sangat mampu menambah ketampanannya. Akan tetapi, sayangnya Khaila tidak merasa terpukau sama sekali akan pria yang ada di hadapannya ini.

"Udah jam berapa ini?" tanya Fahri dengan tegasnya.

"Lo kan punya jam Ri, ngapain nanya sama gue lagi, sih?" tanya balik Irsyad.

"Syad, gue lagi jalanin tugas. Jadi, gue harap lo bisa mematuhi aturan."

"Dan kamu, ini sudah jam berapa? Kenapa baru datang?" tanyanya kepada Khaila.

"Baru jam setengah delapan," lirih Khaila seraya menunduk.

"Huh ... yasudah, ikut saya!" titah Fahri dan mulai melangkahkan kakinya dari sana. Kepergian Fahri pun diikuti oleh kedua manusia berbeda jenis kelamin itu.

Setibanya di meja piket, Fahri langsung saja menyodorkan kedua manusia itu sebuah buku agenda keterlambatan siswa/i dan menyodorkan sebuah al-Qur'an kepada mereka berdua.

"Isi ini dan setelah itu hafal surat an-Naba' dan storkan pada saya jika sudah dapat!" perintahnya.

Khaila pun terdiam. Bagaimana bisa dia akan memegang benda itu dan bagaimana bisa dia membacanya? Dia tidak tahu sama sekali tentang hal ini.

"I-ini apa?" tanyanya keheranan. Sedangkan, Irsyad yang sudah duluan mengambil al-Qur'an itu dari tangan Fahri pun tercengang. Apa maksudnya 'ini apa'?

"Hei, lo gak pernah baca al-Qur'an, ya?" bentaknya begitu saja.

"Irsyad," peringat Fahri dengan wajah datarnya.

"Kamu tidak mengenal al-Qur'an atau memang tidak pernah mau membacanya?" tanya Fahri dengan datar.

"Sa-saya tidak tahu itu apa," jelas Khaila yang semakin merasa aneh.

"Apa kamu muslim?" tanya Fahri lagi, namun kali ini dengan nada yang lebih tegas.

Khaila hanya menjawab dengan gelengan. Hingga membuat kedua siswa itu langsung terkejut. "Pantas saja penampilannya berbeda," lirih Fahri di dalam hati.

"Oh, maaf. Baiklah, untuk hukumanmu kali ini, silahkan berdiri di depan tiang bendera, sampai jam kedua habis!" titahnya seraya berlalu dari sana.

Khaila yang mendapatkan hukuman itupun sontak memelototkan matanya terkejut. Yang benar saja dia di suruh berjemur di depan tiang bendera dalam waktu 120 menit. Namun, apalah daya, dia hanya bisa menerima hukuman itu daripada dia harus menunggu di luar gerbang sampai pulang.

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang