Chapter 10

40 6 0
                                    

«Sepelik apapun kisahnya, tapi jalan dari semua itu tidak akan pernah buntu bila hati juga tidak buntu.»

←♡→

"Bubar semua! Bubar!!!" bentak Irsyad yang tiba-tiba saja datang.

Entah karena merasa takut akan amarah Fahri atau entah memang mereka tak ingin lagi berada di sana, mereka semua akhirnya membubarkan diri dan kembali sibuk akan aktivitas mereka masing-masing.

"Hei, kamu tidak apa-apakan?" tanya Fahri begitu lembut kepada Khaila yang belum beranjak dari posisinya. Khaila hanya mengangguk sebagai jawabannya dan tak lupa dengan air mata yang sudah mengalir dari pelupuk matanya.

Tanpa bantuan dari siapapun, Khaila bangkit dari posisinya dengan sedikit kesusahan. "Terima kasih," Hanya kata itu yang mampu dia ucapkan saat ini.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Itu sudah kewajiban saya. Seharusnya saya yang minta maaf sama kamu, karena kelalaian saya sekarang kamu malah jadi korban di sini. Saya harap kamu bisa memaafkannya." jelas Fahri terdengar begitu lembut dan tak lupa dengan nada menyesalnya.

"Iya, tidak apa-apa."

"Eh, tapi lo gak apa-apa, kan?" tanya Irsyad memastikan.

"Tidak, aku tidak apa-apa." timpal Khaila seraya tersenyum lembut.

"Hm ... Alhamdulillah, dah."

"Em ... boleh aku bertanya?" tanya Khaila terlihat begitu hati-hati.

"Boleh, tapi apa lo gak lelah berdiri terus?" Khaila pun hanya menampilkan cengirannya ketika mendengar pertanyaan Irsyad tersebut.

"Ya sudah, sebaiknya lo tanyanya di taman aja." ucapnya, lalu berlalu dari hadapan kedua manusia itu, siapa lagi jika bukan Fahri dan Khaila. Sama seperti Irsyad, Khaila dan Fahri pun mengikutinya dari belakang.

Setibanya di taman, Khaila duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan kedua siswa itu.

"Nah, sekarang lo mau nanya apa?" tanya Irsyad begitu antusias.

Dengan kepala tertunduk, Khaila mencoba untuk menguatkan tekadnya. "Ke-kenapa kalian membelaku? Da-dan ke-kenapa kalian tidak melakukan hal yang sama dengan mereka tadi?"

Deg.

Jujur saja, pertanyaan itu sontak membuat kedua siswa itu langsung terkejut. Namun, entah apa yang saat ini tengah berada dipikiran Fahri, namun seulas senyuman telah terbit di sana. Membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa begitu terpana seketika.

"Lakum dinukum waliyadin," ucap Irsyad seketika. Memdengar itu sontak Khaila mengangkat wajahnya, menatap Irsyad dengan penuh tanda tanya.

"Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku," ucap Fahri menimpali. Bukannya mengerti, namun Khaila malah semakin mengernyit kebingungan.

"Diah Elina Khaila, betul bukan?" tanya Fahri dengan nada lembutnya. Khaila pun menganggukkan kepalanya.

"Dek, agama ka-"

"Dek?" tanya Khaila begitu keheranan. Sebab, bukankah Fahri sama dengan dirinya, lalu mengapa dia malah memanggil Khaila dengan sebutan 'Dek'?

"Diah Elina Khaila, disingkat jadi Dek." Bukan Fahri yang menjawab, namun Irsyad yang sepertinya terlalu mengetahui isi pikiran Fahri.

"Ooh ...," jawab Khaila ber-oh ria.

"Tidak masalah, bukan?" tanya Fahri memastikan dan Khaila hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Jadi, agama kami mengajarkan kami agar tidak saling mencaci dan menghina antara satu sama lain. Baik itu satu agama ataupun tidak. Karena, di dalam kitab suci kami telah dijelaskan bahwa kami tidak boleh memaksakan kehendak suatu kaum untuk memeluk agama kami. Dan, apapun pilihan mereka itu adalah hak mereka dan kami hanya bisa berdoa demi kebaikan kalian, agar Allah memberikan hidayah-Nya pada orang-orang terdekat kami." jelasnya yang tak pernah luput dari senyuman ramahnya.

"Lalu, jika sudah begitu mengapa mereka malah melanggar setiap yang diperintahkan di dalam agama kalian?" tanya Khaila dengan nada suara yang sedikit meninggi.

"Astaghfirullah. Dek, sabarlah, jangan marah dahulu!" titah Fahri terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Khaila. Mendengar itu, akhirnya Khaila pun menarik napasnya secara perlahan, lalu membuangnya.

"Dek, kami ini mungkin sama-sama muslim, tapi pemahaman kami tentang agama itu berbeda. Namun, walaupun begitu, (Allah) Tuhan kami itu tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya terus-terusan berada di ambang-ambang kemusyrikannya, kecuali bila Dia sudah terlalu marah dan kecewa pada hamba-Nya. Namun, sekecewa dan semarah apapun Dia, jangan pernah katakan jika Dia akan menolak pengampunan taubat hamba-hamba-Nya." jelas Fahri lagi.

Tak terasa, cairan bening itu luluh begitu saja. Ya, Khaila menangis. Dia menangis bukan karena perkataan Fahri, namun lebih tepatnya pada ingatan semalam. Tatkala Ziro melarangnya agar menyukai salah satu bagian dari agama yang begitu indah ini.

"Hei, lo kenapa nangis? Apa jangan-jangan lo ada yang terluka, ya?" tebak Irsyad seketika. Dan Khaila pun hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Mendengar keindahan agama kalian, jujur aku tidak akan pernah bisa merasakan apa yang selama ini belum pernah kurasakan. Namun, bila aku mengaguminya, ada penghalang yang begitu menyulitkanku untuk lebih jauh lagi mengetahui setiap kebenarannya." terang Khaila.

"Ah ... gue gak ngerti," keluh Irsyad terlihat begitu frustasi. Tiba-tiba, tawa kecil dari kedua orang dihadapannya itupun tercipta.

"Tak ada sebuah pertikaian tanpa adanya penyelesaian. Jika sudah saatnya kamu mengetahui itu, maka Allah akan tunjukkan dan memperlihatkan karunia-Nya secara perlahan-lahan. Jadi, percayalah!" ucap Fahri terlihat begitu tenang.

"Iya, terima kasih. Dan semoga saja," ucap Khaila.

"Oh iya, apa kami boleh tahu apa yang membuatmu tertarik?" tanya Fahri secara tiba-tiba.

"Boleh," ucap Khaila begitu antusias, lalu menyerahkan ponselnya dan menunjukkan rekaman suara itu. Khaila memutarkannya dengan kebahagiaan yang begitu terlihat.

Deg.

Siapa kira, jika diam-diam ada seorang non-muslim mampu mengagumi Islam hanya dari sebuah lantunan ayat suci al-Qur'an dari sosok Fahri. Lagi-lagi, seuntai senyuman pun tercipta di bibirnya dan begitu juga pada sosok Irsyad.

"Masya Allah ... jujur, gue takjub sama yang punya suara." ucap Irsyad berpura-pura tidak tahu siapa pemilik suara itu. Dan seketika, langsung mendapatkan tatapan tajam dari Fahri.

"Kamu dapat rekaman ini dari mana?" tanya Fahri penasaran.

"Kemarin sore, aku sengaja mengambilnya dari dalam kamar," jawab Khaila jujur.

"Ooh ... jadi, lo mengagumi suaranya atau lantunan ayat suci al-Qur'an ini?" tanya Irsyad memastikan dan tentunya lagi-lagi mendapatkan tatapan tajam dari Fahri.

"Tentu saja keduanya benar. Kalian tau, setiap aku mendengarkan rekaman itu, hanya ada kedamaian dan kesejukan yang aku rasakan setiap saat." jelas Khaila terlihat begitu antusias.

"Tapi ...," lanjutnya yang langsung menundukkan wajahnya.

Dari sini, Fahri dan Irsyad bisa memastikan jika Khaila kembali menangis, karena terlihat begitu jelas dari bahunya yang bergetar.

"Orang tuaku tidak mengizinkanku untuk menganguminya lagi," jelas Khaila dengan isakannya.

Fahri dan Irsyad pun saling melemparkan tatapan mereka. Entah tatapan apa itu, namun kedua siswa itu juga menatap Khaila dengan tatapan yang terlihat begitu sedih.

"Sudah, jangan menangis lagi! Saya yakin, suatu saat nanti orang tuamu pasti akan mengizinkannya. Intinya, kamu jangan pernah marah pada mereka ataupun membenci mereka. Karena, itulah makna dari surat yang selalu kamu dengarkan itu." jelas Fahri menenangkan.

"Iya, lo jangan sedih kagi. Intinya, lo harus yakin, oke!" ucap Irsyad ikut menyemangati Khaila.

"Terima kasih," lirih Khaila seraya menatap mereka berdua dengan penuh haru.

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang